JIC,– Membahas fatwa dan perbedaan pendapat ulama artinya membahas ragam pendapat ulama setelah wafatnya Rasulullah saw. Sebab, sebelum Rasulullah saw wafat sangat minim kemungkinan terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat. Mereka memiliki Rasulullah saw selaku sumber hukum referensi sentral yang tidak dipertentangkan.
Setelah kepergian Rasulullah saw dan terputusnya wahyu, para sahabat dan orang-orang yang hidup dengan mereka (tabi’in) disibukkan dengan berbagai permasalahan yang tidak pernah mereka jumpai pada zaman Rasulullah saw.
Permasalahan dilatarbelakangi oleh keadaan, perbedaan ras, serta luasnya penyebaran agama Islam yang membuat mereka saling berjauhan. Dalam keadaan demikian, salah satu di antara mereka mencoba menjawab permasalahan baru yang terjadi dengan ijtihad hukum baru.
Syekh Ali Khafif (1309-1398 H), salah satu guru Syekh Abu Zahrah dan Syekh Wahbah az-Zuhaili, menejelaskan:
وَذَلِكَ إِنَّمَا يَقُوْمُ عَلَى النَّظَرِ وَالمُوَازَنَةِ بَيْنَ مَا حَدَثَ فِي زَمَنِ الرِّسَالَةِ وَمَا حَدَثَ بَعْدَهَا
Artinya, “(Pada mulanya) jawaban hukum dibangun atas dasar mengamati dan mempertimbangkan antara kejadian yang terjadi pada zaman kenabian dan permasalahan yang terjadi setelahnya.” (Ali al-Khafif, Asbâbukh Tilâfil Fuqahâ’, [Beirut, Dârul Fikr: 2005], halaman 7).
Dari perbandingan kasus hukum sebelum kewafatan Rasulullah saw dan setelahnya yang dilakukan oleh kalangan ulama, kemudian muncul berbagai pendapat berbeda disertai berbagai argumentasi ilmiahnya.
Definisi Khilâf dan Ikhtilâf serta Perbedaannya
Dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah dijelaskan, makna perbedaan (khilâf) secara etimologis adalah pertentangan; sedangkan secara terminologis adalah pertentangan yang terjadi antara dua pendapat dengan tujuan mencari kebenaran untuk kemudian dinyatakan sebagai hukum serta menghilangkan kebatilan. Secara umum, kata ‘perbedaan’ dalam kitab-kitab muktabar dikenal dengan istilah ‘khilâf’. Ada juga ulama yang menggunakan kata ‘ikhtilâf’. Namun ternyata ulama memiliki pandangan berbeda tentang keduanya.
(1) Khilâf adalah pendapat yang dibangun tanpa referensi dan sumber yang valid; dan
(2) ikhtilâf, adalah pendapat yang dibangun atas dasar dalil dan referensi yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. (Al-Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Wazâratul Auqâf: 1998], juz XXVI, halaman 331).
Memahami Perbedaan Ulama
Memahami perbedaan pendapat ulama menjadi sangat penting. Apalagi bagi pendakwah atau tokoh agama yang menjadi rujukan, agar tidak keliru dalam membimbing masyarakat. Seharusnya ia mengerti di bagian mana para ulama berbeda pendapat dan di bagian mana pula mereka menemukan kesepakatan.
Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (wafat 676) menjelaskan:
وَاعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ مَذَاهِبِ السَّلَفِ بِأَدِلَّتِهَا مِنْ أَهَمِّ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، لِاَنَّ اخْتِلَافَهُمْ فِي الفُرُوْعِ رَحْمَةٌ
Artinya, “Ketahuilah, sungguh mengetahui mazhab-mazhab ulama salaf dengan dalil-dalilnya termasuk bagian terpenting yang sangat dibutuhkan, karena perbedaan mereka dalam masalah cabang-cabang (ilmu syariat) merupakan rahmat.” (An-Nawawi, al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Beirut, Dârul Fikr: 1995], juz I, halaman 5).
Demikan pula Imam Abu Ayyub ‘Atha’ bin Abi Muslim al-Kharasani (wafat 135 H) mengatakan:
لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُفْتِيَ النَّاسَ حَتَّى يَكُوْنَ عَالِمًا بِاخْتِلَافِ النَّاسِ، فَاِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ رَدَّ مِنَ الْعِلْمِ مَا هُوَ أَوْثَقُ مِنَ الَّذِي لَدَيْهِ
Artinya, “Tidak sepantasnya orang yang hendak berfatwa kepada manusia sampai ia menjadi orang yang mengetahui perbedaan ulama. Jika tidak demikian maka ia akan menolak ilmu yang lebih kuat daripada ilmu yang dimilikinya. (Abul Hijaj al-Maghrabi, Tahdzîbul Masâlik, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz I, halaman 165).
Sumber : nu.or.id
.