KEPEMIMPINAN DI BETAWI

0
366

Menganalisis genealogi intelektual ulama Betawi menjadi sesuatu yang urgen jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpian di etnis Betawi, sejak terbentuknya etnis ini sampai sekarang.

Menurut Ridwan Saidi, walau sejak abad ke-18 pemerintahan kolonial Belanda telah berusaha membangun struktur kepemimpinan formal bagi etnis Betawi dimana jabatan Bek, jabatan terendah dalam struktur tersebut, adalah jabatan yang langsung berhubungan dengan etnis Betawi karenanya jauh lebih dikenal, namun kepemimpinan tersebut tidak mendapatkan social acceptability sebagai pemimpin etnis Betawi. Pemimpin etnis Betawi yang disegani dan diikuti kepemimpinannya adalah Guru dan Mu`allim (kepemimpinan ulama), sedangkan pemimpin Betawi yang disegani saja adalah jagoan. Meskipun ada dualisme kepemimpinan dalam tubuh etnis Betawi, namun hubungan mu`allim dan jagoan tidak konfrontatif, bahkan ada hubungan fungsional antara keduanya. Jagoan membaca do`a-do`a tertentu untuk peningkatan kemampuannya dalam maen pukulan. Senjata-senjata jagoan seperti golok; baik itu golok ujung turun atau golok betok atau golok piso raut, biasanya diberikan wifik atau wafak pada bilah logam senjata tersebut yang diajarkan oleh mu`allim.

Pasca kemerdekaan, tidak ada struktur formal dalam kepemimpinan etnis Betawi. Praktis hanya kepemimpinan ulama dan jagoan yang ada. Namun upaya-upaya untuk membentuk struktur kepemimpinan etnis Betawi di luar ulama dan jagoan terus dilakukan, baik dalam ruang lingkup yang luas maupun dalam  ruang lingkup yang terbatas dalam bentuk organisasi yang berdasarkan jalinan keturunan, persahabatan, profesi atau kepentingan lainnya. Selain itu, dikarenakan kiprah dan karyanya mendapat tempat di masyarakat dan tokoh-tokoh Betawi, mereka juga telah menjadi bagian dari elit Betawi.  Tokoh-tokoh ini berstatus sebagai seniman, budayawan, birokrat atau pejabat, militer, dan pengusaha. Sebagian tokoh ini mendirikan organisasi-organisasi Betawi yang ruang lingkupnya terbatas atau berdasarkan kepentingan dan tujuan tertentu.

Karena dipandang kurang representatif dan tidak mewakili kepentingan masyarakat Betawi secara keseluruhan, kemudian didirikanlah Bamus Betawi (Badan Musyawarah Betawi) yang pendiriannya dimulai sejak tahun 1978. Walau sudah ada Bamus Betawi dan organisasi-organisasi Betawi yang dipayunginya berikut tokoh-tokoh Betawi yang memimpinnya, tetap saja ulama dan jagoan, terlebih ulama, masih menempati posisi sentral dalam kepemimpinan atau  di dalam kelompok elit etnis  Betawi.

Di sisi lain, ada usaha untuk memunculkan bangsawan Betawi sebagai bagian dari elit Betawi, tetapi sampai sekarang usaha tersebut belum membuahkan hasil. Salah seorang yang memunculkan konsep bangsawan Betawi adalah Prof. Dr. Yasmine Zaki Shahab. Di salah satu artikelnya, ia memaparkan tentang sebuah perhimpunan bernama Al Fatawi Mangkudat yang menyatakan diri sebagai representasi aristokrasi lama Jayakarta pra-Batavia sehingga memberikan kepada para anggotanya hak untuk dianggap sebagai BA alias orang Betawi Asli.

Dari dua kelompok elit Betawi ini, jagoan dan ulama, maka ulama Betawilah yang memiliki pengaruh paling besar sampai hari ini. Hal ini bisa dimaklumi karena religiusitas orang Betawi yang tinggi yang melekat dalam siklus hidupnya, membuat ketergantungan mereka dengan ulamanya juga begitu tinggi. Ketergantungan ini secara langsung mempertinggi intensitas pertemuan diantara keduanya dan mengintensifkan arus transfer ilmu pengetahuan dari ulama Betawi ke masyarakatnya yang dari masyarakat ini lahirlah ulama Betawi berikutnya. Inilah siklus kepemimpinan ulama bagi etnis Betawi. Siklus yang menurut saya akan berakhir jika ulama Betawi tidak mampu memainkan perannya dalam menjaga dan meningkatkan kereligiusitasan orang Betawi.

Jika melihat karya intelektual yang dihasilkan oleh ulama Betawi sejak abad ke-19 sampai sekarang, memang orang Betawi patut berbangga. Persoalannya, dari hasil kajian genealogi ini yang dilakukan oleh Jakarta Islamic Centre dengan indikator berupa karya tulis yang dihasilkan oleh ulama Betawi dari abad ke-19 sampai sekarang, maka dapat dikatakan bahwa kualitas intelektual sebagian besar ulama Betawi yang masih hidup sekarang ini cukup memprihatinkan. Sedikit sekali ulama Betawi yang mempunyai karya intelektual seperti para pendahulunya. Sebagian besar lebih banyak berkiprah sebagai penceramah dan sebagian lagi menjadi pengajar kitab-kitab kuning warisan ulama terdahulu, baik yang dikarang oleh ulama Betawi maupun ulama di luar Betawi. Memang ada kesadaran dari ulama tersebut untuk membuat karya tulis, namun masih butuh waktu untuk melihat dan menikmati karya mereka di tengah-tengah masyarakat walau hanya beberapa halaman saja. Tetapi di karya sosial, kiprah  ulama Betawi masih membanggakan, seperti lembaga-lembaga pendidikan.  Sebagian lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki dan dikelola oleh ulama Betawi  di Jakarta masih diminati dan banyak muridnya. Bahkan, seperti Yayasan Al-Wathoniyah Ash-Shodriyah 9, yang dimiliki dan dipimpin oleh K.H. Ahmad Shodri HM, yang juga menjabat sebagai Kepala Lembaga Jakarta Islamic Centre, memiliki siswa terbanyak untuk kelompok sekolah swasta di DKI Jakarta.

Akhir kalam, pembahasan ini memang dimaksudkan sebagai early warning kepada siapapun yang ingin orang Betawi tetap memiliki kereligiusitasan yang tinggi dan tetap dipimpin oleh ulamanya yang  memiliki karya intelektual dan juga karya sosial yang diakui sampai ke luar batas wilayah orang Betawi; dan juga sebagai upaya untuk mensentralkan kembali posisi, peran dan fungsi ulama Betawi dalam kehidupan masyarakat Betawi khususnya dan masyarakat Jakarta pada umumnya, baik di masa sekarang maupun di masa depan. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

fifteen − 9 =