PRO DAN KONTRA MENGHIDUPKAN MALAM NISHFU SYA’BAN
(Ditinjau dari Sejarah dan Syari’at)
Oleh: Dr. H. Agus Handoko, M.Phil.
JIC– Perdebatan tentang menghidupkan malam nishfu Sya’ban terjadi dikalangan umat Islam, ada yang melarang dan ada juga yang memperbolehkan bahkan menganjurkan. Maka dari kedua pendapat tersebut dapat dikaji dari sejarah, dalil, dan sosiologi (kearifan lokal) yang mendasari kajian tersebut.
A. Sejarah
Dalam kitab Al-Mawahib Al-Laduniyah karya Al-Imam Al-Qasthalani (wafat 923 H) dijelaskan terkait awal mula adanya peringatan malam Nisfu Sya’ban. Berikut penjelasannya;
وقد كان التابعون من أهل الشام، كخالد بن معدان، ومكحول يجتهدون ليلة النصف من شعبان فى العبادة، وعنهم أخذ الناس تعظيمها، ويقال: إنه بلغهم فى ذلك آثار إسرائيلية، فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف الناس، فمنهم من قبله منهم، وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء، وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة، وهو قول أصحاب مالك وغيرهم، وقالوا: ذلك كله بدعة
Artinya, “Tabi’in tanah Syam seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul, mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam Nisfu Sya’ban. Nah dari mereka inilah orang-orang kemudian ikut mengagungkan malam Nisfu Sya’ban. Dikatakan, bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat (kabar atau cerita yang bersumber dari ahli kitab, Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam) tentang hal tersebut. Kemudian ketika perayaan malam Nisfu Sya’ban viral, orang-orang berbeda pandangan menanggangapinya. Sebagian menerima, dan sebagian lain mengingkarinya. Mereka yang memgingkari adalah mayoritas ulama Hijaz, termasuk dari mereka Atha’ dan Ibnu Abi Malikah. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari kalangan fuqaha’ Madinah menukil pendapat bahwa perayanan malam Nisfu Sya’ban seluruhnya adalah bid’ah. Ini juga merupakan pendapat Ashab Maliki dan ulama selainnya.”
Maka, peringatan malam Nisfu Sya’ban belum ada pada zaman Rasulullah dan Sahabat, baru ada pada zaman Tabi’in. Peringatan malam Nisfu Sya’ban yang kini diamalkan itu dasarnya adalah mengikuti perbuatan segolongan ulama Tabi’in negeri Syam atau kini dikenal dengan negara Suriah
B. Dalil-Dalil Pelarangan
Adapun yang disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-‘Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-‘Ilmiah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1413 H, sebagai berikut:
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif”, “Para Tabi’in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma’daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha’ Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah. Adapun pendapat ulama’ ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:
- Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid’ah.” Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.
- Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo’a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza’iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya’ban ini,tidak diketahui.”
Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi’in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi’in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Al-‘Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu’ah, sebagai berikut:
يا علي من صلى مائة ركعة ليلة النصف من شعبان ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب و قل هو الله أحد- عشر مرات ، إلا قضى الله له كل حاجة … الخ
“Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.”
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ dan perawi-perawinya majhul.
Dalam kitab “Al Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu ‘anhu:
إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها
“Jika datang malam Nisfu Sya’ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya“, adalah dhaif.. Dalam buku Allaali’ diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu’ tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu’. Dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudhu’ (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, Para fuqaha’ banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu’.
C. Dalil-Dalil Keutamaan/Anjuran
Mayoritas ulama (Jumhur) dari 4 madzhab fikih sepakat bahwa sunah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, karena adanya dalil antara lain hadits Nabi yang menyebutkan:
يطلع الله عز وجل إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إلا لاثنين: مشاحن، وقاتل نفس رواه الإمام أحمد في “المسند” (11/217)
ورواه أيضا الطبراني في “المعجم” بسند صحيح عن معاذ بن جبل رضي الله عنه مرفوعا، ولكنه قال: (إلا لمشرك أو مشاحن) قال الهيثمي: رجاله ثقات.
Petunjuk hadits di atas menerangkan keutamaan malam nishfu syaban beserta rahmat dan ampunan Allah yg meliputiya. Bagi orang yang menggunakan kesempatan waktu di malam ini dengan berdoa, berdzikir, shalat sunnah, dan membaca al Quran diharapkan dapat meraih keberkahan, sebagaimana melaksanakan shalat sunnah pada setiap malam adalah ibadah begitu juga pada malam nishfu syaban ini.
Imam Syafii dalam kitabnya Al-Um, menuliskan, “aku sangat menganjurkan (sunahkan) untuk berdoa dan berdzikir pada malam- malam tertentu, termasuk malam Nisfu Sa’ban”. Ibnu Hajar al- Haitsami mengatakan, ” pada malam Nishfu syaban terdapat keutamaan, dimana padanya ampunan secara khusus, dan pengabulan doa secara khusus pula”. الفتاوى الفقهية الكبرى Ibnu Nujaim ulama Hanafiah menyampaikan:
ومن المندوبات إحياء ليالي العشر من رمضان، وليلتي العيدين، وليالي عشر ذي الحجة، وليلة النصف من شعبان، كما وردت به الأحاديث” “البحر الرائق.
Artinya:”Diantara amalan yang disunahkan; menghidupkan malam ke sepuluh Ramadhan, dua malam Id (fitri dan Adha), malam kesepuluh dzulhijjah, dan malam nisfu sya’ban“.
Dalam mazhab Hambali juga dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Syaban. Sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: “malam nishfu Syaban telah diriwayatkan terkait keutamaanya dalam hadits dan Atsar (sahabat Nabi), dimana berdasar keterangan dari ulama Salaf bahwa mereka menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan shalat, maka shalatnya seseorang secara sendiri telah dilakukan oleh para ulama salaf, oleh karenanya amalan tersebut dapat disebut hujjah dan amalan serupa tidak dapat disangkal”.
Bagi kalangan yang menolak amalan malam nishfu syaban menyandarkan dalilnya pada dua hal: yaitu amalan tersebut tidak pernah dicontohkan pada zaman Nabi dan sahabat, juga adanya larangan untuk mengkhususkan ibadah pada waktu yang tidak ada ketentuannya dari syariat.
Kiranya penolakan dari kalangan tersebut, dapat dijawab dengan dua hal juga, yaitu:
- Berdasarkan hadits di atas yang dishahihkan oleh Imam al Bani dalam assilsilah al-ahadits as shahiha يطلع الله عز وجل إلى خلقه mengandung pemahaman bahwa: orang yang melakukan dzikir dan berdoa, termasuk membaca surat yasin 3 kali secara keras dan berjemaah dengan niat doa tertentu pada malan nishfu syaban tidak termasuk melakukan bid’ah yang tercela. Karena amalan tsb terkategori menghidupkan malam nisfu syaban, sementara berdzikir adalah ibadah yg bebas dilakukan pada waktu dan tempat apapun. Mengkhususkan dzikir pada waktu dan tempat tertentu disertai dengan mudawamah (diulangi setiap tahun seperti malam nishfu syaban) juga perkara yang masyru’ (dibenarkan secara syariat), selama tidak dibarengi keyakinan adanya dosa bagi yang enggan melakukannya.
- Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, bahwa
كان النبى صلى الله عليه وسلم، يأتى مسجد قباء كل سبت ماشيًا وراكبًا
“Rasulullah saw mendatangi masjid Quba setiap hari Sabtu baik jalan kaki maupun berkendara”.
Alhafidz Ibnu Hajar memberikan komentar atas hadist di atas: bahwa boleh mengkhususkan suatu waktu/hari dengan suatu amalan soleh dengan disertai mudawamah, misal ibadah pd malam nishfu syaban, sebagaimana banyak ulama salaf seperti khalid bin ma’dan, luqman bin ‘Amir dan lainnya yang setiap datang malam nisfu Syaban mereka memakai sebagusnya pakaian, menaburkan minyak wangi, bercelak mata, dan menghidupkan malamnya dengan shalat”.
Tentang keutamaan beribadah pada malam nishfu syaban juga disebutkan dalam hadits:
أورد ابن ماجه فى سننه، أن الرسول الكريم قال: “إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها، وصوموا نهارها، فإن الله ينزل إلى السماء الدنيا، ويقول هل من تائب فأتوب عليه، وهل من مستغفر فأغفر له، وهل من سائل فأعطيه”.
Artinya: “Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya“.
Sebagai penutup, kita diperintahkan untuk senantiasa bersikap optimis meraih anugerah/karunia dari Allah swt. Anugerah tersebut dapat Allah letakan pada suatu hari atau waktu dalam setahun. Dengan menghidupkan malam nishfu syaban, tentu tidak salah jika kita berharap anugerah tersebut Allah swt turunkan juga pada malam itu, sehingga kita akan diselimuti keberkahan berupa dijauhkan dari celaka baik di dunia maupun akhirat kelak. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
“إن الله فى أيام دهره لنفحات ألا فتعرضوا لها عسى أن تصيب أحدكم نفحة من تلك النفحات فلا يشقى بعدها أبدًا”.
Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kalian memiliki beberapa karunia dalam setiap tahunnya, maka carilah karunia itu, barangkali kalian mendapatkan satu karunia sehingga kalian tidak akan celaka selamanya