“..Tetap di usiaku saat ini twenty nine my age, ya.. aku merindukan APRESIASI karena BASICALLY aku seneng music, walaupun KONTROVERSI HATIku lebih menunjukkan kepada KONSPIRASI KEMAKMURAN yang kita pilih dan kita belajar HARMONISASI kita belajar dari hal yang terkecil sampai hal yang terbesar, tidak boleh ego terhadap satu kepentingan dan mengkudeta pada satu kepentingan apa yang kita miliki ini dan dengan adanya hubungan ini tidak mempertakut dan mempersuram STATUSISASI kemakmuran keluarga dia tapi menjadi CONFIDENT, kita harus MENSIASATI KECERDASAN agar MELABILKAN EKONOMI kita lebih baik dan aku tetap bangga..” , demikian satu paragraf kalimat yang diucapkan oleh Vicky Prasetyo (VP) saat melamar Zazkia Gothic.
Kalimat rumit yang terucap dari mulut berbisa VP memang penuh kontroversi, karena alih-alih membicarakan harmonisasi kebahagian rumah tangga malah membahas kudeta, sampai pada pembicaraan ekonomi yang semestinya membuat ekonomi stabil malah justru melabilisasi ekonomi. Begitulah jalan pikir seorang petualang, yang harus melakukan jurus “tisani” (tipu sana-sini) dengan bangga, akhirnya hidungnya yang tak bersalahpun dicokok polisi dengan membawanya ke hotel prodeo untuk mempertanggungjawabkan rayuan mautnya agar sadar akan kesalahnnya, dan ini kisah nyata serta bukan konspirasi. Hati memang sering berbuat kontroversi, terkadang ingin begitu terkadang ingin begini.
Al Ghazali (1058-10511) pernah menjelaskan bahwa hati memiliki dua makna, pertama adalah daging yang ada di dada sebelah kiri, yang didalamnya terdapat rongga berisi darah, sedangkan makna yang kedua adalah (qalb, atau kalbu). Adalah sesuatu yang amat halus dan lembut (lathifah), tak berupa, tak dapat dilihat dan tak dapat diraba, yang bersifat Ilahiah (rabbani Ilahi), yang hakikinya adalah jati diri manusia. Begitulah hati yang labil, makanya biasanya disupport oleh akal yang bersifat pasti dan logis. Namun walaupun demikian akal dan hati yang baik keduanya saling mendukung.
Lalu bagaimana agar hati bisa “hidup” dan bekerja mengikuti perintah Tuhannya?
Biasanya kaum sufi melakukannya dengan penyucian jiwa. Penyucian jiwa (Tazkiyat al nafs) adalah penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela. Sedangkan tashfiyat al qulb adalah membersihkan hati dari hal-hal duniawi. Ini berarti keduanya merupakan upaya pengkoordinasian agar jiwa dan hati merasa tenang dan tentram berdekatan dengan Allah (ibadah).
Yang dimaksud dengan penyucian jiwa dan pembersihan hati adalah penyucian dari semua kotoran penyakit hati atau penyakit kejiwaan. Penyakit hati (maradl al-qalbi) adalah ungkapan untuk menunjukkan pada suatu kondisi psikologis yang tidak baik berdasarkan parameter agama atau hati nurani. Sedangkan membersihkan hati adalah menghapus hati dari kecintaan akan kenikmatan dunia dan hal-hal duniawi yang bersifat sementara dan memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah semata. Kotoran jiwa berarti ahlak bathin atau lintasan pemikiran tidak baik, seperti : Iri hati, merasa diri baik (ujub), rakus dan ambisius (al hirsyu) dan juga dosa (al zanbu). Tujuan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang salik. Bahkan biasanya dalam tradisi tarekat tazkiyat al nafs dianggap sebagai tujuan utama. Dengan bersihnya jiwa dari berbagai macam penyakitnya akan secara otomatis menjadikan seorang dekat kepada Allah. Proses dan tujuan ini sekaligus dilaksanakan dengan merujuk firman Allah. “Dan demi jiwa dan penyempurnaannya, maka kepadanya diilhami jalan kefasikan dan ketaqwaan. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikannya dan celakalah orang yang mengotorinya”. (QS 91:7-9) Filosofi dan logika dari proses tazkiyat al-nafs dan tashfiyat al qulub mengikuti filsafat Kimiya Al Sa’adah. Filsafat ini mendasarkan teorinya pada prinsip peleburan logam. Bahwa jiwa ibarat biji logam, atau batu permata. Ia merupakan bahan baku yang masih harus dilebur pada suhu tinggi , dibentuk dan dibersihkan. Untuk dijadikan perhiasan yang berharga. Istilah Al-Kimiya paling cocok disandingkan dengan jiwa, karena jiwa itu seperti ‘sesuatu hal‘ yang bisa dirobah, sebagaimana kimia memberi petunjuk untuk merobah logam mentah menjadi emas. Dengan kata lain, jiwa yang kacau dan buram harus ‘dibentuk’ menjadi logam yang kemilau. Sesuai dengan kedua simbolisme bahwa jiwa dan emas juga bisa bercahaya, maka proses pembuatannya pun tidaklah jauh berbeda. Dalam membuat emas ada proses kimia berupa proses peleburan dan pendinginan, dan juga memerlukan pembentukan. Demikian juga untuk menjadikan jiwa yang baik dan bernilai tinggi, jiwa perlu dipanaskan, dilebur sehingga kotoran dan karat-karatnya terlepas, sehingga pada akhirnya kecemerlangannya tersebut akan tampak. Tetapi, ini masih perlu dibentuk sesuai dengan harapan pengrajinnya, yaitu guru pembimbing (mursyid) . Dan selanjutnya pemeliharaannya harus dibersihkan setiap saat agar tetap cemerlang. Dalam proses peleburan jiwa dilakukan dengan usaha yang keras (mujahadah) yang kontinyu (riyadhah al nafsi).
Latihan jiwa sebagai metode memiliki dua proses takhalli dan tahalli. Dalam takhalli seorang murid harus menempa jiwanya dengan perilaku-perilaku yang dapat membersihkan dan meleburkan jiwa. Ia harus terus melakukan dzikir Dalam proses takhaliyat, seorang murid juga harus senantiasa bersikap zuhud (tidak materialis), senantiasa berhati-hati dalam bertingkah laku dan beribadah (wara‘) , merendahkan hati dan tidak takabur (tawadlu), dan senantiasa memurnikan motivasi hanya kepada Allah (ikhlas). Proses takhaliliyah dalam kimiya’ Al Saa’adah tersebut merupakan proses peleburan jiwa. Membersihkan jiwa dari sifat-sifat buruk hewani dan setani. Semakin intensif seorang murid melaksanakan proses takhalliyat akan semakin panas badan ruhaniyyah. Dan dengan panasnya dzikir dan riyadhah al nafsi yang lain tersebut, kotoran jiwa akan leleh terbakar, karat jiwa akan terlepas sedikit demi sedikit. Akhirnya lapisan paling luar dari jiwa akan terkelupas. Begitu seterusnya dan akhirnya yang tinggal hanya jiwa yang paling dalam. Sedangkan tahaliyyat merupakan proses pembentukan jiwa, karena itu ia lebih bernilai dari proses takhaliyyat. Jika seorang murid telah selesai melakukan takhalliyat, maka akan mudah melakukan tahalliyat. Tahalli merupakan proses penghias diri (jiwa) dengan amalan-amalan saleh. Secara umum melaksanakan syari’at agama merupakan proses takhaliyat dan tahalliyat sekaligus. Sedangkan tahalliyat adalah melakukan amalan-amalan sunah, seperti puasa, membaca al Quran, shalat sunah, tafakur, akhlak dan menjaga adab. Dalam metode riyadlat al nafsi, amalan yang bersifat tahalliyat tersebut dapat diibaratkan sebagai penambah bahan kimia, atau untuk menambah pembakaran api tungku. Perannya adalah untuk menjaga agar proses tazkiyatul al nafs (pembersihan jiwa) dan tashfiyat al qulub (pembersihan hati, karena nafsu hewani melemah maka daya malaikat akan menguat (junud al qalb). Begitu juga dengan membaca al Quran sebagai obat penyakit kejiwaan, dzikir nafsi itsbat (dzikir jahr) untuk memanaskan dan meleburkan secara keseluruhan. Sedangkan dzikir lathaif dimaksudkan untuk meleburkan nafsi pada lapisan-lapisan tertentunya secara lebih intensif. Kedua jenis dzikir tersebut dikerjakan dengan harapan tazkiyat al nafs dan tashfiyat al qulb dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Sehingga riyadhah al nafsi dapat segera tercapai, yaitu tajalliyat Allah atau makrifatullah (sadar sepenuhnya akan eksistensi Allah).
Nah, bila sudah sadar sepenuhnya akan eksistensi Allah maka hidupnya akan tercahayai oleh cahaya-Nya (Nurullah), insya Allah akan jauh dari nafsu-nafsu duniawi yang tidak tercerahkan.
Salam,
Verri Jepe *} penulis bisa dihubungi melalui email : fdjajaprana@gmail.com











