JIC – Transaksi utang menimbulkan kewajiban bagi seseorang yang melakukannya. Kewajiban itu berupa pelunasan sesuai besaran uang yang dipinjam. Rentang waktu pelunasan ditetapkan bergantung pada kesepatan antara pengutang dengan pemberi pinjaman. Tetapi, sangat dianjurkan bagi pengutang untuk melakukan pelunasan sesegera mungkin.
Ada kondisi yang membuat pengutang tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai tenggat waktu yang disepakati. Sebagian pemberi pinjaman mungkin memberikan toleransi berupa mundurnya waktu pelunasan. Tetapi, meski toleransi sudah diberikan, ternyata pengutang tetap tidak bisa melakukan pelunasan. Lalu, si pemberi utang melakukan sita barang.
Apakah praktik sita paksa ini dibolehkan dalam syariat Islam?
Dikutip dari Bincang Syariah, sita barang untuk utang yang tertunggak dibolehkan. Tetapi, proses penyitaan harus dijalankan dengan ketentuan yang dibenarkan dalam syariat.
SITA BARANG JALAN TERAKHIR
Ketentuan tersebut yaitu sita barang merupakan jalan terakhir. Jika masih ada jalan lain, maka sita barang tidak dibolehkan.
Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan seseorang mengambil haknya dengan cara baik. Ini sebagaimana diajarkan Rasulullah Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majar dari Ibnu Umar RA dan Aisyah RA.
Barangsiapa menuntut haknya, maka hendaknya dia menuntutnya dengan baik, baik pada orang yang ingin menunaikannya atau pada orang yang tidak ingin menunaikannya.
BARANG HARUS SENILAI DENGAN UTANG PEMILIKNYA
Ketentuan kedua, barang yang disita senilai dengan utang pemiliknya dan tidak boleh lebih tinggi. Jika lebih tinggi, maka barang itu wajib dijual, hasilnya digunakan untuk melunasi tunggakan dan sisanya dikembalikan kepada pemiliknya.
Contohnya, Umar memiliki utang sebesar Rp5 juta kepada Mahfud dan tidak bisa melunasinya. Sedangkan Umar memiliki motor yang harganya ditaksir sekitar Rp8 juta.
Mahfud dapat menyita motor itu tetapi dia diharuskan menjualnya. Mahfud boleh mengambil hasil penjualan motor itu sebesar Rp5 juta dan sisanya diserahkan kepada Umar.
Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Hasyiyatul Jamal.
“Jika seseorang berhak atas satu barang atau utang atas orang yang tidak menolak untuk membayar, maka dia harus memintanya, atau utang atas orang yang menolak untuk membayar, maka dia boleh mengambil barang yang sejenis dengan utangnya dan kemudian memilikinya, atau mengambil barang yang tidak sejenis, maka wajib menjualnya.”
Sumber : dream.co.id