RAMADAN DI TENGAH CENGKERAMAN MILITER MYANMAR: ‘PENAHANAN TANPA ALASAN, PEMBUNUHAN DAN RASA TAK AMAN BERADA DI MASJID’ (2)

0
41

Korban yang ditembak tentara di masjid Mandalay pada hari pertama Ramadan. TWITTER KYAW MIN

Ketakutan menjadi sasaran

JIC, JAKARTA,– Selain Daw Zi, dan Daw Ma Aye, anak muda Muslim lain, U Jee, bukan nama sebenarnya, juga merasa was-was dan selalu berwaspada, dan takut menjadi incaran.

“Tidak, kami tak bisa tarawih karena jam malam. Namun militer juga secara rutin dan random memeriksa masjid. Mereka dapat menahan orang yang berkunjung ke masjid dan membuat orang takut pergi ke masjid, karena itu sejumlah masjid tutup,” cerita U Jee.

Yangon

SUMBER GAMBAR,U JEE

Keterangan gambar : Orang berjualan di tengah risiko besar pada siang hari, kata U Jee.

“Selama siang hari, sebelum buka puasa, orang-orang di tengah kota mencoba menjual makanan di tengah situasi penuh risiko dan bahaya. Mereka perlu menjual sesuatu untuk menyambung hidup.”

Jualan makanan di tengah kota Yangon.

SUMBER GAMBAR,U JEE

Keterangan gambar : Jualan makanan di tengah kota Yangon.

“Setelah jam 19:00 malam, semuanya tutup, orang-orang di dalam rumah dan berdiam. Sepanjang malam, banyak polisi dan tentara yang berpatroli di seputar tengah kota,” tambahnya.

Daw Zi, Daw Ma dan U Jee termasuk anak-anak muda yang ikut serta dalam protes besar yang pecah setelah militer melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu.

Dari ketiga mereka, hanya Daw Zi yang orang Rohingya.

Cecep Yadi, seorang warga Indonesia yang berteman baik dengan ketiganya saat tinggal di Yangon, mengatakan kondisi saat ini benar-benar traumatis buat semua.

“Ramadan tahun lalu sangat peaceful (damai) yah… Aktifitas seperti biasa… Tempat belanja, pasar, restoran buka seperti biasa.. Warga Muslim juga berpuasa dengan lancar dan damai,” kata Cecep.

Namun dalam dua bulan terakhir, anak-anak muda Myanmar, tak terkecuali termasuk yang Muslim berada dalam kondisi kekhawatiran.

“Mereka benar-benar trauma dan sedih, melihat orang meninggal setiap hari, di depan mata… Meninggal karena disiksa, dibunuh oleh polisi dan tentara,” kata Cecep Yadi, yang meninggalkan Myanmar akhir Maret.

“Saya sendiri sangat trauma dua bulan di zona perang, menyaksikan apa yang terjadi dan dengan perjuangan keluar dari Myanmar. Kesedihan dan trauma terberat yang pernah saya alami,” tambah Cecep.

Ia mengatakan upaya untuk keluar dari negara itu cukup berat dengan surat dari KBRI dan penjagaan tentara di polisi sampai ke bandara.

Protes besar yang diikuti ribuan orang di banyak kota di Myanmar sepanjang Maret lalu dibalas militer dengan kekerasan dan menyebabkan paling tidak 700 orang meninggal, termasuk puluhan anak-anak, sementara banyak lainnya ditahan.

Sumber : bbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here