JIC- Persatuan Ummat Islam (PUI) menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 ini baru saja ditandatangani Presiden Joko Widodo. Aturan yang paling disoroti PUI adalah penyediaan alat kontrasepsi bagi siswa sekolah yang tertuang dalam Pasal 103.
Ketua DPP PUI Bidang Pendidikan, Wido Supraha, menuntut pemerintah membatalkan PP No 28 Tahun 2024, karena dianggap mengandung unsur-unsur pemikiran transnasional terkait seks bebas.
Namun, jika pemerintah tak membatalkan PP tersebut seluruhnya, PUI menuntut pemerintah merevisi pasal terkait penyediaan kontrasepsi tersebut. “Kami minta Presiden Jokowi merevisi peraturan itu, khususnya klausul Pasal 103 ayat 4, demi mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang dicanangkan,” kata dia dalam keterangannya, Senin (5/8/2024).
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengkritik PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Menurut Netty, PP yang ditandatangani pada Jumat, 26 Juli 2024 itu dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.
“Pada pasal 103 ayat 4 disebutkan bahwa dalam hal pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja ada penyebutan penyediaan alat kontrasepsi. Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” kata Netty dalam keterangan resmi kepada wartawan, Minggu, 4 Agustus 2024.
Netty juga mempertanyakan adanya penyebutan soal ‘Perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab’ pada anak sekolah dan usia remaja yang tercantum di dalam PP tersebut.
“Perlu dijelaskan apa maksud dan tujuan dilakukannya edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggungjawab. Apakah ini mengarah pada pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggungjawab?” tanya Netty.
“Jangan sampai muncul anggapan bahwa PP tersebut mendukung seks bebas pada anak usia sekolah dan remaja asal aman dan bertanggung jawab,” katanya.
Oleh sebab itu, Netty meminta agar PP tersebut segera direvisi.
Politisi Komisi IX DPR RI ini mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam membuat sebuah pasal yang dapat ditafsirkan secara liar oleh masyarakat.
Perlu diketahui pada Pasal 103 ayat 2 dijelaskan siswa sekolah diminta diberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai fungsi reproduksi. Ada enam kategori mengenai edukasi yang harus diberikan, yakni:
- Sistem, fungsi dan proses reproduksi
- Menjaga kesehatan reproduksi
- Perilaku seksual berisiko dan akibatnya
- Keluarga berencana
- Melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; dan
- Pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
Wido menjelaskan jika dibaca sekilas, pasal ini seolah pemerintah hendak mengayomi masyarakat dengan pemberian pelayanan kesehatan. Padahal, konsep ini disebut sangat berbahaya.