Variabel Tradisi Lokal
Bagaimana menangkal radikalisme itu? Banyak variabel yang berperan dalam merintangi pertumbuhan pesat radikalisme. Satu variabel yang bisa ditawarkan di sini adalah tradisi lokal, kearifan komunitas yang tersebar di nusantara ini.
Di Maluku ada tradisi pela gadong, tradisi persaudaraan dalam menyelesaikan konflik antarpuak. Tradisi yang sudah mengakar ini pun pernah terkoyak dengan meletusnya konflik awal-awal pasca-Orba di Maluku, yang sebetulnya resultante pertarungan politik, dengan memasukkan unsur-unsur agama dan melibatkan etnis luar.
Pengalaman tragis Maluku ini mengindikasikan bahwa tradisi pun bisa rapuh di hadapan pertarungan politik elite, yang menguasai sumber daya. Dengan modal dan senjata, kelompok minoritas pun diberi amunisi untuk melawan kelompok mayoritas. Konflik akan menjadi-jadi jika perimbangan etnis mayoritas dan minoritas begitu tipis perbedaannya.
Tradisi Jawa, yang sebagian adalah warisan nilai-nilai yang ditinggalkan Walisongo dalam menyebarkan Islam dengan mengakomodasi kesenian lokal, masih menonjol hingga dekade 70. Namun, kian menyusut seiring dengan modernisasi dan masuknya seni-seni modern yang sumbernya dari Amerika.
Pembaca sejarah nusantara mafhum bahwa wayang, yang amat digemari masyarakat Jawa pernah dimanfaatkan sebagai wahana penyebaran Islam. Walisongo memperkaya khazanah nilai-nilai pewayangan itu, antara lain dengan menciptakan episode dan penokohan punakawan.
Dalam mengisahkan episode punakawan ini, dalang menginjeksikan dakwah kerukunan, toleransi, perlombaan menuju kebaikan dan nasihat-nasihat profetis sehingga penikmat wayang memperoleh penguatan jagat nilai dalam mentalitas mereka.
Surutnya tradisi pewayangan bukan terutama kemenangan dakwah sektarian semacam itu. Wayang, ludruk, bahkan teater modern kian surut dalam penampilan mereka di panggung-panggung publik saat ini semata-mata akibat persoalan platform, medium pertunjukan itu sendiri.
Era digital, teknologi informasi mengubah semuanya. Pertarungan nilai kini pindah di media sosial. Mau tak mau, tradisi lokal, kearifan setempat pun wajib bertransformasi diri dan menampilkan diri di panggung siber. Tampaknya sudah banyak yang melakukannya. Dahsyatnya pula, pelakunya bukan lagi cuma lokal tetapi juga global. Pertunjukan dalang, sinden, dan penabuh gamelan bule di sudut-sudut kota Amerika dan Inggris bisa dinikmati di kanal-kanal media sosial oleh siapa pun. Bahkan, kolaborasi seniman lokal dan global pun bisa dinikmati estetikanya.
Namun, pertunjukan-pertunjukan kesenian tradisi seperti pergelaran wayang di Blitar, Wonogiri, Surakarta masih bisa ditemui sesekali, yang diinisiasi oleh para pegiat seni tradisi. Mereka ini juga punya misi kebinekaan, keindonesiaan dalam menggelar hajatan seni tradisi itu. Jika pergelaran yang tak perlu kolosal ini dilakukan rutin dan merata di berbagai kota, pesan-pesan yang disampaikan dengan mengusung nilai-nilai toleransi, multietinisitas sedikitnya bisa menjadi antitesis radikalisme.
Dengan perkataan lain, nilai-nilai yang universal yang disampaikan oleh kesenian tradisi pun bisa punya andil dalam merintangi laju radikalisme, baik yang semata-mata didasarkan pada dogma sektarian keagamaan maupun yang menjadi bagian dari agenda politis kaum pemburu kuasa duniawi yang berkedok aksesoris ukhrowi.
Oleh Mulyo Sunyoto
Sumber : Antaranews.com