JIC – Banyak yang merasa dirinya qona’ah, menerima apa adanya ketentuan Allah, padahal sebenarnya malas berusaha. Karena sejatinya, sifat qona’ah tidak saja membawa kebahagiaan, tapi juga bisa membuat kita menjadi hamba-Nya yang kaya dan mulia.
Dengan sifat yang tak pernah merasa puas, manusia akan terus memperturutkan hawa nafsunya. Bila segunung emas sudah ia punyai, ia ingin memiliki satu gunung emas lagi, begitu seterusnya. Tak pernah cukup dan terus mengejar dunia. Hartanya boleh jadi berlimpah, tapi sejatinya ia tidak kaya. Sebab, Nabi saw bersabda, “Kekayaan bukanlah banyak harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati,”(HR Bukhari-Muslim).
Ibnu Baththal menerangkan makna hadits tersebut. “Hakikat kekayaan bukanlah banyaknya harta yang dimiliki, karena kebanyakan orang yang diberi kelapangan harta oleh Allah justru tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya. Ia malah berupaya sekuat tenaga menambah hartanya tanpa peduli dari mana harta tersebut diperoleh. Orang yang demikian berarti seperti seorang yang fakir karena ambisinya sangat kuat.
Hakikat kekayaan adalah kaya hati, yaitu merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya, qana’ah dengannya, merasa ridha, dan tidak rakus menambah harta, serta tidak memaksa dalam meminta. Orang seperti ini seakan-akan orang kaya,” (Fathul Bari, 11/328—329). Dalam hadits lainnya, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menampakkan kecukupan niscaya Allah akan membuatnya kaya,” (HR Bukhari-Muslim).
Ya, Rasulullah saw mengajarkan kita untuk bersikap qana’ah, yaitu merasa cukup atas apa pun yang Allah berikan, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang. Bukan hanya dalam hal rezeki, kata Ustadz Farid Nu’man, SS, tetapi juga qana’ah terhadap posisi kita secara duniawi; di kantor, di masyarakat. “Itu juga penting. Dengan demikian, kita menjadi pribadi yang tidak iri, tidak serakah, dan keberadaan kita tidak membuat resah orang lain, sehingga mereka merasa aman bersama kita,” papar dai sekaligus pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri ini.
Namun, tidak pada semua hal kita dituntut bersikap qana’ah. Nabi saw bersabda, “Dunia itu terlaknat. Terlaknat apa yang ada padanya, kecuali berzikir kepada Allah, orang yang ikut membantu zikir, orang berilmu dan yang menuntut ilmu.” Pengecualian itu, menurut Farid,menunjukkan hal-hal tersebut adalah mulia, bukan terlaknat. “Maka berlombalah dan perbanyak, jangan qana’ah dengan kekhusyukan, keikhlasan, ibadah, dan beragam amal shalih lainnya,” tegasnya.
Tak hanya membawa kekayaan sejati, qana’ah juga mendatangkan kemuliaan. Farid memberi contoh, dahulu kala, Muhammad bin Sirin, Hasan al-Bashri, dan beberapa ulama salaf pernah memberi nasihat kepada penguasa di istana. Mereka pun diberi hadiah ribuan dirham. Di antara mereka, hanya Muhammad bin Sirin yang menolak. Sikap Muhammad bin Sirin ini dipuji dan lebih sering diceritakan oleh para ahli sejarah. Padahal, ia bisa saja menerima hadiah itu untuk modal usaha, karena sebelumnya ia pernah mengalami bangkrut. “Ini menunjukkan, qana’ah itu membuat orang mulia dan tinggi, meskipun ia dalam keadaan kekurangan. Sikap ini menjaga kewibawaan seseorang,” jelas Farid.
Bukan Berarti Malas Berusaha
Sebagai sebuah sikap mental, qana’ah bisa dimiliki baik oleh orang tak punya maupun orang berharta. Ada kesan, menjadi hamba-Nya yang terbaik adalah orang yang susah, diuji dengan sedikit harta. Padahal, tidak begitu. Orang yang banyak harta bisa jadi hamba yang terbaik, dengan catatan: taat.
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, tambah Farid, adalah dua raja kaya raya yang Allah puji dengan sebutan hamba terbaik karena ketaatannya, seperti tertera di Al-Qur’an surat Shad. “Menjadi orang kaya bukan aib, bahkan bisa sebagai sarana menjadi hamba terbaik. Dengan syarat,tetap taat, tidak lupa ibadah, zakat, sedekah, tidak serakah (qana’ah), dan tentunya kekayaan itu didapat dari sumber yang halal,” tutur Farid.
Pun qana’ah tidak berarti malas berusaha. Kita tetap dituntut untuk bekerja. Para shalafusshalih jauh lebih qana’ah dibanding orang zaman sekarang, tapi mereka tidak ada yang pengangguran. “Orang yang qana’ah tidak menerima begitu saja, dia tetap bekerja. Kalau hasilnya tak sesuai yang diharapkan, inilah ujian keqana’ahan dia,” ujar alumnus Sastra Arab Universitas Indonesia ini.
Maka tepatlah yang difirmankan Allah swt, agar kita bersikap seimbang dalam mencari akhirat dan dunia. “Intinya, keseimbangan. Qana’ahtidak mengajarkan orang untuk miskin. Allah berikan kaya, kita puas. Allah berikan sedikit harta, kita puas. Kita tidak terbawa dengan dunia. Dunia ada di tangan, bukan di hati,” tegas Farid.
Konsisten dengan Qana’ah
Untuk bisa konsisten bersikap qana’ah, menurut Ustadz Farid Nu’man, da beberapa hal yang mesti ada dalam pikiran dan hati kita.
- Bertanggung jawab kepada Allah terhadap apa yang kita miliki. Maka, hendaknya kita takut atas hisab-Nya.
- Jangan “melihat” orang yang Allah beri kelebihan harta, padahal mereka hisabnya tidak sederhana. Lihatlah mereka yang lebih susah dari kita, karena bisa jadi mereka hisabnya lebih ringan.
- Mengingat kematian. Kematian merupakan pelajaran bagi kita. Nabi bersabda, “Faktsiru dzikra haadzimiladzdzaat ya’ni al maut,banyak-banyaklah mengingat pemutus kehidupan dunia yakni kematian.”
- Bergaullah dengan para shalihin yang sibuk dengan amal shalih. Bukan sibuk dengan perkembangan mode terbaru, batu cincin, ataumodel mobil terbaru. Hal-hal semacam itu tidak ada habisnya jika diikuti, karena hawa nafsu tidak pernah membuat diri merasa puas.