RAIH KEBERKAHAN DARI BERQURBAN

0
359

RAIH KEBERKAHAN DARI BERQURBAN

Oleh: Rakhmad Z. Kiki

Sahabat saya, K.H. Abu Arif, pengasuh pondok Pesantren Fajar Dunia, Cileungsi, Jawa Barat, bercerita tentang pengalaman qurban pertama kalinya. Ketika itu kehidupan ekonominya belum sebaik sekarang, malah bisa dikatakan kekurangan.

Dia dalam posisi dilematis ketika akan berqurban, karena kebutuhan sehari-hari lebih mendesak daripada berqurban. Tetapi, dia meyakini bahwa berqurban adalah wujud dari bentuk syukur kepada Allah SWT, dan dengan bersyukur akan mendapatkan keberkahan, kehidupan ekonominya akan membaik dan jauh lebih baik.

Dia meyakini firman Allah SWT di QS. Al-Kautsar ayat 1 sampai 3 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat karunia yang sangat banyak. Maka sholatlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah. Sungguh orang yang membencimu akan terputus (dari rahmat Allah SWT)”.

Dari surat Al-Kautsar di atas, yang pertama kali Allah SWT sebutkan adalah nikmat karunia yang sangat banyak yang Allah SWT berikan kepada manusia. Dari nikmat karunia yang banyak diberikan tersebut, manusia diperintahkan untuk mensyukurinya dengan bentuk shalat dan berqurban.

Jika seseorang pandai bersyukur dengan selalu melakukan shalat dan berqurban, maka Allah SWT akan terus menambah nikmat karunianya kepada orang tersebut, seperti bunyi firman Allah SWT di Q.S Ibrahim ayat 7 yang artinya: “Sungguh, jika kamu bersyukur, niscaya Kami pasti akan menambahkan nikmat itu kepadamu”.

Tidak lama setelah berqurban, dia merasakan perubahan dalam masalah ekonomi. Keberkahan dari qurban benar-benar ia rasakan: kebutuhannya tercukupi dan penghasilannya bertambah. Sejak saat itu, sampai sekarang, setiap Idul Adha, dia selalu berqurban. Pengalaman pribadinya mendapatkan keberkahan dari berqurban ini dia kisahkan kepada siapa saja, dijadikan obat yang dia tawarkan kepada orang yang mengeluhkan kesulitan ekonomi kepadanya.

Kisah KH. Abu Arif di atas juga dialami banyak orang yang berqurban. Hubungan qurban dan keberkahan itu menjadi erat, karena keberkahan sendiri berasal dari kata berkah yang berasal dari kata bahasa Arab, yaitu barakah. Di dalam Kamus Al-Munawwir, kata barakah memiliki arti nikmat. Sedangkan menurut istilah, seperti yang diberikan Imam Al-Ghazali, barakah artinya ziyadatul khair, yakni bertambahnya kebaikan. Sedangkan para ulama menjelaskan, makna berkah sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup berkah-berkah material dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak dan usia.

Namun, dari kisah KH. Abu Arif di atas, kita dapat memahami bahwa keberkahan dari berqurban adalah hasil dari pengorbanan seseorang. Berkorban dari segala kebutuhan dan dari segala yang dicintai di dunia ini, untuk mementingkan berqurban dengan hewan ternak yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Tidak akan muncul keberkahan dari kurban tanpa adanya pengorbanan yang seperti ini.

Dr. Ali Syariati dalam bukunya Al-Hajj mengatakan Nabi Ismail AS (yang ketika itu dikorbankan untuk dikurbankan) adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Ismailnya Nabi Ibrahim AS adalah putranya sendiri, lantas siapa Ismail kita? Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita.

Yang jelas, seluruh yang kita miliki bisa menjadi Ismail kita, yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan kita kepada Ismail itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah SWT, sehingga kita enggan untuk berkurban. Kecintaan kita kepada Ismail yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah serta tidak mengenal batas kemanusiaan.

Dengan melihat keteladanan berkurban yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS, walaupun Ismail anak satu-satunya yang paling dicintainya, namun Nabi Ibrahim AS lebih mencintai Allah SWT. Mencontoh pengorbanan Nabi Ibrahim AS ini, apapun Ismail dalam diri kita, apapun yang kita cintai, korbankanlah manakala Allah menghendaki-Nya.

Janganlah kecintaan terhadap Ismail-Ismail itu membuat kita lupa kepada Allah SWT dan tidak mau berkorban untuk berkurban. Padahal, pengorbanan kita dengan berkurban tidaklah sia-sia, berbuah keberkahan untuk kita. Dua contoh keberkahan yang sangat besar didapatkan oleh Nabi Ibrahim AS dari pengorbanan kurbannya, yaitu dirinya mendapatkan status sebagai Khalilullah, kekasih Allah SWT, dan anak serta keturunannya banyak yang menjadi nabi dan rasul, bahkan salah satu keturunannya menjadi penutup para nabi dan rasul, menjadi manusia paripurna, Nabi Muhammad SAW.

Akhir kalam, KH. Abdurrahim Radjiun, ulama sufi Betawi terkemuka menyatakan, bagi umat Islam yang mukalaf atau sudah baligh, tidak ada pilihan ketiga ketika menyambut bulan Dzulhijjah. Hanya ada dua pilihan saja, yaitu berada di tanah suci untuk berhaji atau berkurban. Jika tidak pergi haji maka berkurbanlah pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik.

Jika tidak bisa berkurban dengan unta, sapi atau kerbau, maka berkurbanlah dengan kambing atau domba. Jika tidak bisa berkurban dengan kambing atau domba, maka berkurbanlah dengan ayam, maka berkurban dengan sebutir telur, sambil berdoa agar tahun depan bisa berkurban kambing.

Sebagai ulama, KH. Abdurrahim Radjiun tidak bermaksud untuk menafikan ketentuan syariat Islam tentang hewan kurban. Maksud kurban dengan ayam atau dengan sebutir telur sebagai riyadhah, latihan, agar semangat kurban tidak hilang karena ketidakmampuan untuk membeli hewan kurban pada saat itu, dan untuk mendapatkan keberkahan kurban dari niat berkurban yang sudah dicanangkan.***

 Sumber: Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 × five =