Home News Update Islam Indonesia TELAAH : SANTRI DAN MISI PERDAMAIAN DUNIA (2)

TELAAH : SANTRI DAN MISI PERDAMAIAN DUNIA (2)

0
244

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid saat memberikan sosialisasi Empat Pilar MPR di Cikini, Jakarta, Sabtu (6/4/2019) (ANTARA/HO-Humas MPR)

Jakarta, JIC  –  Ada tiga sikap dan nilai dasar yang dapat dipromosikan.  Pertama, nilai moderasi Islam (al-washathiyah) sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci Al-Qur’an (surat Al-Baqarah: ayat 143), bahwa Umat Islam adalah umat pertengahan yang menjadi saksi atas segala perbuatan manusia di muka bumi. Karakter utama seorang saksi ialah bersifat adil. Kita menolak segala bentuk ekstremitas dalam kehidupan beragama dan pergaulan sesama manusia.

Santri adalah duta umat Islam yang harus memiliki konsep berpikir dan bertindak moderat. Tetap berada di atas jalan tengah, tidak terjebak tarikan ke kiri/komunisme, liberalisme atau ke kanan/radikalisme/terorisme. Santri menjadi contoh bagi masyarakat luas tentang sikap moderat yang diajarkan Islam.

Kedua, nilai yang patut diperjuangkan untuk perdamaian dunia adalah tasamuh, yakni berjiwa terbuka (open mind) dan berlapang dada dengan segala perbedaan. Saat ini, kebutuhan kita terhadap sikap toleran melebihi kebutuhan di masa lalu. Hari-hari ini kita menghadapi ancaman perpecahan, pertikaian, saling benci dan konfrontasi. Berbagai bentuk pendekatan budaya, interaksi peradaban, terus berkembang dengan terjadinya revolusi teknologi informasi dan komunikasi. Kita seperti hidup dalam kampung kecil di planet yang besar. Bila pikiran dan jiwa kita kerdil, maka akan timbul beragam masalah.

Kedekatan yang tercipta berkat kemajuan teknologi menyebabkan interaksi nyaris tanpa batas. Untuk itu, kita perlu mengembangkan nasionalisme yang berlandaskan kemanusiaan, tidak terperangkap chauvinisme. Nilai-nilai Islam sendiri sejak zaman Nabi Muhammad Saw ditujukan bagi seluruh umat manusia (kaafftan lin-naas), bukan hanya untuk suku atau bangsa tertentu. Tidak perlu alergi dengan dakwah yang bersifat transnasional karena itu justru menandai watak kosmopolitan Islam yang sering diungkap Bung Karno dan Bung Hatta.

Namun kita mengakui, interaksi dan informasi global juga mungkin menimbulkan efek samping berupa ancaman antara satu bangsa terhadap bangsa lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, antar satu agama dengan agama yang lain, bahkan antar sesama anak bangsa yang sama, dan juga antar sesama pemeluk agama yang sama. Jika diteliti lebih jauh, ternyata sumber ancaman itu adalah: sikap ta’ashub atau fanatisme.

Fanatisme yang menjadi sumber perpecahan bukanlah rasa bangga seseorang dengan aqidah yang dipegangnya. Keyakinan itu baik dan tak bisa dianggap negatif. Tapi maksud fanatisme yang buruk adalah sikap ketertutupan seseorang dengan keyakinan dan pemikirannya, serta menganggap bahwa orang lain seluruhnya yang berbeda dengannya adalah musuh, lalu berusaha mencelakakan mereka, mencemarkan kebaikan mereka, memancing dan melakukan kekerasan atas mereka. Itulah fanatisme yang mengganggu kedamaian dan ketenteraman sosial.

Islam memiliki cara untuk mengatasi sikap fanatik sempit. Para santri yang belajar syariah dan peradaban Islam tentu memahami: tasamuh yang menolak ta’asshub (fanatisme), mendorong ta’aaruf (saling mengenal) dan menghalangi sikap tanaakur (saling menolak), menumbuhkan al-hubb (cinta) dan menjauhkan karaahiyah (kebencian), mendorong hiwaar (dialog) dan menghindari shaddaam (benturan), menyarankan rifq (kelembutan) dan menolak ‘unf (kekerasan), menyuburkan rahmah (kasih sayang) dan mematikan qaswah (kekerasan), menjamin salaam (kedamaian) dan berusaha semaksimal mungkin tidak melakukan harb (peperangan).

Ketiga, Al-i`tilaf yang berarti harmoni atau keserasian. Yakni, keselarasan antara keyakinan dan tingkah laku, menghormati, menyayangi apa yang ada, merangkum, dan mensinergikan segala bentuk perbedaan secara ikhlas dan alamiah.

Dengan harmoni akan tercipta energi pembangun tatanan kehidupan yang indah dan teratur. Harmoni bukan keterpaksaan, tetapi ada sistem dan aturan yang menjadi kesepakatan bersama, dimana semua komponen bangsa berusaha menjaganya karena menyangkut kepentingan bersama. Harmoni dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, tatanan internasional, bahkan alam semesta. Dengan harmoni, semua akan menjadi indah, enak dilihat, dirasakan, dan dinikmati.

Peran santri dan urgensi nilai-nilai keislaman dalam format kebangsaan tak perlu diragukan lagi karena pada tanggal 22 Oktober 1945, para ulama di bawah pimpinan Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari merespon pertanyaan Presiden Soekarno tentang: apa hukumnya mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melawan penjajah? Para ulama mengeluarkan Resolusi Jihad untuk membakar semangat seluruh lapisan masyarakat, termasuk kaum santri agar bergabung dalam laskar-laskar perjuangan.

Resolusi Jihad itu kemudian dikukuhkan dalam Kongres Umat Islam Indonesia I (7-8 November 1945) di Yogyakarta, dan akhinya menyulut perjuangan rakyat bersama kaum santri dalam Perang Surabaya (10 November 1945).

Islam memerangi penjajahan dan penindasan manusia atas manusia lain. Islam mengajarkan persatuan dan melarang peperangan, perselisihan, dan permusuhan. Islam yang akhirnya menjadi agama mayoritas di Indonesia melawan kemiskinan agar terwujud kesejahteraan, menghentikan kezaliman demi terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat.

Perselisihan yang terjadi di negeri ini dan belahan dunia lain, mungkin berlatar-belakang pemikiran, kesukuan, perbedaan kepentingan dan lainnya. Tapi, sesungguhnya perselisihan itu berpangkal dari kondisi hati yang sakit. Hati yang tersandera oleh penyakit iri, dengki, ujub, arogansi, dan niat atau motivasi buruk lainnya. Hati yang sakit itu kemudian mempengaruhi cara berpikir, sikap dan perilaku yang mencelakakan dan menghancurkan pihak lain.

Karena itu, misi perdamaian kaum santri yang menurut data Kementerian Agama saat ini berjumlah 3.642.738 orang tersebar di 27.218 pesantren, harus dimulai dengan pembersihan hati dan penjernihan pikiran. Diplomasi global perlu dikembangkan dengan hati tulus dan pikiran terbuka. Selamat meresapi Hari Santri Nasional.

Oleh Dr. Hidayat Nur Wahid, MA

 

 

sumber : Antaranews.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

five − 1 =

toto

coloktoto

toto