JIC– Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang ketika keputusan mengenai perilaku yang layak harus dilakukan. Dilema etis seorang whistleblower terjadi ketika kesadaran pengetahuan tentang kecurangan dalam organisasi dinilai tidak etis atas pertimbangan pengetahuan dan pengalaman profesionalnya untuk memberikan informasi pengungkapan kecurangan akan membahayakan rekan kerja dalam organisasi.
Keputusan etis whistleblower diyakini bahwa kecurangan yang dilakukan oleh anggota organisasi adalah sebagai bentuk kesalahan dan kejahatan yang merugikan organisasi, namun disisi yang lain pelaku kecurangan adalah anggota organisasi yang dikenal dekat sebagai rekan kerja, atasan atau bawahan di organisasi tempatnya bekerja. Whistleblower umumnya mengetahui proses kecurangan itu terjadi. Kesadaran nilai kepantasan yang telah dilihatnya menjadi pendorong untuk mengambil sikap bahwa peristiwa kecurangan yang dilihatnya tersebut adalah tindakan kecurangan dan kejahatan yang merugikan organisasi.
Pada kondisi ini whistleblower dihadapkan pada dilemanya untuk melaporkan tindakan kecurangan tersebut. Keputusan untuk bersedia mengungkapkan terjadinya kecurangan adalah bentuk sensitivitas etis whistleblower yang kemudian menjadi dilema etis yang sulit dihindari. Dilema etis ini muncul karena kepekaan individu melihat adanya ketidak sesuaian yang bertentangan dengan prinsip yang diyakini sebagai bentuk perilaku etis atau tidak
Cara Mengatasi Dilema Etis Whistleblower
a. Mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى
Segala aktivitas seorang whistleblower pada hakekatnya adalah perwujudan ibadah kepada Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, oleh sebab itu dengan mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى maka whistleblower akan memiliki kekuatan dan keteguhan untuk berbuat dan menginformasikan kebenaran semata mata karena untuk mendapatkan ridho Allah bukan karena yang lain. Ketaatan pada konsep tauhid dan ketundukan kepada Allah menentukan whistleblower untuk keluar dari dilema etis, tidak bimbang menentukan mana yang baik dan buruk. Seperti yang tercantum di dalam surat Al Anbiya ayat 25, yaitu:
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS Al Anbiya: 25).
Dengan mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى maka whistleblower percaya bahwa Allah akan mengamati segala perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh hambaNya akan memunculkan rasa takut kepada Allah. Whistleblower akan melakukan tindakan yang benar dan menjauhi tindakan yang merugikan dan salah, dengan cara itu maka tidak akan terjadi dilema etis bagi whistleblower.
b. Berani menyampaikan kebenaran (bersikap syaja’ah).
Q.S. Ali Imran ayat 139 tentang syaja’ah “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang- orang yang beriman.
Keberanian menegakkan kebenaran memang bukan hal yang mudah. Menyampaikan kebenaran atau bersikap syaja’ah bisa juga diartikan pada upaya whistleblower menyampaikan informasi kebenaran atas suatu kejadian yang menimbulkan kerugian dan keburukan bagi anggota organisasi secara individu maupun keseluruhan. Keberanian untuk mengungkapkan kebenaran walaupun hanya dengan perkataan adalah bentuk jihad, seperti yang disampaikan oleh hadits berikut ini:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Artinya: “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud).
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.”
Berpedoman pada kedua hadist tersebut maka jelas tidak ada keraguan sedikitpun yang dapat menimbulkan dilema etis bagi whistleblower untuk menyampaikan kebenaran dengan lisannya untuk mencegah terjadinya kemungkaran, artinya dilema etis akan dapat dihindari ketika seorang whistleblower yakin bahwa menyampaikan kebenaran harus dilakukan meskipun berat. Kode etik akuntan yang didefinisikan oleh The International Federation of Accountants (IFAC) sebagai aturan perilaku, standar, nilai, atau prinsip yang memandu keputusan, sistem organisasi dan prosedur dengan cara ikut andil pada kesejahteraan setiap pemangku kepentingan dan menghormati hak orang lain. Mengacu pada kode etik yang didefinisikan oleh IFAC tersebut maka, tindakan whistleblower untuk berani menyampaikan kebenaran adalah bentuk menjunjung tinggi dan pelaksanaan kode etik.
c. Saling tolong menolong dalam kebaikan
Perintah untuk saling menolong dalam mewujudkan kebaikan dan ketakwaan
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Whistleblower harus meyakini bahwa keberanian untuk menyampaikan informasi terhadap suatu keburukan, kecurangan ataupun kemungkaran yang terjadi di dalam organisasi adalah bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dalam wujud saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Keyakinan ini akan mengarahkan whistleblower untuk tidak terjebak dalam dilema etis, sehingga whistleblower merasa yakin bahwa apa yang dilakukan itu adalah bentuk ibadah yang diperintah oleh Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
Demikian artikel ringkas penjelasan bagaimana pandangan islam membantu whistleblower untuk yakin dan bersikap teguh dalam menyampaikan kebenaran walaupun akan menjadi dilema etis pada saat pengambilan keputusannya. Islam sangat melarang kita untuk membiarkan kemungkaran yang kita ketahui terjadi, sebaliknya islam memerintahkan kita untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Semoga tulisan ini dapat menjadi pencerahan untuk meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah Azza wa Jalla.
Rujukan:
Amalia, E., & Srimaya, L, S. (2022). Mengintegrasikan Etika Islam dalam Dilema Etis dan Pendidikan Akuntansi. Jurnal Akademi Akuntansi (JAA), 5(4), 531-546
Salin, A. S. A. P., Ab Manan, S. K., Kamaluddin, N., & Nawawi, A. (2017). The Role of Islamic
Ethics to Prevent Corporate Fraud. International Journal of Business and Society, 18(S1), 113–128
Shonhadji, N. (2022). Is Whistleblowing an Ethical Practice? Journal of Economics, Business, and Accountancy Ventura. 25(2), 244 – 254.
*Ditulis oleh: Dr. Nanang Shonhadji., M.Si., AK.,CA., CMA., CPA (Dosen Universitas Hayam Wuruk Perbanas & Narasumber JIC TV dan Radio JIC)