BBC INDONESIA
JIC, JAKARTA —
Langkah kongkrit untuk deradikalisasi sendiri bagaimana pak?
Itu menyangkut semua aspek. Misalnya, aspek pendidikan. Itu dari mulai kita sudah harus [lakukan], sebab pendidikan merupakan jalur yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal. Dari mulai sekolah dasar, sekolah menengah pertama, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Radikalisme di perguruan tinggi kan sudah dijelaskan, banyak perguruan tinggi yang banyak terpapar radikalisme.
Kemudian juga jalur keagamaan, supaya kita luruskan pemahaman keagamaannya, supaya tidak salah memahami.
Kemudian, jalur kepegawaian, ASN (aparatur sipil negara). Mereka yang masuk ASN harus steril dari radikalisme, jadi tidak begitu saja bisa masuk.
Kemudian juga, jalur yang menyangkut pihak-pihak yang bergerak di bidang kemasyarakatan, apa itu dakwah, komunitas politik, komunitas sosial, itu menjadi bagian yang harus kita tangkal supaya mereka tidak terpapar radikalisme. Jadi jalur-jalur itu harus kita lakukan. Maka dari itu pemerintah harus menjadikan radikalisme sebagai arus utama penanganannya.
Bapak tadi menyebut pendidikan menjadi salah satu bidang yang menjadi fokus dari deradikalisme. Di perguruan tinggi sudah banyak yang terpapar radikalisme. Tapi kita juga tahu ada anggapan bahwa madrasah dan pesantren dikhawatirkan menjadi tempat radikalisasi. Khusus dua tempat tersebut, apa yang dilakukan untuk menangkal radikalisme?
Pertama, tentu pemahaman kebangsaaan kita. Bahwa sebagai bangsa kita punya komitmen, kesepakatan. Sehingga seluruhnya, baik sistem kenegaraan, landasan falsafah negara itu harus sejak dini mereka memahami. Sehingga mereka tidak terprovokasi oleh ideologi lain.

Di dalam pendidikan kemadrasahan, kepesantrenan, itu yang harus kita lakukan adalah membentengi atau memberikan arahan supaya pemahaman agamanya lurus, tidak terkena pemahaman-pemahaman radikal dan intoleran. Bahwa kita sebagai muslim juga sebagai orang Indonesia, muslimun Indonesiun, yang mana ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an tidak boleh terpisah, itu menjadi satu kesatuan.
Ke-Islam-an kita harus menyatu dengan ke-Indonesia-an. Kita tidak boleh memahami Islam itu menjadi tidak konteks dengan ke-Indonesia-an. Ini menjadi bagian yang selama ini dilakukan di pesantren.
Umumnya sudah tidak menjadi masalah, kecuali pesantren-pesantren tertentu yang terkena virus radikalisme.
Itu yang kemudian menjadi pusat perhatian pemerintah?
Ya, saya kira begitu.

Terkait dengan deradikalisme, Presiden menugaskan menteri agama yang baru saja dipilih, deradikalisme menjadi salah satu tugas utamanya. Tapi latar belakang Pak Fachrul Razi dari bidang militer, sempat menuai polemik. Bahkan, muncul penentangan dari kalangan Nahdlatul Ulama. Bagaimana tanggapan bapak soal polemik ini?
Menteri kan hak prerogeratif Presiden, karena dia sudah ditunjuk oleh presiden maka kita ingin agar semua menteri itu bekerja sesuai dengan visi dan misi presiden. Karena itu dalam menghadapi radikalisme, kita akan melakukan koordinasi dengan semua pihak terkait, balik kementerian, kepolisian, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), kemudian badan-badan seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Ini menjadi bagian yang saya katakan harus dilakukan secara paripurna, secara struktural, sehingga terkoordinasi dan dari hulu ke hilir. Jadi tidak hanya ujung-ujungnya, atau hilirnya saja, tapi betul-betul kita lakukan dan penangannya sejak dini, melalui semua sektor. Menteri pendidikan terlibat, Menteri Agama juga terlibat, kepolisian juga terlibat.
Artinya latar belakangnya tidak akan menjadi masalah?
Tidak menjadi masalah. Sudah jadi menteri, sudah ditunjuk Presiden. Dia menteri yang sah. Saya kira sebaiknya kita tidak lagi harus mempermasalahkan, tapi mari kita bekerja sesuai dengan tugas yang dibebankan di masing-masing menteri.

Berkaitan dengan radikalisme, terorisme juga menjadi ancaman. Menurut bapak, apa yang menjadi akar dari terorisme?
Ada yang karena memang merasa diperlakukan tidak adil. ‘Merasa’ ya, jadi dia rasa diperlakukan tidak adil. Tapi ada juga yang salah memahami keagamaan. Paham keagamaannya salah. Terutama misalnya salah memahami arti jihad. Maka dari itu penanganannya juga sesuai dengan sebabnya. Ketika sebabnya ketidakadilan, kita berusaha menegakkan keadilan. Sehinga mereka menjadi sadar. Kalau karena paham keagamaan (yang salah), ya kita luruskan. Maka dari itu perlu ada upaya-upaya meluruskan paham keagamaannya, kemudian juga meluruskan paham pengertian tentang jihadnya, sehingga pemahamannya menjadi benar.
Karena itu kita mengusung di dalam Islam, namanya Islam wasatiyyah, Islam moderat yang bukan radikal dan intoleran. Pemahaman-pemahaman yang benar ini yang akan kita terus bangun.
Setelah Jamaah Islamiyah, di Indonesia sendiri berkembang ada jaringan JAD yang terafiliasi dengan ISIS. Kita tahu bahwa pemimpin ISIS baru saja ditemukan tewas. Hal ini dikhawatirkan justru akan semakin membuat serangan teroris semakin sporadis. Bagaimana tanggapan tentang hal ini dan bagaimana untuk menangkalnya?
Kita akan menangkalnya dari dua sisi. Pendekatan yang pertama menggunakan pendekatan soft approach. Pendekatan penyadaran mengembalikan mereka yang sduah terpapar ke jalan yang benar, kepada Islam yang benar. Itu cara-cara kita dalam rangka, baik dalam rangka kontra-radikalisme maupun deradikalisasi.
Tapi kita juga menggunakan pendekatan keamanan, security approach, untuk menangkal jangan sampai mereka melakukan tindakan-tindakan seperti itu. Dan juga tidak memberikan ruang untuk berkembangnya kembali komunitas-komunitas seperti itu yang sudah ada, seperti misalnya JAD. Jangan ada lagi.

Kita berupaya supaya tidak tumbuh lagi organisasi yang seperti itu. Bagaimana memperkecil, meminimalisir, dan bisa menghilangkan kelompok-kelompok komunitas seperti itu. Itu kerjasama pemerintah, birokrasi, keamanan, tokoh-tokoh masyarakat, kita melakukan kerjasama secara bersama-sama untuk menanggulanginya.
JAD sendiri sering kali menggunakan perempuan dan anak-anak dalam melakukan aksinya. Menurut bapak, apakah ada langkah khusus dalam program deradikalisasi untuk ibu dan anak?
Saya kira kita tidak boleh membiarkan potensi berkembangnya radikalisasi, walaupun kecil, termasuk penggunaan anak-anak, penggunaan perempuan, karena itu langkah-langkah [deradikalisasi] yang dilakukan menyangkut itu.
Termasuk juga media sosial. Ada juga orang yang tidak berkomunikasi dengan pihak lain, tidak ada kontak komunikasi dalam arti fisik tapi dia bisa jadi radikal melalui medsos (media sosial), melalui online, melalui SMS. Itu juga menjadi perhatian.
Jadi semua jalur jaringan yang memungkinkan terjadinya upaya menyebarkan radikalisme itu harus kita antisipasi.

Tapi bagaimana terkait dengan program deradikalisasi khusus anak dan perempuan tadi?
Sebenarnya sudah ada, dilakukan oleh BNPT. Misalnya tentang bagaimana penanganan deradikalisasi. Tapi kita akan kembangkan lebih luas lagi dengan melibatkan organisasi perempuan, melibatkan Komnas Anak, sehingga kita lebih memahami lagi karakter dari objek ini supaya kita lebih mudah mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, kepada pemahaman kebangsaan yang benar.
sumber : bbcindonesia.com