JIC – Dekan Fakultas Humaniora Universitas Darussalam Gontor Ahmad Hidayatullah mengungkapkan memelajari kitab kuning tetap penting bagi seorang santri yang tengah menimba ilmu Islam. Sebab dengan memelajari kitab kuning, kata dia, para santri dapat mengetahui asal usul ilmu yang mereka pelajari.
Menurut Ahmad, dengan mengetahui asal usul atau seluk-beluk ilmu yang dipelajari, para santri dapat mendapat manfaat tersendiri. “Tentu hal itu dapat memperkuat keislaman mereka,” tuturnya kepada Republika.co.id, Senin (11/4).
Di Gontor sendiri, lanjut Ahmad menerangkan, mewajibkan para santrinya untuk memelajari kitab-kitab kuning. “Karena para santri harus mengenal karakteristik buku-buku tersebut,” ujarnya.
Terkait adanya laporan dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang menyebut bahwa pengajaran kitab kuning mulai menyusut di pesantren-pesantren, Ahmad memaklumi hal tersebut. Sebab ia menilai, saat ini, pola pikir para santri lebih pragmatis dan praktis.
Mereka, kata Ahmad, lebih condong untuk menimba ilmu di sekolah-sekolah formal. “Seperti tsanawiah dan aliah,” ucapnya.
Sebab, di sekolah sanawiah dan aliah pun, ucapnya, memelajari kitab kuning. Namun tidak sedalam seperti di pondok-pondok pesantren. “Jadi mereka berpikir belajar (kitab kuning) di sekolah formal sajalah,” kata Ahmad.
Kendati demikian, Ahmad tetep optimistis bahwa para santri, khususnya yang telah memahami manfaat, serta mahir berbahasa Arab, akan tetap merujuk pada kitab-kitab kuning dalam proses belajarnya. Termasuk bila mereka hendak melakukan penelitian dan pengkajian yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Islam.
Begitu pula dengan pakar Alquran dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Muchlis Hanafi mengatakan kitab kuning merupakan warisan intelektual Islam klasik. Dia menjelaskan, dengan belajar kitab tersebut akan melestarikan ilmu-ilmu dari para ulama masa silam.
“Jadi mempelajari kitab kuning itu, kita menjaga mata rantai ilmu-ilmu keislaman,” tutu Muchlis para Republika.co.id, Senin (11/4).
Menurut dia, metode pembelajaran kitab kuning perlu dan harus dikembangkan. “Kitab kuning ini memang perlu dikembangkan dan diaktualisasikan dalam konteks kekinian. Karena dalam kitab tersebut berisi ilmu-ilmu keislaman orisinil yang ditulis ulama-ulama Nusantara dan Arab,” ujarnya.
Dengan demikian, keautentikan ilmu-ilmu dalam kitab tersebut akan senantiasa terjaga. “Tapi kita juga tidak mengabaikan perkembangan zaman,” tutur lelaki yang juga menjabat sebagai Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kemenag.
Ia menilai sejak masa sekolah, seperti sanawiah dan aliah, kitab kuning layak untuk dipelajari. Jika tidak, akan berdampak pada mutu atau kualitas santri yang hendak menimba ilmu di perguruan tinggi Islam.
“Kualitas input-nya pasti akan menurun, karena mereka tidak menguasai bahasa Arab  dan tidak menguasai literatur-literatur dengan baik. Mutu studi Islam di tingkat perguruan tinggi akhirnya menurun,” kata Muchlis.
Sumber ; REPUBLIKA.CO.ID