Pasal apa saja yang ditolak pegiat antikorupsi?
JIC, JAKARTA — Berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM) hasil pembahasan badan legislasi DPR dan pemerintah, Jumat (13/09), ada 34 poin perubahan yang disepakati, antara lain perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif, pegawai KPK berstatus pegawai negeri, serta penyadapan harus seizin dewan pengawas.
Pegiat antikorupsi dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko, menganggap kesepakatan pemerintah-DPR untuk memasukkan pasal-pasal tersebut dalam revisi UU KPK akan melemahkan KPK.
Dadang kemudian menyoroti Pasal 12B yang menyebutkan bahwa penyadapan dapat dilakukan KPK atas izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Dewan Pengawas disebutkan dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan KPK paling lama satu kali 24 jam sejak permintaan diajukan.
“Modus korupsi di Indonesia yang sebagian besar dalam bentuk suap. Dan suap hanya bisa dijangkau dengan mudah melalui cara penyadapan,” kata Dadang kepada BBC News Indonesia, Senin (16/09).
“Dan di Indonesia, korupsi politik di Indonesia yang high level itu, yang proses penyadapan dll itu tidak bisa ada intervensi politik. Makanya, proses penyadapan harus betul-betul steril dari intervensi politik,” paparnya.
Menurutnya, Dewan Pengawas merupakan bagian dari intervensi politik terhadap proses penegasan hukum di KPK.

“Padahal, apa yang sudah ada di KPK, pengawasannya secara sistemik sudah sangat memadahi,” katanya.
Menanggapi kekhawatiran ini, anggota Komisi III DPR yang juga politikus PKS, Nasir Djamil mengatakan Dewan Pengawas tidak akan mencampuri urusan penegakan hukum KPK.
“Justru dia mengawasi apakah dalam fungsi-fungsi KPK dalam pencegahan dan penindakan itu mengalami abuse atau tidak,” kata Nasir Djamil kepada BBC News Indonesia.
“Jadi, pengawasan itu bagian untuk memastikan bahwa seluruhnya berjalan sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur), sehingga tidak terjadi hal-hal yang melanggar kode etik,” jelasnya.
Pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN)
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko, pengubahan status pegawai KPK sebagai aparat sipil negara, seperti diatur dalam pasal 1 ayat 7 dalam revisi UU KPK, juga akan membatasi gerak penyidik dan penyelidik.
“Artinya, mereka akan tunduk kepada UU Aparatur Sipil, sehingga mereka tidak akan menjadi independen seperti yang dilakoni KPK selama ini,” kata Dadang.
“KPK kan sudah memiliki penyidik internal yang status hukumnya sudah kuat, diakui oleh pengadilan tipikor, MA, dan bahkan oleh MK.”
“Itu saja sudah cukup, tinggal yang diperlukan KPK sekarang adalah memberi kesempatan KPK untuk merekrut lebih banyak lagi (penyelidik dan penyidik),” jelasnya.

Namun anggota DPR Komisi III dari PKS, Nasir Djamil, menganggap tidak ada yang salah dengan pasal yang mengatur tentang status ASN (aparatus sipil negara) pada pegawai KPK.
“Independen itu sikap, fungsinya, dan bukan lembaganya. Jadi lembaganya harus mengikuti bagaimana pengaturan oleh negara. Karena KPK itu lembaga negara pendukung,” katanya.
“Oleh karena itu, lembaga negara utama itu eksekutif, yudikatif dfan legislatif. Nah, putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa KPK itu bagian dari eksekutif,” tambah Nasir.
“Tentu saja ini maksudnya agar penataan pegawai, karyawan yang bekerja di KPK mengikuti aturan-aturan negara, dalam hal ini UU Aparatur Sipil Negara.”

sumber : bbcindonesia.com