Home Khazanah Islam Akhlak YANG-LOKAL-PENANGKAL-YANG-RADIKAL (1)

YANG-LOKAL-PENANGKAL-YANG-RADIKAL (1)

0
272
Ilustrasi – Anggota TNI berkomitmen memberantas terorisme dan radikalisme di Indonesia. ANTARA/Edo Purmana.
” Pertunjukan dalang, sinden, dan penabuh gamelan bule di sudut-sudut kota Amerika dan Inggris bisa dinikmati di kanal-kanal media sosial oleh siapa pun.”

Jakarta, JIC – Adjektiva “radikal” pernah disematkan pada karakter figur historis dengan muatan makna agung dan mulia.

Namun, radikalisme lebih-lebih dalam politik, lebih banyak destruktif ketimbang membangun. Bertolak belakang dengan watak demokrasi, jalan damai dalam transisi kekuasaan, laku radikal menenggang kekerasan, pertumpahan darah. Artinya, radikalisme yang melahirkan keagungan dan kemuliaan, pada hari-hari ini, nyaris merupakan “hil yang mustahal”—meminjam frasa parodik pembanyol legendaris Asmuni.

Alih-alih sabar menanti 5 tahun sekali dalam pergantian kuasa, radikalis memilih jalan pintas, menafikkan aturan dan keteraturan, abai pada liyan dan karenanya sering berdarah-darah dalam perjuangan politik mereka.

Radikalisme dilakukan siapa pun, di mana pun, kapan pun, dengan beragam dalih dan pola tindakan apa pun. Seperti korupsi, radikalisme cenderung dilakukan oleh kelompok mayoritas. Namun, mayoritas yang di dalamnya terkandung kelompok kecil eksklusif, yang tega menyaksikan korbannya menderita, teraniaya, terbantai. Di negara dengan mayoritas pengikut Hinduisme, korupsi dan radikalisme cenderung dilakukan orang-orang Hindu.

Begitu pula situasi kontekstualnya dengan Italia yang mayoritas penduduknya Katolik atau Indonesia yang kebanyakan warganya muslim. Ini tidak menutup peluang kelompok minoritas melakukan dua jenis perbuatan yang merugikan kemanusiaan itu.

Dalam kancah politik Indonesia pasca-Orde Baru, ambruknya otoritarianisme yang ditopang militerisme, memunculkan radikalisme yang benih-benihnya boleh jadi telah tersemaikan sejak demokrasi parlemen ditumbangkan pada era Soekarno dan berlanjut hingga lengsernya Presiden Soeharto.

Di bawah pemerintahan Orde Baru yang represif, Abu Bakar Ba’asyir dari pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, di awal dekade 80-an menyemai benih-benih radikalisme itu.

Ceramah Ba’asyir di kampung-kampung Surakarta, terutama di sekitar Kentingan tempat indekos mahasiswa Universitas Sebelas 11 Surakarta (UNS) memukau para mahasiswa idealis sekaligus radikalis. Sebagai mahasiswa semester awal di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS, penulis termasuk yang terpesona oleh retorika ulama yang tampil gagah berani dengan nada suara bariton itu.

Jumlah mahasiswa yang hadir rata-rata kurang dari 50 orang. Sengaja dibatasi agar tak mengundang perhatian aparat intel. Namun, ceramah yang dikemas dalam format pengajian itu dilakukan rutin, berpindah-pindah lokasi. Pendengar setianya selalu menerima jadwal ceramah secara “getok tular”, pengabaran dari mulut ke mulut.

Isi pengajiannya, sesuai dengan hadirinnya, tidak cuma melulu mengupas ayat-ayat suci Quran dalam konteks amar maruf nahi munkar, tetapi juga diselingi kritik terhadap teori evolusi darwinisme, ateisme dan sekularisme. Namun, yang tak kalah menariknya, Ba’asyir juga mengobarkan semangat antinegara. Menerima gaji dari pajak rakyat seperti yang dinikmati pegawai negeri sipil (PNS) haram hukumnya. Menghormat bendera Merah Putih saat upacara tiap 17 Agustus harus dihindari.

Pesan-pesan religius yang disemai ulama kharismatik itu sesekali juga diselipi cemooh terhadap kultur pop, kesenian tradisi yang berkelindan dengan elemen-elemen hedonistik keduniawian.

Benih-benih yang ditanam hampir setengah abad silam itu kini, diakui atau tidak, boleh jadi sudah menjadi pohon dan berbuah. Ditambah maraknya radikalisme yang masuk ke Tanah Air lewat jaringan internet, kian menguatkan, memperkukuh radikalisme itu, sekali pun persentasenya tidak signifikan jika dipandang dari aspek kuantitas atau dikomparasikan proporsinya dengan jumlah penduduk.

Namun, sejumlah kecil orang-orang radikal, dengan slogan-slogannya yang intoleran, sudah cukup menggoyahkan kestabilan, ketenangan hidup di tengah masyarakat. Dengan perkataan lain, radikalisme itu tetaplah menjadi duri dalam daging kebinekaan yang merajut keindonesiaan.

Sumber : Antaranews.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 + 9 =

toto

coloktoto

toto