MENJEMPUT GELAR BIDADARI (PART II)

0
302
Menjemput Gelar Bidadari
Menjemput Gelar Bidadari
Menjemput Gelar Bidadari

JIC – Saat ku coba membuang fikiran soal wudhu, aku bergegas meninggalkan kamar mandi. Namun langkahku terhenti saat hitungan ke sepuluh. Aku merasa ditahan oleh panggilan yang sangat kuat itu, bathinku terasa kacau. Aku seperti melawan sesuatu yang amat besar dan akhirnya aku kembali masuk ke kamar mandi. Saat air membasahi wajah dan siku tanganku aku gugup bukan main, dan aku hampir menangis kala air membasahi tumit kakiku seakan tak percaya dengan apa yang kulakukan.

Sesampai di kamar, pelan-pelan kucari mukena yang entah berapa minggu yang lalu terakhir kugunakan. Aku bahkan lupa apakah aku masih memiliki al-Qur’an atau itu sudah hilang dan aku tidak mempedulikannya. Aku pun benar-benar menghadap kiblat, di atas sajadah berwarna biru, aku butuh waktu untuk berfikir kembali untuk memulai takbiratul ihram.

Aku merasa ada tatapan yang mengawasiku sepanjang sholatku, aku sempat berfikir barangkali aku akan segera mati, makanya Allah memberiku kesempatan untuk sholat sebelum malaikat Izrail datang menjemputku. Rasa takut menyelimutiku, aku berfikir tidak lama lagi aku akan mati. Ini adalah pertanda.

Sejak sholat tahajud perdanaku itu, aku mulai suka melakukan sholat fardhu. Aku mulai peduli untuk menempatkan al-Qur’anku di atas semua novel-novelku. Aku mulai memperhatikan kerudung yang kukenakan apakah leherku terlihat dan rambutku tampak jelas. Aku pun mulai banyak merenung selepas sholat. Aku mulai tidak menerima semua ajakan teman untuk shooting, atau nonton bioskop bahkan aku lebih suka istirahat di masjid.

Perubahan sedikit demi sedikit namun nampak jelas terlihat, membuat temanku menunjukkan reaksi beragam. Ada yang menyebutku munafik, ada yang tidak ambil pusing, dan ada pula yang mendukung. Aku nyaris depresi pada awalnya.

Setiap kali aku ke Tanah Abang yang ku beli adalah celana jeans lengkap dengan jacket namun kali ini aku dengan malu-malu menuju toko penjual gamis. Aku amat canggung, rasanya seperti terlahir kembali. Gamis pertama yang kumiliki berwarna biru dongker. Dan saat kuberanikan diri memakainya ke kampus, seperti yang kuduga mereka mulai menjauh selangkah, dua langkah, ada yang menatap sinis dan ada pula yang lantang mengatakan aku seperti guru madrasah, bukan mahasiswi perfilman. Teman-teman yang dulu selalu bersamaku ke bioskop, kini ikut menertawaiku. Aku menangis di tolilet kusembunyikan air mata dan wajah sembabku.

Waktu bergulir mengikuti apa yang Allah takdirkan. Memasuki pekan kedua mengenakan gamis, aku bertekad mencari teman seperjuangan, teman yang memakai gamis dan kerudung. Ku mulai searching di google, kutambahkan mereka ke dalam list pertemananku di sosial media. Ku ikuti setiap info majelis ilmu yang mereka update di wall Fb mereka. Dan saat aku pertama kali memasuki majelis ilmu, aku baru sadar bahwa aku adalah satu-satunya wanita yang….. (bersambung)

Sumber: Muslimah Inspiring Stories

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

seventeen − fourteen =