AS SAHKAN UU BERANTAS ISLAMOFOBIA: KAPAN INDONESIA TINGGALKAN PHOBIA ALA SNUCK HURGRONJE? (1)

0
204

Muslimah Anggota Konggres AS dari partai demokrat, Ilhan Omar.                     Foto: Google.com

Akankah Islamofobia mampu dihilangkan dari Indonesia?

JIC,– DPR Amerika Serikat pada Selasa pekan lalu (14/12), meloloskan RUU untuk berantas Islamofobia. Kenyataan ini jelas mengejutkan karena merupakan perkembangan baru setelah pasukan Amerika Serikat meninggalkan Afghanistan dan terus meningkatnya persaingan antara negara ‘Paman Sam’ itu dengan Tiongkok untuk berebut pengaruh dunia, khususnya terkait sengketa di Laut China Selatan.

Bagi publik Indonesia situasi ini jelas membuat gambaran baru dari arah politik dalam negeri dan luar negeri. Apalagi legislasi yang disponsori anggota fraksi Demokrat, Ilham Omar lahir setelah dia diejek anggota fraksi Republik Lauren Boebert dengan lelucon rais Islamofobia. Omar disebut sebagai annggota “pasukan jihad” legislator liberal.

Imbas dari ejekan Bober, partai demokrat melakukan manuver kepada partai Republik yang mana kemudian membuat partai tersebut tersudut. Partai Demokrat yang dikenal tak suka perang dan menjunjung nilai kebebasan, HAM, dan Demokrasi beralih menggempur balik partai Republik yang terdiri dari para kaum yang disebut suka ‘perang’. Akibat ini semua, kemudian loloslah RUU anti Islamfobia di DPR AS. Partai penguasa Amerika Serikat ini kemudian memaksa DPR AS mengambil langkah resmi pertama dari kasus ejekan Islamofobia itu. Hasilnya, RUU itu disahkan setelah melalui pemungutan suara dengan porsi 219-212 mendukung legislasi yang disponsori Omar itu.

Bagi dunia, sikap AS yang kini punya UU memberantas Islamofobia dapat dimengerti. Mereka rupanya bisa belajar banyak atas kasus yang timbul akibat dari sikap itu yang dahulu kental dan dikobarkan Presiden AS dari Partai Republik George Bush.

Saat terjadinya peristwa 911, kala itu presiden Bush memantik soal Islamofobia dengan mengobarkan semangat ‘perang salib’. Dia memilih diksi hitam putih: bersama Amerika atau menjadi musuh Amerika. Maka sejak itu, Islamofobia makin menjadi dan berkobar ke seluruh penjuru dunia. Maka bermunculah  berbagai ‘ujaran ajaib’ yang mengidentikan ‘Islam sebagai agama teror’. Alhasil misalnya, seruan takbir ‘Allahu Akbar’ mendapat sebutan baru di media barat sebagai ‘kata-kata setan’ (satanic voice).

 

Kemudian di Indonesia timbul geger ‘Islam liberal’. Kampanye ini kala itu sangat masif. Iklan-iklan di televisi menampilkan kampanye gerakan itu. Umat Islam resah. Aksi teror pada saat yang sama merebak di mana-mana. Muncul nama-nama terkenal seperti DR Azhari hingga Noordin M Top yang ternyata sudah solid membuat jaringan. Mereka digrebek polisi di mana-mana. Penangkapan mereka disiarkan langsung televisi mirip pertandingan sepakbola. Tak hanya dalam berita pendek atau ‘breaking news’ semata, tapi malah menjadi tayangan siaran langsung sepanjang hari, dari pagi sampai pagi lagi.

 

Gempita Islamfobia makin seru ketika AS kemudian dipimpin Donal Trump dan di Jakarta muncul Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) jadi gubernur. Di masa itu kemudian muncul aksi protes massal melalui forum ‘Aksi 212’ secara berjilid-jilid. Dan semakin seru ketika memasuki masa pemilihan presiden.

Warga benar-benar ”terbelah jadi dua, antara yang mendukung Islamofobia dan anti Islamfobia. Buah puncaknya muncul sebutan Kadrun dan Kampret. Situasi ini makin lestari ketika memasuki masa pemilihan presiden 2019. Kala itu Indonesia terlihat praktis terbagi dua: yakni antara kelompok yang  mengidentikkan diri sebagai nasionalis dan Islamis. Ruwet dan berbahaya.

Sumber : Republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here