PERDA SYARIAH DI INDONESIA: ANTARA KEARIFAN LOKAL, POLITIK ELEKTORAL DAN ANCAMAN TERHADAP KEBHINEKAAN (2)

0
367

Sejumlah santri berjalan-jalan di kawasan Alun-alun Cianjur, kota yang memang dijuluki Kota Santri

Kearifan lokal jadi ‘alibi’ pembuatan perda syariah

JIC, JAKARTA– Setelah berakhirnya orde baru, sistem desentralisasi pemerintahan diberlakukan secara efektif–sebelumnya, meski sudah ada undang-undangnya, pemerintah pusat tetap mengontrol pelaksanaan tata kelola pemerintahan di daerah.

Sejak era reformasi, setiap daerah diberi wewenang untuk mengatur pemerintahan dan kehidupan warganya masing-masing, termasuk menciptakan peraturan daerah dan peraturan perundangan lainnya.

Akmal MalikHak atas fotoBBC INDONESIA/RIVAN DWIASTONO
Image captionPlt. Dirjen Otonomi Daerah, Akmal Malik, mengatakan bahwa kondisi lokalitas daerah kerap menjadi latar belakang lahirnya perda-perda syariah

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, mengatakan bahwa ada empat hal yang mendorong dibuatnya suatu perda.

“Pertama, karena perintah peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Kedua, dalam rangka melaksanakan kebijakan perencanaan daerah,” ungkap Akmal melalui sambungan telepon.

Yang ketiga, katanya, dalam rangka melaksanakan urusan otonomi daerah yang jadi kewenangan daerah. Sementara “yang keempat, perda tuh lahir karena memang kebutuhan dan kondisi lokalitas daerah”.

Terkait munculnya perda-perda bernuansa keagamaan, ia mengaku “perda-perda syariah itu hadir karena (alasan) yang keempat, karena merasa itu adalah dalam rangka mengakomodir kebutuhan lokal”.

Di Cianjur, sejak tahun 1999, peraturan perundangan bernuansa syariah hadir dalam berbagai bentuk, baik berupa perda, surat edaran bupati hingga keputusan bupati.

Tugu Lampu GenturHak atas fotoBBC INDONESIA/RIVAN DWIASTONO
Image captionTugu Lampu Gentur dengan tulisan ‘Muhammad’ di puncak tugu yang terletak di pusat kota Cianjur dibangun tahun 2017 lalu untuk menggantikan Tugu Ngaos, Mamaos, Maenpo

Kini, setidaknya ada tiga perda bernuansa Islami yang masih berlaku di sana, di antaranya Perda Gerbang Marhamah (2006), Perda Gerakan Penghafalan dan Pengkajian Alquran atau GP2Q (2015) dan Perda Pemberdayaan Pendidikan Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Alquran (2014).

Plt. Bupati Cianjur, Herman Suherman, menyebut corak masyarakat yang dinilainya Islami sebagai “(nilai) kultural yang ada potensi di Kabupaten Cianjur”, sehingga diperlukan dalam “tatanan kepemerintahan”.

Sebagai contoh, melalui perda GP2Q, cita-cita Herman sederhana, yaitu menelurkan setidaknya seorang penghafal Alquran di setiap desa di Cianjur, yang kemudian diharapkan menjadi motor penggerak untuk mencetak lebih banyak lagi hafiz di sana.

Sama halnya dengan Perda Diniyah Takmiliyah. Perda itu mensyaratkan siswa yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, maksimal SMA, untuk melampirkan ijazah pendidikan diniyah takmiliyah atau pendidikan Alquran, yang dilakukan di luar jam sekolah sebagai pelengkap pendidikan agama Islam.

“Bukan hanya persyaratan saja, tapi saya ingin membentuk karakter agar manusia, anak-anak Cianjur, ini berakhlaqul karimah,” imbuh Herman.

Alasan senada diungkapkan anggota DPRD Kabupaten Cianjur dari Fraksi Bulan Bintang (PBB)–salah satu partai religius di parlemen lokal–Muhammad Toha, yang menilai keberadaan perda syariah “menguatkan terhadap nilai-nilai yang ada dalam sistem pemerintahan”.

Menurutnya, nilai-nilai Islami di tengah masyarakat memang sudah kuat mengakar, “khususnya dalam pendidikan keagamaan, mau ada atau tidak ada perda itu, pasti berjalan. Apalagi kalau (ada) perda ini, (jadi) lebih mengokohkan.”

 

Bukan hanya partai politik bernapaskan Islam, dukungan terhadap perda syariah nyatanya juga ditunjukkan parpol bercorak nasionalis, seperti Golkar.

“Ikut, Golkar ikut di situ. Karena memang kita anggap sangat perlu dan sebetulnya hampir semua kabupaten pun punya perda itu sekarang,” kata Muhammad Isnaeni, anggota DPRD Kabupaten Cianjur fraksi Golkar yang sudah duduk di kursi legislatif sejak tahun 2004.

“Cianjur itu kan dari dulu ada julukan kota santri. Ada juga penajaman visi-misi bupati sekarang yang lebih maju dan agamis,” ungkapnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa ada enam urusan yang tidak bisa diatur oleh pemerintah daerah, di antaranya urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

“Urusan agama itu urusan pusat, bukan urusan daerah,” tegas Plt. Dirjen Otonomi Daerah, Akmal Malik.

Lorong Asmaul HusnaHak atas fotoBBC INDONESIA/RIVAN DWIASTONO
Image captionLorong Asmaul Husna dibangun sebagai salah satu elemen pelengkap Alun-alun Cianjur

Namun demikian, Akmal mengklaim bahwa perda-perda bernuansa keagamaan yang sudah berlaku di masyarakat kini lebih condong didorong oleh persoalan kearifan lokal ketimbang murni agama.

“Lebih menyangkut kepada kelokalitasan, perda kearifan lokal daerah,” kilahnya.

“(Yang) tidak boleh itu mengatur tentang ‘agama ini tidak boleh’, ‘syariat ini tidak boleh’, maksudnya–agama itu kan sudah diatur Kementerian Agama. Hal-hal yang tidak diatur Kemenag itu masuk ke ranah kearifan lokal,” ungkapnya.

‘Kalau dilaksanakan, akan mengotak-kotakkan kami

Pada tahun 2016, Badan Pusat Statistik yang bersumber pada Kementerian Agama Kabupaten Cianjur mencatat penduduk muslim di Cianjur merupakan kelompok mayoritas dengan persentase sebesar 97,29%.

Secara berturut-turut, populasi umat beragama lainnya yaitu Kristen Protestan (2,42%), Katolik (0,13%), Budha (0,11%) dan Hindu (0,02%).

Di tengah kelompok mayoritas, suara warga minoritas diwakili sosok-sosok pemuka agama yang secara berkala bertukar pikiran dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cianjur.

Gondo AtmokoHak atas fotoBBC INDONESIA/RIVAN DWIASTONO
Image captionGondo Atmoko sebagai warga nonmuslim yang tinggal di Cianjur merasa kerukunan tetap terjaga secara kultural, namun ia khawatir muncul ekses dari perda-perda syariah yang ada kepada warga minoritas

Gondo Atmoko adalah salah satu anggotanya. Penganut kristen protestan asal Yogyakarta yang telah tinggal lebih dari dua puluh tahun di Cianjur itu, menjadi salah satu pihak yang ikut dilibatkan dalam perumusan Perda Gerbang Marhamah di awal dekade 2000-an.

“Gerbang marhamah, perda syariah–waktu itu saya sudah bicara di forum, kalau pelaksanaannya memang untuk teman-teman muslim, itu bagus,” tutur Gondo.

Akan tetapi, dalam Perda Gerbang Marhamah, aturan itu tidak hanya ditujukan bagi warga muslim. Pada pasal (3) yang membahas ruang lingkup perda, tertulis bahwa: “Untuk mewujudkan masyarakat sugih mukti tur Islami setiap orang yang berdomisili di daerah Kabupaten Cianjur wajib menjunjung tinggi akhlaqul karimah.”

Dari pasal tersebut pula, tertulis bahwa pemerintah Cianjur bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang Islami, meski wilayahnya juga menjadi tempat tinggal masyarakat nonmuslim.

Gondo menuturkan bahwa sebenarnya di tataran akar rumput Cianjur, masyarakat muslim dan nonmuslim tidak bergesekan dan rukun-rukun saja. Kondisi itu secara kultural terjaga dari masa ke masa.

Desa Sindangjaya, CianjurHak atas fotoBBC INDONESIA/RIVAN DWIASTONO
Image captionSuasana Desa Sindangjaya, Cianjur

Hal itu diamini Tatang, warga muslim di desa Sindangjaya, Cainjur–desa yang kerap disebut kampung nasrani karena banyaknya warga nonmuslim dan gereja yang berada di sana.

“Dari dulu saya semenjak datang ke sini, dari tahun ’74 sampai sekarang, alhamdulillah belum ada terjadi apa-apa, terkecuali kalau seumpamanya ada yang masuk dari pihak ketiga, itu yang dikhawatirkan,” imbuh Tatang, yang merujuk pada kelompok tertentu yang dianggap sering menjadi provokator.

Kekhawatiran yang sama diutarakan warga nasrani di desa itu saat kami berbincang-bincang–yang bersangkutan tidak bersedia direkam.

Terlepas dari kekhawatiran tersebut, Tatang mengatakan ia belum pernah mendengar perda syariah yang diterapkan di daerahnya.

TatangHak atas fotoBBC INDONESIA/RIVAN DWIASTONO
Image captionTatang, yang sehari-hari berjualan kebutuhan pokok di warungnya di Desa Sindangjaya, menilai urusan agama sebagai urusan pribadi masing-masing warga

“Saya mah namanya ada di kampung, saya enggak tahu itu urusan perda semacam bagaimana caranya, saya enggak tahu,” tuturnya.

Yang jelas, baginya, urusan agama bersifat pribadi, “kalau menurut saya, harus bagaimana masing-masing aja.”

Di sisi lain, Gondo khawatir akan ekses dari pelaksanaan perda yang secara struktural condong terhadap salah satu kelompok.

“Perda ini harus dites dulu dengan aturan atasannya secara hukum, apakah sesuai apa enggak. Contohnya, berlawanan dengan HAM apa enggak,” ujarnya.

Ia khawatir, bila perda yang bersifat eksklusif itu diizinkan, daerah-daerah lain akan ‘latah’ menciptakan perda serupa tanpa memikirkan dampak terhadap masyarakat minoritas.

“Kalau itu (perda syariah) dilaksanakan, berkotak-kotak lagi, mengotak-kotakkan diri (masyarakat),” imbuh Gondo.

 

 

sumber : bbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

eleven − 6 =