وَقَالَ لَهُمۡ نَبِيُّهُمۡ اِنَّ اللّٰهَ قَدۡ بَعَثَ لَـکُمۡ طَالُوۡتَ مَلِكًا ؕ قَالُوۡٓا اَنّٰى يَكُوۡنُ لَهُ الۡمُلۡكُ عَلَيۡنَا وَنَحۡنُ اَحَقُّ بِالۡمُلۡكِ مِنۡهُ وَلَمۡ يُؤۡتَ سَعَةً مِّنَ الۡمَالِؕ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ اصۡطَفٰٮهُ عَلَيۡکُمۡ وَزَادَهٗ بَسۡطَةً فِى الۡعِلۡمِ وَ الۡجِسۡمِؕ وَاللّٰهُ يُؤۡتِىۡ مُلۡکَهٗ مَنۡ يَّشَآءُ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ
“Dan nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi) menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”
[Surat Al-Baqarah: (2: 247)]
JIC– Ketika Bani Israil meminta kepada nabi mereka (Nabi Samuel), agar mengangkat untuk mereka seorang raja dari kalangan mereka, maka nabi mereka menetapkan Thalut sebagai pemimpin mereka. Ia seorang dari bala tentara Bani Israil dan bukan dari kalangan kerajaan.
Menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Thalut adalah nama Arab dari Saul. Ia dijuluki demikian karena badannya jangkung. Seorang pengangkut air yang miskin, tidak punya harta untuk menjalankan pemerintahan. Ia orang yang paling berilmu, tampan dan gagah.
Allah Ta’ala memilih Thalut menjadi raja menurut Ibnu Katsir karena ia lebih mengetahui daripada Bani Israil, lebih mulia, lebih perkasa, lebih kuat, dan lebih sabar dalam peperangan, serta lebih sempurna ilmunya dan lebih tegar. Ia layak menjadi raja karena berpengetahuan, mempunyai bentuk tubuh yang bagus, dan kuat fisik maupun mental.
Bani Israil tentu tidak menerima pilihan nabi mereka yang didasarkan atas petunjuk Allah, memungkiri Thalut sebagai pemimpin. Karena adanya perasaan bahwa merekalah yang lebih berhak terhadap kekuasaan berdasarkan kewarisan, mengingat mereka keturunan Yehuda, yang selama ini memegang pemerintahan. Lagi pula Thalut tidak memiliki kekayaaan berlimpah sehingga dianggap tidak layak memimpin.
Allah Ta’ala Pemilik kekuasaan, Dialah yang memberlakukannya, dan memilih siapa yang dikehendaki dari para hamba-Nya. Karunia dan pemberian Allah tidak terbatas. Allah Ta’ala yang mengetahui kebaikan dan bagaimana urusan itu diletakkan pada posisinya secara proporsional.
Selain keluasan ilmu dan kekuatan tubuh, ada sifat lain yang mesti dimiliki oleh pemimpin, sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan,
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا یَـٰۤأَبَتِ ٱسۡتَـٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَیۡرَ مَنِ ٱسۡتَـٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِیُّ ٱلۡأَمِینُ
“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.” [Surat Al-Qashash: (28: 26)]
Anak perempuan Nabi Syu’aib meminta kepada ayahnya untuk mempekerjakan orang yang kuat lagi terpercaya. Sifat utama bagi pekerja adalah kuat dalam melaksanakan perintah dan amanah dalam menjaga sesuatu. Kedua sifat ini dirasakan oleh putri Nabi Syu’aib selama interaksi singkat dengan Musa.
Dalam kaitan firasat ini, Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa ada tiga orang yang paling bagus firasatnya; (1) Abu Bakar ketika berfirasat memberi kekuasaan pada kepada Umar bin Khattab, (2) orang dalam kisah Nabi Yusuf ketika berkata,Muliakanlah kedudukannya, dan (3) perempuan dalam kisah Musa ketika berkata,Wahai Bapakku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja kepada kita. Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
Ayat 247 Al-Baqarah di atas memberikan pelajaran bahwa jihad di jalan Allah membutuhkan kesiapan mental, pendidikan dan pengetahuan, pengalaman, keterampilan, keberanian, tekad bulat, keikhlasan, pengorbanan dan mati-matian membela prinsip dan kemuliaan.
Bani Israil tidak memiliki kriteria karena jiwa mereka kotor, tidak suci dan tidak tulus. Iman mereka lemah, pengin hidup enak tanpa berjuang. Kekuasaan bukan diwariskan secara turun temurun dan tidak ditentukan dengan kekayaan seseorang, melainkan ditentukan dengan kecakapan, ilmu, keterampilan, kekuatan kepribadian dan keteguhan.
Sifat-sifat pemimpin itu;
Pertama, memiiki keluasan ilmu dan kemuliaan jiwa, termasuk ilmu strategi perang. Dalam kaitan ini juga mampu menjaga marwah bangsa dan negara dalam interaksi global.
Kedua, memiliki kekuatan fisik, yang menjadi bekal dalam memperkuat kinerja dan faktor pendukung dalam perang.
Ketiga, Kekuatan dan kemampuan untuk melakukan apa yang dibebankan kepadanya. Profesional dalam mengeksekusi program-program yang sudah dirumuskan dan diamanatkan. Sudah teruji dengan beragam prestasi lokal dan internasional.
Keempat, memiliki integritas tinggi, amanah di dalam kepemimpinannya diwujudkan dengan cara tidak berkhianat kepada rakyat dan mampu menjaga kredibilitasnya.
Ketika seorang pemimpin memiliki ruh yang bersih, hatinya suci, penuh empati kepada rakyatnya yang lemah, dan fitrahnya lurus, maka cukup menjadi argumentasi untuk dititipkan padanya sebuah amanah besar dalam memimpin negara dengan penduduk sebanyak 278,7 juta jiwa menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, dan menempati urutan penduduk muslim terbesar di planet bumi.
*Tulisan diatas adalah materi dari Ayat-ayat pendidikan bagian ke-33 yang ditulis oleh Ustaz Arief Rahman Hakim, M.Ag, Kepala Sub Divisi Pendidikan dan Pelatihan PPIJ












