KH. Mahrus Amin, Pemimpin Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Antara Waktu Forum Komunikasi dan Kerjasama Islam Centre se-Indonesia (Forum Islamic Centre) pada suatu kesempatan memberikan penjelasan mengenai logo Jakarta Islamic Centre (JIC) dan logo Forum Islamic Centre yang berbentuk bintang sudut delapan. Menurutnya, sudut delapan tersebut adalah salah satu simbol Islam yang memiliki makna kesempurnaan Islam, yaitu : 1) Syahadat, 2) Shalat,3) Puasa, 4) Zakat, 5) Haji, 6) Amar ma`ruf, 7) Nahi munkar, dan 8) Jihad fi sabilillah.
KH. Mahrus Amin, Pemimpin Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Antara Waktu Forum Komunikasi dan Kerjasama Islam Centre se-Indonesia (Forum Islamic Centre) pada suatu kesempatan memberikan penjelasan mengenai logo Jakarta Islamic Centre (JIC) dan logo Forum Islamic Centre yang berbentuk bintang sudut delapan. Menurutnya, sudut delapan tersebut adalah salah satu simbol Islam yang memiliki makna kesempurnaan Islam, yaitu : 1) Syahadat, 2) Shalat,3) Puasa, 4) Zakat, 5) Haji, 6) Amar ma`ruf, 7) Nahi munkar, dan 8) Jihad fi sabilillah.
Hal ini hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhowi, bedanya, ia menyebut sebagai kewajiban-kewajiban yang pokok dan syi’ar-syi’ar yang besar yang bersifat amaliyah. Jumlahnya tidak delapan, tetapi enam karena ia tidak memasukkan syahadat karena syahadat tidak bersifat amaliyah dan menyatukan konsep amar ma`ruf dan konsep nahi munkar. Ia menyebutnya sebagai syi`ar-syi`ar yang besar karena keenam hal tersebut merupakan tanda-tanda yang nampak, untuk membedakan dan memisahkan antara kehidupan seorang muslim dengan non muslim. Sebagaimana nantinya dapat membedakan antara kehidupan masyarakat Islam dengan non muslim.
KH. Mahrus Amin di Jakarta dan Dr. Yusuf Al-Qaradhowi di Timur Tengah, walau keduanya berbeda dalam penyebutan jumlah, mereka berdua sepakat bahwa tidak sempurna keislaman seseorang jika hanya mengerjakan rukun Islam yang lima, tetapi tidak melakukan amar ma`ruf, nahi munkar dan jihad fi sabilillah. Tidak sempurna, jika seorang muslim hanya sholat, puasa, zakat dan pergi haji bila didepan matanya kemungkaran dan kemaksiatan merajalela dan dia hanya berdiam diri, berkata untuk menolakpun tidak, maka, merujuk sabda Rasulullah SAW, itulah selemah-lemahnya iman.
Maka berdasar atas upaya untuk menyempurnakan agamanya, sejarah peradaban Islam di dunia, khususnya di Indonesia sejak awal masuk sampai sebelum kemerdekaan, termotivasi dan sangat terwarnai oleh semangat amar ma`ruf nahi munkar dan jihad fisabilillah dalam segala bentuk eskpresi dan bermacam ragam tujuan. Baik dalam bentuk kegiatan pemberdayaan umat, melahirkan karya-karya besar di bidang ilmu pengetahuan sampai peperangan melawan penjajah. Tentu kaum muslimin yang melakukan ini mengatasnamakan Islam dalam segala tindakannya, baik secara kelompok maupun individu karena memang atas nama Islamlah mereka berbuat agar semua tindakan yang diambil bernilai ibadah dan jika ajal menjemput mendapat status sebagai syuhada. Juga atas nama Islamlah, indvidu-individu muslim kemudian mengorganisir diri dalam sebuah wadah pergerakan yang terdaftar sebagai ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU yang kedua organisasi ini secara jelas menjadikan amar ma`ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah sebagai syiar-syiar dari amal usaha dan pergerakan mereka.
Maka sangat mengherankan ketika Sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI), Ekmeleddin Ihsanoglu, saat jumpa pers usai bertemu Presiden RI (Senin,20/2/2012) angkat bicara mengenai organisasi yang mengatasnamakan Islam beberapa kali memakai tindakan yang dinilai represif, seperti Front Pembela Islam (FPI). Ia, mewakili OKI, mempertanyakan dari mana lisensi dan izin organisasi masyarakat (dalam hal ini FPI) yang mengatasnamakan Islam seperti itu? Siapa yang mengizinkan mereka untuk melakukan itu (amar ma`ruf nahi munkar)? Menurutnya, selama 14 abad, bukan hal yang baru bahwa Islam diinterpretasikan atau ‘ditemukan’ oleh semua orang. Islam memiliki standar Kitab Suci Alquran dan Sunnah. Dan tentu interpretasi Alquran dan Sunnah harusnya hanya lembaga yang diberikan otoritas dan harus dalam konteks. Tidak ada referensi atau dogma tunggal yang kemudian dibawa keluar konteks dan diinterpretasikan.
Sekali lagi, pernyataan Sekjen OKI tersebut sangat mengherankan karena menganggap semua tindakan yang dilakukan FPI tidak sah menurut Islam karena tidak mempunyai otoritas untuk melakukan hal itu. Padahal, hukum amar ma`ruf nahi munkar yang wajib kifayah dimana membutuhkan otoritas, pada suatu kondisi tertentu bisa menjadi fardlu `ain sehingga tidak membutuhkan otoritas karena hanya dia sendiri (dalam kasus ini FPI) yang mengetahui kema’rufan dan kemunkaran yang terjadi. Imam An Nawawiy berkata, ”Sesungguhnya amar makruf nahi munkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia berada di tempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia.“( Imam An-Nawawiy, Syarah Shahih Muslim ) atau pihak yang memiliki otoritas membiarkan kemunkaran itu terjadi.
Salah satu contohnya, Jika Front Pembela Islam (FPI) tidak melakukan demo di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe House Institute, di Pusat Kebudayaan Prancis Center Culture Francais (CCF), Pusat Kebudayaan Erasmus Huis, dan Japan Fondation yang semuanya berdomisili di Jakarta pada hari Selasa, 28 September 2010 yang diliput oleh media massa, tentu masyarakat luas tidak akan mengetahui pemutaran film-film tentang homoseksual, lesbian, biseksual dan transgender dari beberapa negara yang ditujukan untuk umum tersebut. Padahal, pemutaran film-film tersebut. dalam rangka penyelenggaraan Q! Film Festival 2010, telah dilakukan sejak 22 September lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM). Selain di TIM dan pusat-pusat kebudayaan asing, film-film tersebut rencananya akan diputar juga di bioskop, kampus, dan di tempat-tempat lainnya di beberapa kota besar di Indonesia. Dengan adanya demo FPI ini, maka kegiatan yang memilik dampak yang sangat besar dalam perusakan moral anak bangsa tersebut batal dilaksanakan.
Namun, walau demikian, apa yang disampaikan oleh Sekjen OKI tersebut sebaiknya dijadikan bahan renungan oleh FPI dan ormas-ormas Islam lainnya agar dalam melakukan tindakan nahi munkar tidak menggunakan cara-cara yang melanggar hukum. Untuk itu, untuk meningkatkan pemahaman umat Islam terhadap amar ma`ruf nahi munkar dan jihad fisabilillah, Jakarta Islamic Centre (JIC) akan mengadakan bedah buku berjudul Bagaimana Saya Berjihad? (Studi Tematik Dalam Tafsir Al-Kasysyaf Atas Ayat-Ayat Jihad) Karya Ustadz Agus Handoko, M.Phill, mantan karyawan JIC, lulusan IIU Islamabad, Pakistan yang kini bertugas sebagai Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI di Masjid Jakarta Islamic Centre (JIC), Jl. Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara langsung setelah shalat Jum`at pada tanggal 2 Maret 2012 tanpa dipungut biaya. Bagi yang berminat mendapatkan buku tersebut dapat menghubungi JIC di (021) 4413069 via Lala/Dewi setiap hari kerja atau ke nomor 081314165949.***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC