JIC – Mengapa motivasi menggatungkan cita-cita setinggi bintang di langit adalah sebuah kekeliruan? Padahal istilah tersebut sudah sangat akrab di telinga kita.
Karena menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit adalah cenderung duniawi. Akibatnya karena mengejar cita-cita yang serba tinggi tersebut banyak orang yang menghalalkan segala cara, alias halal haram hantam.
Maka tidak heran jika kekeliruan motivasi yang cenderung duniawi tersebut akhirnya melahirkan perlombaan-perlombaan yang juga keliru.
Perlombaan mengejar gelar yang tinggi, terkadang dengan cara nyontek, jual beli kunci jawaban karena bagi mereka yang penting adalah ijazahnya bukan ilmunya.
Perlombaan mendapatkan pekerjaan tinggi, sehingga menjadi rahasia umum masalah suap-menyuap, sogok menyogok untuk mendapatkan pekerjaan yang bergengsi.
Perlombaan menjadi pejabat, dengan cara menjilat, saling sikut atau menggunting dalam lipatan biar mendapat jabatan dalam posisi yang “basah.”
Perlombaan mengumpulkan kekayaan; dengan cara penipuan, main tuyul, perjudian, pencurian, perampokan dan korupsi menjadi salah satu usaha untuk mewujudkan cita-cita setinggi bintang dilangit tersebut.
Dan jika “sukses” mewujudkan cita-cita setinggi bintang dilangit sebagaimana diatas, yaitu sukses mendapat gelar yang tinggi, sukses mendapatkan pekerjaan bergengsi, sukses duduk di jabatan yang basah dan sukses mengumpulkan harta benda, lalu apa hasilnya?
Inilah hasilnya :
“Sekali-kali tidak! Sungguh manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-Alaq : 6-7)
Nauzubillahimindzalik, perhatikanlah selain prosesnya menghalalkan segala cara maka hasilnya juga mengecewakan, dengan demikian kesuksesan yang didapatkan tidak memberikan berkah, bahkan mereka akan menjadi orang yang sombong, angkuh, berbuat sewenang-wenang dan anti kebaikan seperti Abu Jahal (HR. Ibnu Jarir. Lihat Ibnu katsir : 6/343).
Jika menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit adalah sebuah kekeliruan, lalu apa solusinya?
Solusinya adalah : Gantungkanlah cita-citamu setinggi Sidratul Muntaha.
Dibanding bintang di langit maka sesungguhnya Sidratul Muntaha jauh lebih tinggi, ia berada diatas langit ketujuh. Dengan demikian ibaratnya antara Bintang di Langit dan Sidratul Muntaha sama-sama tinggi tapi bintang di langit jauh kalah level.
Akan tapi bukan hanya sekedar karena faktor lebih tinggi semata-mata yang menjadi focus bahasan kita disini melainkan karena dengan menyebut Sidratul Muntaha menggambarkan keseimbangan, ia tidak cenderung duniawi semata, melainkan kecenderungan dunia akhirat.
Motivasi Sidratul Muntaha akan mengingatkan anak-anak kepada peristiwa yang sangat luar biasa yaitu mukjizat Isra’ Mi’rajnya nabi Muhammad SAW.
Diantara hal-hal yang dialami Rosulullah SAW dalam peritiwa Isra’ Mi’raj tersebut adalah :
1. Ada perjalanan nabi dari Masjidil Haram sampai ke Masjidil Aqsho.
2. Ada kisah tentang kendaraan Buraq, kendaraan tercepat di dunia.
3. Ada suasana luar angkasa, yaitu perjalanan dari langit kesatu sampai ketujuh.
4. Ada pertemuan dengan nabi-nabi disetiap tingkatan langit tersebut.
5. Ada kebersamaan Rosulullah SAW dalam perjalanan tersebut dengan malaikat Jibril.
6. Ada pemandangan neraka dengan berbagai gambaran calon penghuninya.
7. Ada pemandangan surga yang saking indahnya tidak pernah dilihat oleh mata kita di dunia ini bahkan belum pernah terlintas dalam pikiran.
8. Ada proses penerimaan kewajiban shalat 5 waktu di Sidaratul Muntaha langsung dari Allah SWT.
Intinya memotivasi agar bercita-cita setinggi Sidratul Muntaha maka sama saja dengan membimbing anak-anak kepada kesadaran Ulil Albaab sebagaimana berikut ini:
“(Yaitu)orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Ali Imran : 191)
Kepada anak-anak kita motivasi agar menggantungkan cita-cita setinggi Sidratul Muntaha, kepada Allah SWT kita banyak-banyak berdoa sebagaimana doa nabi Ibrahim as, berikut: “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang sholeh.” (QS. Ash-Shaffat : 100)
Anak yang shaleh ketika kecilnya menjadi penyejuk mata penyenang hati dan pelipur lara.
Sehingga kalaupun nanti anaknya memiliki gelar, pekerjaan, jabatan dan harta bendang banyak maka ia tetap orang yang sholeh, ia tidak merasa serba cukup lalu melampaui batas.
Jika sukses orang yang sholeh akan selalu bersyukur atas nikmat Allah swt sebagaimana nabi Sulaiman as.
Sebaliknya jika anaknya tidak memiliki kekayaa atau kekuasaan ia tetap orang yang sholeh, yang tidak meratap dan tidak berputus asa.
Jika tidak sukses ‘secara duniawi’ maka orang sholeh akan tetap tangguh dalam kehidupan ini dan selalu bersabar sebagaimana nabi Ayub as.
Mengapa kita harus menghindari paradigma yang keliru dan mengapa kita perlu memiliki paradigma yang benar dalam menggantungkan cita-cita? jawabannya adalah agar kita berada dalam rel yang benar, agar kita berada dalam sebuah gerbong yang jelas dan agar kita sampai ke terminal akhir yang harum semerbak nan mewangi.
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27 – 30)
Sumber; ummi-online.com