Ulama Hadramaut, Kisah Koloni Arab di Batavia dan Jawa Ep 2

0
659

5942

JIC- Koloni Arab Pekalongan yang Makmur

Koloni Arab di Pekalongan sangat berbeda cirinya (dengan koloni Arab di Tegal–Red). Orang-orang Arab yang pertama menetap di sini datang pada awal abad ke-19. Sebagian besar adalah golongan “Sayid” yang kawin dengan anak perempuan para pemimpn pribumi dan merupakan inti dari koloni besar yang ada. Mereka adalah keturunan sayid dan anggota keluarga sayid yang datang dari Hadramaut.

Mereka membentuk mayoritas penduduk Arab di Pekalongan. Anggota suku hampir tidak ada dan tampaknya dapat dikatakan sedikit sekali pendatang dari Hadramaut yang bermukim di sini. Meskipun di wilayah mereka beberapa rumah tidak berpenghuni, sebagian besar Arab di Pekalongan jelas hidup makmur. Tidak demikian halnya dengan campuran Arab yang tinggal di luar wilayah Arab. Mereka menetap di daerah pinggiran, seperti Ledok, Mpipitan, Kauman, dan Krapyak. Mereka sangat menjaga jarak denga orang Arab yang datang dari Hadramaut dan orang campuran yang masih mempertahankan ciri Arabnya.

Orang campuran Arab yang tinggal di daerah baru tersebut sama sekali tidak bisa berbahasa Arab. Mereka selama beberapa generasi tinggal di antara penduduk pribumi di rumah papan atau bambu, mencari nafkah seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan mengikuti adat istiadat mereka. Tak seorang pun di antara mereka berdagang. Di wilayah ini terdapat masjid kecil untuk bersembahyang sehari-hari.

Dan, meskipun tidak terdapat cendekiawan profesional di antara orang Arab pekalongan, hampir semua mereka cukup kaya, memperhatikan pendidikan jiwa. Di dalam sejumlah rumah ditemukan naskah dan buku yang tidak hanya dicetak dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Eropa, misalnya, yang disusun oleh S de Sacy dan diterbitkan sejak 1838. Koloni Arab di Pekalongan memiliki kepala yang diangkat oleh pemerintah.

Koloni Arab di Gresik dan Surabaya

Bagian Pulau Jawa tempat orang Arab mendirikan koloninya yang pertama adalah di mulut selat Madura. Bersama dengan Gresik, koloni Arab tersebut sudah lama ada semenjak abad XV. Untuk yang di Gresik, koloni Arab yang berada di situ mencapai puncak kebesarannya pada 1846. Dan, koloni Arab di Gresik ini sudah punya kepala koloni Arab sejak 1832.

Beda dengan Gresik yang kemudian mengalami kemunduran, koloni Arab di Surabaya malah sangat berkembang. Dalam lima belas tahun terakhir, populasinya berlipat dua. Di sini dijumpai orang Arab dari segala tempat di Hadramaut dan dari berbagai keluarga. Banyak di antaranya golongan sayid. Koloni Arab Surabaya ini dianggap sebagai pusat semua koloni di Jawa bagian timur. Koloni Arab lain berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki, dan Banyuwangi.

Wilayah Arab Surabaya terletak di bagian timur laut kota. Jalan-jalannya kebanyakan kotor, sempit, dan rusak. Di sana dijumpai banyak toko dan sejumlah rumah yang kokoh dan terawat baik. Terdapat tujuh masjid untuk bersembahyang dan masjid besar Ampel untuk shalat Jumat. Yang terakhir ini adalah masjid yang luas dan cantik di nusantara. Meskipun masjid itu diurus oleh penjaga pribumi, sebagian besar jamaahnya adalah orang Arab.

Pada 1832, koloni Arab di Surabaya memperoleh kepala koloni yang sebangsa dengan mereka. Keturunan campuran Arab di Surabaya merupakan koloni yang masih mempertahankan identitas Arabnya.

Sebagian besar di antara mereka yang menjadi kaya, bukan hanya bicara dalam bahasa Arab, melainkan juga selalu menunjukkan bahwa dirinya bukan pribumi.

Ulama Hadramaut, Penyebar Islam di Pedalaman Selatan Jawa

Tak hanya berada di Pantai Utara, misalnya di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, yang menjadi tempat tinggal Habib Husein Alaydrus, sosok penyebar Islam asal Hadramaut ternyata sudah jauh lebih dahulu berkelana masuk ke pedalaman Jawa bagian selatan. Salah satu jejaknya itu adalah berada di Pondok Pesantren Somalangu (Al Kahfi) di Desa Sumberadi, Kabupaten Kebumen.

Pondok pesantren ini sudah berdiri sangat lama. Mengacu pada prasasti yang dipahat di batu zamrud, umur pesantren ini malah terindikasi lebih tua dua tahun dari Masjid Demak, yakni dibangun pada 26 Sya’ban 879 H (4 Januari 1475 M).

Pesantren Somalangu didirikan oleh seorang ulama yang mantan pejabat tinggi asal Syihr, Hadramaut, Yaman, yakni Sayid as-Syekh Muhammad ‘Ishom al-Hasani. Sosok ini oleh masyarakat di sana lebih dikenal dengan nama Sayid as-Syekh Abdul Kahfi Awwal mengacu pada nama pemberian gurunya, Sayid Ja’far bin Hasan dari ‘Inath. Gelar “kahfi” dikenakan karena dia dikenal gemar menyendiri di dalam gua untuk beribadah. Adanya gelar “Sayid”, maka dia tentu saja masih merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, oleh anak keturunnya di kemudian hari gelar sayid atau keturunan nabi ini tidak mereka pakai lagi. Mereka memilih nama biasa yang sama dengan pribumi.

Abdul Kahfi datang ke tempat itu setelah Sultan Demak memberikan perintah agar pergi dan tinggal ke pedalaman selatan Jawa itu. “Thama dha’u” (di situ tempatmu),” begitu titah Sultan Demak kepada Syekh Abdul Kahfi ketika memintanya pergi ke selatan Jawa yang saat itu masih jarang penghuni dan penduduknya masih memeluk agama Hindu. Dalam riwayat lain (Kuntowijoyo) menyebut bahwa yang memerintahkan pergi itu adalah Raja Mataram, Sultan Agung.

“Pondok pesantren kami sudah sangat tua. Tak jauh dari masjid dulu ada candi dengan lingga-Yoni yang sangat besar. Sebelum pondok berdiri di situ, masyarakatnya menganut agama Hindu yang dipimpin Resi Dara. Nama asli desa itu Alang-Alang Wangi. Para alumni dan santri tersebar ke banyak daerah, apalagi pendiri pondok ini juga punya hubungan darah dengan para ulama Sumatra Timur dan di Kesultanan Bugis, Makassar,” kata Hidayat Aji Pambudi MA, salah seorang pengurus Yayasan Pondok Pesantren al-Kahfi, Somalangu.

Menurut Aji, karena sudah berusia sangat tua, wajar bila kemudian para alumninya menyebar ke berbagai wilayah, terutama di wilayah Kedu Selatan, Cilacap, Banyumas, bahkan sejumlah pesantren di Cirebon juga ikut terkait. Temali jaringan ini semakin kuat karena antarpara murid yang kemudian mendirikan pesantren, termasuk keluarga Pesantren Somalangu, saling melanggengkan hubungan melalui ikatan perkawinan.

Sejak didirikan, pesantren ini telah mengalami pergantian pimpinan secara turun-temurun sebanyak 16 kali. Para alumninya pun telah menjadi tokoh Islam terkenal, seperti Kiai Abbas Buntet Cirebon, Kiai Dalhar Watu Congol Muntilan, dan Kiai Dahlan Jampes.

”Kalau hubungan pernikahan keluarga pesantren ini juga menikah dengan banyak kiai berpengaruh di sekitar wilayah Kebumen Pesantren Jetis), Banyumas (Pesantren Leler), dan Cilacap (Pesantren Kesugihan). Sedangkan, kalau jaringan santri alumni yang saling melakukan pernikahan sudah tak bisa lagi dilacak karena sudah tersebar luas dalam jangka waktu yang sampai 500-an tahun itu,” ujar Aji.

Sama halnya dengan makam Habib Husein Alyadrus di Kampung Luar Batang, setiap hari selalu ada orang berjiarah ke makam Syekh Abdul Kahfi. Pada hari-hari tertentu — misalnya dalam acara khaul/peringatan kematian– peziarah yang datang mencapai ribuan orang. Suasana desa Sumber Adi pun menjadi hiruk pikuk. Sosok dan jasa ulama asal Hadramaut terkenang sampai sekarang, meski peristiwanya sudah hampir lima ratus tahun yang silam.

Sumber ; republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here