ANTARA FOTO
JIC, — Seruan boikot terhadap produk Prancis seperti yang disuarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) diragukan efektifitasnya dan oleh pengamat ekonomi dan seorang tokoh Nahdlatul Ulama.
Selain karena nilai impor Prancis ke Indonesia relatif kecil, pemboikotan juga tak memberi solusi atas persoalan mendasar yang terjadi di sana, yakni pertentangan antara nilai-nilai agama dengan sekularisme ektrem.
Kendati demikian, beberapa orang menyatakan setuju memboikot dan 1.000-an orang yang berasal dari Laskar Pembela Islam akan menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Kedutaan Prancis di Jakarta, pada Senin (02/11).
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, menyebut seruan dan tindakan boikot atas barang-barang Prancis tidak akan berdampak signifikan pada perdagangan negara itu.
Ini karena nilai impor Prancis ke Indonesia sangat kecil jika dibandingkan dengan negara China, Amerika, Australia, dan India.
Komoditas impor terbesar dari Prancis adalah pesawat dan komponennya. Sementara produk makanan dan barang mewah seperti tas, kebanyakan produksinya sudah dibuat di dalam negeri.
“Untuk produk-produk yang sifatnya lifestyle hanya merek saja, tapi produksinya di Indonesia. Jadi tidak signifikan buat Indonesia dan Prancis karena porsinya enggak besar,” jelas Enny Sri Hartati kepada Quin Pasaribu, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Kalau Prancis perkiraan saya paling impornya tidak sampai 5%. Berbeda seperti China sampai 33%.”

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Selain itu harga komoditas buatan Prancis terbilang mahal dan konsumennya kebanyakan kelompok menengah ke atas. Golongan ini, kata Enny, relatif teredukasi dan tak terpengaruh dengan apa yang terjadi di Prancis.
Berbeda hal jika kebijakan boikot dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kalau kebijakan itu yang diambil seperti Turki maka pasti sangat berpengaruh, lanjut Enny.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang Januari-Juli 2020, nilai total impor dari Prancis ke Indonesia mencapai US$ 682 juta atau sekitar Rp9,9 triliun, turun 17% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
MUI imbau boikot produk Prancis
Imbauan untuk memboikot semua produk asal Prancis diserukan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekjen MUI, Anwar Abbas, mengatakan langkah boikot ditempuh untuk ‘menekan’ Presiden Emmanuel Macron atas pernyataannya yang disebut Anwar Abbas ‘arogan’.
“Makin ke sini di (Presiden Emmanuel Macron) makin arogan dan dia menegaskan tidak akan berubah dan mendukung publikasi karikatur Charlie Hebdo itu,” ujar Anwar Abbas.
“Jadi kita harus memberikan tekanan kepada dia untuk menyadarkan,” sambungnya.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Seruan boikot tersebut, katanya, baru akan berhenti sampai Presiden Macron menyatakan minta maaf kepada seluruh umat Islam di dunia dan menghentikan penerbitan karikatur Nabi Muhammad.
Kendati ia tidak menegaskan, apakah boikot ini bersifat wajib atau diserahkan ke tiap-tiap individu.
“Kalau umat Islam punya hati nurani, enggak usah diimbau juga akan dilakukan mestinya. Masak dihina Nabi Muhammad kok diam, gimana ceritanya?”
Selain menyuarakan boikot, MUI juga mendesak pemerintah Indonesia menarik sementara waktu Duta Besar RI di Paris.
Seperti apa reaksi masyarakat?
Novianto Ari Prihatin, warga Klaten, Jawa Tengah, menyatakan setuju dengan seruan boikot dan telah berhenti membeli barang-barang yang memiliki kaitan dengan negara Prancis seperti air mineral dan biskuit.
“Kalau saya setuju (boikot) karena ini sebagai bentuk ekspresi dari pernyataan Presiden Prancis. Toh boikot sebagai sikap legal di antara sikap lain,” imbuh Novianto kepada BBC.
Novianto berkata, akan mogok membeli produk buatan Prancis sampai Presiden Emmanuel Macron meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Suara berbeda diutarakan Marwan Yaumal Akbar dari Jakarta. Ia tak mau ikut memboikot produk Prancis karena dianggap tidak memberi efek apapun dan justru merugikan pedagang lokal.
“Memang bakal efek ke negara Prancis? Itu kan barang retail. Kecuali sikap pemerintah yang memboikot barang-barang Prancis untuk masuk,” kata Marwan kepada BBC.
Kendati ia mengaku kecewa dengan pernyataan Presiden Emmanuel Macron, tapi baginya serangan kekerasan tak cuma ditujukan kepada umat Islam tapi juga Kristen.
Dia justru meminta umat Muslim di Indonesia bersikap ‘dewasa dalam beragama’ dengan menampilkan wajah Islam yang ramah.
“Kalau api dilawan api tambah besar, kalau api dilawan air akan redam.”
Adapun Laskar Pembela Islam (LPI) menyatakan akan menggelar aksi demonstrasi di depan gedung Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, Senin (01/11).
Koordinator lapangan aksi, Eko Susilo, mengatakan setidaknya seribu orang akan datang untuk mengecam pernyataan Presiden Macron dan mendesaknya meminta maaf.
“Kami akan orasi dan membakar patung Presiden Macron sebagai simbol dan aksi teatrikal,” imbuh Eko Susilo.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Aksi demo ini, katanya, kemungkinan akan terus berlanjut sampai Presiden Macron menyatakan penyesalannya.
Sejauh ini, pemerintah menyatakan tidak akan melarang masyarakat jika enggan membeli produk asal Prancis. Akan tetapi kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, “pemerintah tidak akan memberikan ruang bagi suatu tindakan yang bersifat merugikan hubungan bilateral kedua negara”.
‘Kalau boikot efektifitasnya tidak bisa diukur’
Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf, menilai ajakan boikot tidak efektif selama tidak ada dialog substansial mengenai persoalan yang terjadi belakangan. Yakni adanya perbenturan antara apa yangdisebutnya sebagai sekularisme ektrem di Prancis dengan nilai-nilai agama.
Ia berpandangan, korban dari ‘sekularisme ekstrem’ di Prancis tidak hanya menyasar agama Islam tapi juga Kristen.
Hal itu nampak pada peristiwa terakhir yaitu penyerangan di gereja Basilika Notre-Dame yang menewaskan tiga orang.
“Tindakan teror yang kedua membunuh orang di gereja, tindakan teror yang diarahkan kepada orang Kristen. Padahal yang melecehkan bukan atas nama agama, tapi sekularisme ekstrem,” ujar Yahya Cholil Staquf kepada BBC News Indonesia, Minggu (01/11).

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO
Sehingga, menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah dialog untuk menyamakan persepsi atas nilai-nilai agama yang berlaku universal.
Jika tidak, katanya, ancaman teror akan terus berlanjut dan rentan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal dan teroris.
“Harus ada dialog soal kebebasan berbicara dan soal blashphemy. Orang perlu ukuran sampai mana kebebasan berbicara dilakukan ketika menyakiti pihak lain dan bagaimana diselesaikan, apakah dalam kerangka hukum atau budaya.”
“Kalau sekularisme tidak mau buka diri untuk berdialog, karena perilaku sekularisme ini menggunakan jargon kebebasan berbicara sebagai justifikasi untuk menyerang norma-norma yang mapan di masyarakat,” tegasnya.