PESANTREN DAN KERATON: SAUDARA DALAM PERGUMULAN (1)

0
230

Prosesi terakhir dari Ngabekten Kakung di Keraton Yogyakarta. (Foto. @kratonjogja).
JIC, JAKARTA– Melihat hubungan pesantren dan keraton, terutama di Yogyakarta dan Solo, seperti melihat dua saudara yang sudah tidak saling kenal. Seakan keduanya saling menegasikan kekerabatan dekat di antara mereka. Keduanya menerima ‘bentukan’ (invensi) bahwa satu-satunya fakta di antara mereka adalah kontestasi politik, ekonomi, sosial, dan agama (dalam hal ini Islam). Di antara mereka tumbuh suatu anggapan umum: sulit membuktikan bahwa mereka berasal dari jalur geneologis yang sama.
Bagi kalangan pesantren di Yogyakarta misalnya, hubungan kekerabatan antara para penguasa Jawa dengan ulama dikaitkan dengan pendiri Desa Mlangi, di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta, yaitu Raden Mas Sandiyo, seorang pangeran dari Keraton Surakarta pada abad 18 Masehi yang menepi dari sengkarut kekuasaan di dalam keraton. Sang pangeran tidak lain adalah kakak sulung dari Pangeran Mangkubumi, pendiri Keraton Yogyakarta Hadiningrat, maupun Pakubuwana III yang saat itu bertahta di Keraton Surakarta Hadiningrat. Sebagian besar pesantren dan ulama di sekitar Yogyakarta adalah turunan langsung dari Raden Mas Sandiyo yang nantinya lebih dikenal dengan nama Mbah Nur Iman.
Tapi kalau sosok Mbah Nur Iman ditanyakan kepada pihak Keraton Yogyakarta Hadiningrat, maka sosok ini tidak lebih dari seorang ulama yang ditunjuk oleh penguasa pada masanya.
Keraton selalu menempatkan diri sebagai sentra dari segala bentuk kekuasaan dan otoritas, termasuk otoritas keagamaan dan keislaman. Pesantren-pesantren dianggap sebagai salah satu sekrup dari rangkaian kompleks kekuasaan dari keraton.
Gamblangnya, tidak pernah ada pengakuan terbuka dari keraton akan hubungan kekerabatan langsung mereka dengan kalangan pesantren. Mereka ‘gengsi’ mengakui hubungan geneologis dengan kalangan ulama di pesantren.
Mungkin karena pertimbangan dan andaian akan adanya kekerabatan antara mereka dengan para penguasa Jawa, kiai-kiai di Yogyakarta dan keluarganya sering kali memilih politik akomodatif terhadap penguasa Jawa, Keraton Yogyakarta maupun Puri Pakualaman.
Setiap terjadi sengkarut atau konflik di internal keraton, atau pun konflik keraton dengan masyarakat Yogyakarta, para kiai menjalankan politik diam. Hal itu kemudian ditambahi dengan argumen politik Sunni (Ahlusunnah wal-Jamaah) yang terkenal sangat lentur, bahwa Sultan dan Paku Alam adalah para penguasa muslim yang harus diikuti oleh umat Islam walaupun mereka pemimpin (ulil amri) yang tidak ideal.
Doktrin politik Sunni dalam Islam tidak harus dipahami secara datar dan sempit. Politik diam yang dijalankan para ulama pesantren dalam persoalan politik keraton tidak selamanya negatif, tetapi sering kali sebagai tindakan untuk merangkul semua kelompok yang terlibat di dalam konflik kekuasaan untuk menghindari berbagai potensi pembelahan di tengah masyarakat, khususnya dampak konflik politik tersebut terhadap masyarakat bawah.
Politik diam acap kali adalah tindakan negosiasi untuk memilah hal-hal mendasar dan mengambil keputusan yang lebih ringan resikonya bagi kemaslahatan umat.
Oleh Muhammad Negar Zafarani
Penulis adalah pengarang Buku “Aspek-Aspek Sekular Tradisi Tarekat di Pesantren Indonesia” (2017).
sumber : nu.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × 5 =