PESAN UNTUK PEMIMPIN JAKARTA (1)

0
335

Ada sebuah pesan tertulis dari ulama sufi Betawi terkemuka, almarhum KH. Abdurrahim Radjiun, putra Muallim Radjiun Pekojan yang akrab dipanggil Abie Bismillah, Pemimpin Jama`ah Sholawat Istirhamiah, kepada pemimpin Jakarta. Pesan ini seharusnya beliau sampaikan untuk mengisi ceramah di Jakarta Islamic Centre (JIC) yang urung dilakukan sampai beliau wafat. Namun dikarenkan di Jakarta sekarang ini akan berlangsung Pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada tanggal 11 Juli yang akan datang, maka pesan tertulis tersebut sangat relevan untuk mereka yang sedang bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan DKI Jakarta. Sedangkan bagi umat Islam, khususnya di DKI Jakarta, pesan tersebut dapat menjadi bahan renungan dan rujukan untuk memilih pemimpin dan model kepemimpinan untuk mereka.

Ada sebuah pesan tertulis dari ulama sufi Betawi terkemuka, almarhum KH. Abdurrahim Radjiun, putra Muallim Radjiun Pekojan yang akrab dipanggil Abie Bismillah, Pemimpin Jama`ah Sholawat Istirhamiah, kepada pemimpin Jakarta. Pesan ini seharusnya beliau sampaikan untuk mengisi ceramah di Jakarta Islamic Centre (JIC) yang urung dilakukan sampai beliau wafat. Namun dikarenkan di Jakarta sekarang ini akan berlangsung Pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada tanggal 11 Juli yang akan datang, maka pesan tertulis tersebut sangat relevan untuk mereka yang sedang bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan DKI Jakarta. Sedangkan bagi umat Islam, khususnya di DKI Jakarta, pesan tersebut dapat menjadi bahan renungan dan rujukan untuk memilih pemimpin dan model kepemimpinan untuk mereka. Berikut sebagian isi pesan tersebut yang akan dimuat secara berseri:

Walau waktu memisahkan kita dengan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam kurun lebih dari 1000 tahun, dan ruang yang terbedakan dengan jarak tempuh ribuan mil, namun kepemipinan, kesederhanaan, kejujuran, ketulusan, kepekaan serta kesungguhan untuk berpihak kepada kaum duafa yang dipancangkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh-sungguh telah menggugah hati; tidak saja bagi kaum muslimin, tapi juga bagi siapapun yang menyimpan rasa kemanusiaan serta budi pekerti yang luhur.

Bahwa keteladanan Rasulullah SAW yang diikuti para sahabat beliau, telah memberi inspirasi kuat kepada para kaum muslimin pada kurun-kurun sesudah itu, untuk terus menjalin matarantai keteladanan hingga menyerupai bentuk tulang ikan, yang tersambung dari kepala hingga ekor.

Kini, mari segarkan kembali komitmen moral kita bahwa perbedaan ruang dan waktu antara kita dan keteladanan para pendahulu, tidak akan pernah pisahkan kita untuk senantiasa berada pada barisan lurus sejarah peradaban Islam, yang teranyam kuat sejak 15an abad lalu.

Dan sebagai Ummatan Wasathan, yang selalu berada di posisi garis tengah kompleksitas kehidupan bermasyarakat -dengan segala kesamaan dan perbedaannya, kaum muslimin tidak dapat dipecah dan dipisah oleh kekuatan apapun, karena mereka terpimpin dan terbimbing oleh akhlak karimah Rasulullah SAW serta para khalifah sesudahnya, yang tidak hanya terucap dalam sabda dan atau permainan retorika yang memukau belaka, akan tetapi keteladan itu dapat dilihat dan dirasa dalam kehidupan sehari-hari.

Kekaguman dan rasa hormat kita kepada tokoh-tokoh besar di masa lalu, telah menjadi inspirasi kuat untuk mencari dan berharap kelahiran dan kehadiran tokoh-tokoh masa depan, yang akan memimpin ummat untuk melihat perspektif kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara atau bahkan menempatkan dirinya sebagai anggota keluarga besar dunia, sosok pribadi tangguh, yang dapat meneduhkan ummat dengan ayat-ayat Allah, menyemangati bangsa dengan keteladanan Rasulullah SAW.

Inilah agaknya, yang dalam banyak kesempatan, telah mengayun kerinduan kita untuk lahirnya seorang hhalifah, pemimpin sejati yang keberadaannya selalu di tengah-tengah ummat dan senantiasasa memberi arti dalam mendengar, melihat dan mengatur kehidupan mereka secara Qurani dan Sunni, yang menurut filosofi Jawa : Ing ngarso sung tulodho, ing madhyo mangun karso, tut wuri handhayani, Berdiri di depan memberi teladan, tegak di tengah membangun harapan, dan mengiring di belakang memberi dorongan. Sebagaimana firman-Nya, “ Dan demikianlah, Kami jadikan kalian sebagai ummat penengah, agar kalian menjadi saksi bagi seluruh manusia, agar kelak, Rasul aka menjadi saksi bagi kalian (di

hadapan Allah) “ QS. 2 : 143

Khilafah, bukanlah sebuah rekayasa konseptual, dengan agenda utamanya memburu kekuasaan. Khilafah adalah sebuah tanggung jawab moral dan ikatan emosional yang kuat pada diri seorang pemimpin untuk selalu bersama ummat, dan berupaya terus-menerus untuk menegakkan amar ma’ruf-nahyi munkar dengan memberi keteladan optimal, yang dibalut akhlak karimah, dengan menjauhkan diri dari segala bentuk arogansi, teroristik, dan garis dikotomi yang membentang, hingga terbangunnya blok-blok komunal-institusional, yang membedakan kelas dan status sosial di tengah kemajemukan masyarakat.

Khilafah, Imamah, Imarah, kepemimpinan dalam segala bentuknya, bukanlah makhluk pabrikan yang dapat diproduksi terus menerus dan dalam jumlah besar, sesuai permintaan pasar. Khilafah adalah seumpama wardat, mawar yang mekar tanpa gist, harum tanpa parfum, dengan warna-warni tanpa kimia, dan tidak memerlukan bahan pengawet. Seorang khalifah, seumpama bunga mawar, dia tumbuh indah merekah pada fase paling akhir setelah: akar, batang, duri, ranting serta daun yang telah kokoh pada tempatnya, sehingga membentuk satu kesatuan yang masing-masing tidak bisa tumbuh tegak sendiri-sendiri.

I do my things and styles, and you do your things and styles. I am not in this world to live upto your dreams and expectations, and you are not in this world to live upto mine. You are you and yours, so I am I and mine. And if by chance we find each other, it is beautiful

Kumainkan peran dan gayaku sendiri, dan kalian mainkan peran dan gaya kalian sendiri. Aku tidak terlahir untuk ke dunia ini tidak untuk penuhi mimpi dan angan kalian; dan kalianpun berperan tidak hanya untuk penuhi mimpi dan anganku. Akulah aku dan segala yang kumiliki, dan kalianlah kalian dengan semua yang kalian miliki. Namun, bila ada kesamaan di antara kita, betapa indahnya”

Akar yang tidak berbatang hanya akan mencemarkan air kehidupan, batang yang tidak beranting cuma dapat dijadikan kayu bakar, ranting yang terpisah sendiri, hanya pantas menjadi cotton buds, duri yang tidak bertangkai dapat mencucuk dan menyakiti, daun yang menggeletak sendiri hanya akan kering dan melayang menjadi sampah, dan bunga indah yang lepas dari rantingnya akan kehilangan harum diri dan mencemarkan lingkungan.

Seorang pemimpin, seorang khalifah yang berpegang teguh pada kehendak Allah dan Rasulnya, akan menjadi akar untuk memberi makan, siap menjadi batang kuat untuk menopang, merentangkan tangan bagai dahan dan ranting sebagai pengayom, berperan menjadi daun untuk meneduhkan, atau sesekali menjadi cucuk untuk menjaga tatanan, dan menjadi bunga untuk memberi kehidupan yang indah harmonis.

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu, pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami untuk mereka sabar dalam menegakkan kebenaran. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami” 32 :24

“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi; barangsiapa yang kafir, maka akibat kekafirannya menimpa dirinya sendiri, dan keingkaran orang2 yg kafir itu, tidak lain hanyalah menambah kemurkaan pada sisi tuhannya dan keingkaran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka” QS 35:39

Kita akui sejujurnya bahwa wacana atau bahkan aktivitas yang mengarah kepada terbentuknya sebuah Khilafah, Imamah, Imarah dan yang menyerupainya, dari waktu ke waktu, telah mencemaskan masyarakat dunia. Gerakan ke arah itu, dianggap menyerupai wabah flu burung, muntaber, HIV/AIDS atau demam berdarah, yang kehadirannya harus diwaspadai dan dimatikan mata rantai penjalarannya. Bahkan dengan sikap a priori pemikiran khilafah dianggap hanya akan memecah dan merusak tatanan yang ada. Pada hakikatnya, khilafah adalah kepemimpinan, yang tidak bertentangan dengan konsep NKRI, yang menjamin terjaganya sendi-sendi kehidupan yang menghubungkan masa lalu, kini dan masa depan ummat agar tetap terurus dengan baik, sehingga dapat tegaknya Ummatan Wasathan, masyarakat penengah yang kelak akan menjadi saksi di hadapan Rasulullah SAW, bahwa ummat ini terladeni, terayomi dan terlayani dengan sebaik-baiknya. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajin JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

ten − nine =