
JIC, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Maksum Machfoedz menjelaskan, semua kegiatan memiliki code of conduct atau dokumen tertulis mengenai tata cara masing-masing. Aturan ini juga diterapkan pada aktivitas mengumandangkan azan, pengajian maupun berdakwah di masjid.
Isi Code of Conduct dapat bervariasi, misalkan menghindari ujaran kebencian, mengkafirkan dan membidahkan itu tidak pantas menjadi materi khutbah. “Provokasi makar adalah haram, SARA tidak pantas diungkap di depan umum juga bisa menjadi bagian dari tata cara,” ujar Maksum ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (22/5).
Penetapan code of conduct bertujuan memberikan rasa nyaman dan aman pada berbagai pihak. Maksum memberikan contoh, ketika ia ikut pengajian di suatu tempat yang umum, kemudian dikafir-kafirkan pasti akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
Hal ini sesuai dengan isi dalam QS An-Nahl ayat 125. Ajakan itu harus dilakukan dengan bijak dan memberi percontohan yang bagus serta berdiskusilah dengan cara yang bagus.
Maksum tidak menampik bahwa membuat code of conduct itu sendiri merupakan sesuatu yang sulit. Dibutuhkan keselarasan pandangan antara berbagai pihak dari ragam latar belakang dengan variasi kepentingan dan kondisi. Untuk mencapainya, para pihak harus mengurangi ego, rasa ingin menang dan nyaman sendiri.
Apabila code of conduct yang sudah disepakati dan dibangun bersama ini ditaati, Maksum optimistis, konflik dan rasa antipati bisa dicegah. “Misalnya saja pengajian sejuk model Gus Mus. Tidak hanya umat Muslim yang bisa menikmati, non Muslim juga merasa senang mendengarkannya,” tuturnya.
Penerapan code of conduct ini juga telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Muadzin favorit beliau adalah sahabat Bilal yang suaranya keras, tapi fasih dan merdu sehingga enak di telinga. Ini contoh bagaimana Rasulullah SAW tidak ingin mengganggu orang lain dalam masyarakat multikultural.
Dengan menerapkan code of conduct, penggunaan pengeras suara dalam maupun luar masjid yang kini tengah menjadi perbincangan pun tidak akan menjadi masalah. Hanya, untuk keperluan internal seperti kaderisasi, Maksum menganjurkan untuk tetap menggunakan speaker dalam masjid. Sebab, materi yang disampaikan biasanya bersifat tertutup dan eksklusif.
Sebelumnya, tersebar selebaran online mengenai penggunaan speaker luar masjid yang lebih baik. Di dalamnya, tertulis anjuran untuk menggunakan pengeras suara luar untuk adzan. Adapun ceramah dan tadarusan, cukup dengan speaker dalam.
Anjuran itu bukan tanpa alasan. Dalam selebaran, tertulis juga bahwa di sekitar kita ada tetangga non-Muslim, ada yang sakit atau punya bayi. Mereka mungkin saja terganggu, tapi khawatir menegur karena takut dibilang tidak toleran. Dalam pengantar terakhir, selebaran ini mengajak umat Islam untuk menunjukkan citra Islam yang positif sebagai rahmatan lil alamin.
Sumber : republika.co.id