SISWI SMP DI AS DIDISKUALIFIKASI DARI VOLI KARENA BERJILBAB

0
51

Siswi SMP di AS Didiskualifikasi dari Voli karena Berjilbab. Najah Aqeel, seorang siswi kelas sembilan di Valor Collegiate Academies di Nashville, Tennessee, AS hanya bisa menangis saat mendengar keputusan wasit yang mendiskualifikasinya dari pertandingan. Wasit tersebut mengatakan jilbab yang dipakai Najah melanggar peraturan yang ditetapkan National Federation of State High School Associations (NFHS), badan nasional yang menulis peraturan untuk berbagai olahraga di sebagian besar sekolah menengah.                   Foto: AQEEL FAMILY

Jilbab yang dipakai siswi SMP tersebut dinilai melanggar peraturan olahraga sekolah.

JIC, NASHVILLE — Najah Aqeel, seorang siswi kelas sembilan di Valor Collegiate Academies di Nashville, Tennessee, AS hanya bisa menangis saat mendengar keputusan wasit yang mendiskualifikasinya dari pertandingan. Wasit tersebut mengatakan jilbab yang dipakai Najah melanggar peraturan yang ditetapkan National Federation of State High School Associations (NFHS), badan nasional yang menulis peraturan untuk berbagai olahraga di sebagian besar sekolah menengah.

Pada Selasa (15/9) lalu, Najah telah dijadwalkan bermain. Ia seharusnya menjadi salah satu tim pada pertandingan tandang untuk tim bola voli baru. Namun, tepat sebelum pertandingan dimulai, wasit memberi tahu Najah dan asisten pelatihnya bahwa jilbabnya melanggar peraturan. Ia diberitahu membutuhkan izin khusus untuk bermain.

Saat itu, baik Najah maupun para pelatihnya tidak tahu apa-apa tentang persyaratan tersebut mengingat selama ini dia sudah beberapa kali bermain dengan memakai jilbab. Setelah mendengar keputusan mendadak itu, Najah hanya menangis dan menuntut keadilan dan penegakan aturan yang menurutnya sewenang-wenang.

“Saya menangis, bukan karena saya terluka. Saya menangis karena saya marah. Saya hanya berpikir itu tidak adil,” kata Najah yang dikutip di HuffPost, Sabtu (19/9).

Ibu Najah, Aliya Aqeel, yang turut hadir menyaksikan putrinya yang seharusnya bermain, merasa sangat terpukul dan berusaha mendapatkan keadilan bagi putrinya. “Anak saya menangis. Dia kesal dan saya adalah ibu yang seperti, ‘Tidak. Kamu tidak bisa membuatnya menangis’. Ini adalah ketidakadilan, dan itu karena agamanya. Itu (diskualifikasi) karena jilbabnya,” kata Aliya.

 

Seorang juru bicara Valor Collegiate Academies mengatakan kepada HuffPost mereka tidak mengetahui kebijakan tersebut sampai pertandingan itu. Ia menegaskan atlet berjilbab lainnya di sekolah tidak pernah memiliki masalah sebelumnya.

“Sebagai departemen atletik, kami sangat kecewa karena kami tidak mengetahui aturan ini atau sebelumnya diberitahu tentang aturan ini dalam tiga tahun kami sebagai sekolah anggota TSSAA [Asosiasi Atletik Sekolah Menengah Tennessee],” kata Cameron Hill, direktur Atletik di Valor Collegiate Academies dalam sebuah pernyataan.

“Kami juga kecewa karena aturan ini telah diberlakukan secara selektif yang dibuktikan dengan fakta atlet pelajar sebelumnya pernah berkompetisi sambil mengenakan jilbab,” ujarnya, yang juga menyebut aturan itu sebagai tindakan diskriminatif dan tidak adil.

“TSSAA selalu memberikan pengecualian kepada setiap siswa yang ingin berpartisipasi dengan aksesori kepala, atau pakaian lain, karena alasan agama,” kata Bernard Childress, direktur eksekutif organisasi.

“Permintaan dalam situasi seperti ini sudah disampaikan ke kantor kami pada Rabu, 16 September, dan langsung disetujui,” imbuhnya.

Meski begitu, sebagai anggota TSSAA, Valor Collegiate Academies harus tetap mengikuti peraturan yang berlaku, dan Najah tetap tidak bisa mengikuti pertandingan yang telah dinantikannya selama ini. Disisi lain, NHFS atau Asosiasi Bola Voli Tennessee Tengah, administrasi yang mengirimkan wasit, tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.

Najah bukanlah atlet pelajar Muslim pertama yang didiskualifikasi dari kompetisi sekolah menengah karena berhijab. Pada 2018, remaja Muslim Noor Alexandria Abukaram juga menelan pil pahit ketika didiskualifikasi dari perlombaannya di Ohio karena protes para pejabat yang mengatakan jilbabnya melanggar seragam.

Di luar sekolah, atlet Muslim di liga profesional juga menghadapi tantangan serupa karena jilbab mereka. Banyak dari mereka yang mengatakan terpaksa memilih antara keyakinan dan minat mereka terhadap olahraga.

Para advokat sejak itu meminta departemen atletik dan liga internasional mengakhiri diskriminasi ini dan memperbarui apa yang mereka sebut aturan kuno yang secara khusus menargetkan wanita Muslim. Pada 2017, Bilqis Abdul-Qaadir, seorang bintang basket yang tengah memupuk prestasi untuk bisa bermain di kancah internasional harus menghentikan langkahnya ketika International Basketball Federation (FIBA) melarangnya bermain dengan hijab. Wanita Muslim yang bermain untuk University of Memphis itu pun memilih mempertahankan kehormatannya sebagai seorang Muslimah dan terpaksa melepaskan mimpinya.

Ketika Abdul-Qaadir mendengar tentang insiden Najah, dia mengaku sangat marah. Dia mengatakan, insiden itu membawanya kembali pada kenangan traumatis ketika dia dipermalukan oleh pejabat olahraga karena jilbabnya.

“Fakta bahwa ini masih berlangsung dan gadis-gadis muda harus tetap membuat keputusan antara keyakinan dan olahraga adalah konyol, dan inilah saatnya untuk benar-benar mengakhirinya. Kami perlu menyingkirkan aturan ini sehingga lebih banyak dari kami dapat bermain dengan bebas tanpa harus menjawab siapa pun,” kata Abdul-Qaadir.

Najah adalah satu  di antara sekitar 65 ribu Muslim di negara bagian Tennessee. Jika aturan tidak berubah, maka dipastikan partisipasi Muslim dalam olahraga akan menurun.

“Ini hanya menempatkan hambatan yang tidak perlu bagi orang-orang dari semua agama kecuali bagi gadis Muslim untuk berpartisipasi penuh dalam olahraga. Badan negara kita harus melayani semua pelajar-atlet mereka dan memastikan tidak ada dari mereka yang merasa didiskriminasi dan tidak ada hambatan untuk bermain olahraga,” kata Sabina Mohyuddin, direktur eksekutif di American Muslim Advisory Council, sebuah organisasi advokasi yang memberdayakan Muslim.

Meski telah kembali ke lapangan dan sudah bermain dua kali sejak insiden itu. Namun, Najah dan keluarganya merasa ini hanyalah permulaan dari masalah yang lebih besar bagi nasib wanita Muslim dalam olahraga.

“Kami tidak hanya berjuang untuk Najah. Kami tidak hanya berjuang untuk Muslim. Kami berjuang untuk siapa pun yang terkena dampak aturan ini,” kata Aliya.

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here