JIC,— Caper atau cari perhatian adalah istilah yang muncul kurang lebih sewindu yang lalu. Ia merupakan akronim dari frasa ‘cari perhatian’ yang dalam bahasa agama disebut at-tamalluq.
Abu Sa’id Al-Khadimi dalam Bariqah Mahmudiyyah fi Syarhi Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah fi Sirah Ahmadiyah (juz II, halaman 187) mencoba mendeskripsikan apa itu at-tamalluq. Ia mengatakan:
اي الزِّيَادَةُ فِي التَّرَدُّدِ وَالتَّضَرُّعِ فَوْقَ مَا يَنْبَغِي لِيُسْتَخْرَجَ مِنْ الْإِنْسَانِ مُرَادُهُ
Artinya, “Makna tamalluq atau cari perhatian adalah bertambahnya waktu kunjung seseorang kepada orang lain lebih dari yang semestinya seiring dengan sikap melas diri yang berlebihan. Dengan maksud, agar ia mendapatkan apa yang dia mau.”
Sebagaimana ulama lainnya, termasuk imam Muhammad bin Bir Ali Al-Barkuli-penulis kitab At-Thariqatul Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah fi Sirah Ahmadiyah, satu karya besar yang disyarahi Al-Khadimi menjadi Bariqah Mahmudiyyah-Abu Sa’id Al-Khadimi memandang bahwa sikap caper itu merupakan perilaku tak terpuji.
Dengan terbiasa berlaku demikian, seseorang takkan kunjung temukan kebenaran jati dirinya. Sebab, ia hanya akan sibuk mencari perhatian orang lain, membebek apa yang mereka sukai. Dalam segala urusan, caper seperti itu sangat tidak dianjurkan, termasuk dalam dunia politik, sosial, bisnis, dan seterusnya kecuali menyangkut urusan belajar-mengajar, antara guru dan murid atau santri dengan kiai atau ibu nyai-nya.
Al-Khadimi, mengutip kalam Imam Al-Halabi dalam Bariqah Mahmudiyyah (juz II, halaman 182) mengatakan:
قَالَ الْحَلَبِيُّ التَّمَلُّقُ لِغَيْرِ الْمُعَلِّمِ مِنْ أَفْعَالِ أَهْلِ الذِّلَّةِ وَالضِّعَةِ وَمِمَّا يُزْرِي بِفَاعِلِهِ وَيَدُلُّ عَلَى سَقَاطَتِهِ وَقِلَّةِ مِقْدَارِ نَفْسِهِ، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُهِينَ نَفْسَهُ كَمَا لَيْسَ لِغَيْرِهِ أَنْ يُهِينَهُ
Artinya, “Al-Halabi berkata, ‘Bersikap caper kepada selain guru, termasuk pekerjaan orang-orang rendahan lagi hina, hanya mampu berpangku tangan dan itu menunjukkan harga diri yang amat buruk. Seseorang tidak boleh menghina dirinya sebagaimana ketidakbolehan orang lain menghina sesama.”
Imam Az-Zarnuji dalam Kitab Ta’limul Muta’allim Thariqatut Ta’allum juga berpandangan demikian. Baginya, harga diri ini tidak ada artinya dibandingkan nilai dan kemuliaan ilmu pengetahuan yang diberikan sang guru kepada muridnya. Inilah yang disebut Quwatu Syarafil ‘Ilmi (Nilai ilmu pengetahuan yang tak dapat dihagai).
Kita bisa belajar dari mutiara hikmah yang amat sublim yang disampaikan imam Ali bin Abi Thalib. Ia berkata, Ana ‘abdu man ‘allamani harf(an) wahid(an), in syâ‘a bâ’a wa in syalâ‘a istaraqqa, “Aku adalah budak dari siapa pun yang mengajarkanku satu huruf; terserah padanya entah akan menjualku atau tetap menjadi budaknya”.
Alhasil, harga diri yang dititipkan Tuhan pada setiap manusia, seketika juga kosong tak berharga di hadapan ilmu dan para guru. Ia bagai setitik air selokan keruh di hadapan kejernihan Danau Logo di Muna Island. Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip dua bait syair yang amat berkesan. Berikut redaksinya:
إنَّ الْمُعَلِّمَ وَالطَّبِيبَ كِلَاهُمَا * لَا يَنْصَحَانِ إذَا هُمَا لَمْ يُكْرَمَا أَكْرِمْ طَبِيبَك إنْ أَرَدْت تَدَاوِيَا * وَكَذَا الْمُعَلِّمُ إنْ أَرَدْت تَعَلُّمَا
Artinya, “Sungguh, seorang guru dan dokter takkan sudi menasehati dan memberimu resep bila tak kau muliakan mereka # Muliakanlah sang dokter jika kau masih ingin sembuh, demikian pula pada sang guru bila masih berharap tetap jadi muridnya.” (Bariqah Mahmudiyyah [juz II, halaman 188]).
Sumber : nu.or.id