GENEALOGI INTELEKTUAL ULAMA BETAWI

0
1387

Etnis Betawi adalah etnis yang unik. Walau di tanah Betawi purba sudah ada etnis Nusa Jawa, namun dalam perjalanan sejarah ia menjadi etnis yang baru, etnis bernama Betawi, hasil dari proses pencampuran dan persilangan yang tidak dapat dihindarkan.  Hal ini dinyatakan oleh P.H. Willemse yang menjabat sebagai residen Batavia sejak Juli 1929 sampai Oktober 1931 (Mona Lohanda; 2004). P.H. Willemse secara  terbuka dan jelas menyatakan bahwa ada sebuah etnis baru di Batavia yang terbentuk melalui proses berabad-abad dari pencampuran dan persilangan yang kuat dengan penduduk asli setempat yang disebut sebagai orang Betawi, yang di dalam banyak keunikan, terutama bahasa, sangat berbeda dari nenek moyang mereka.

Sehingga wajar, jika rupa dan perawakan masing-masing orang Betawi satu sama lainnya tidak sama dan beragam atau lebih mendekati etnis-etnis lain dari luar Betawi. Begitu pula jika ditelusuri menurut silsilah hubungan darah, maka akan terlihat nyata jika nenek moyang orang-orang dari etnis Betawi tidaklah satu keturunan dan berasal dari banyak daerah di Indonesia. Begitu pula dengan para ulamanya, yang menempati posisi sentral dalam kehidupan etnis Betawi, tentu satu sama lain memiliki perbedaan genealogis tersebut.

Pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi yang diselenggarakan oleh JIC (Jakarta Islamic Centre) pada tanggal 27 Maret 2007 yang lalu dengan pembicara Prof. Dr. KH. Abdurrahim Radjiun, Prof. Dr. Yasmin Shihab, Alwi Shahab, dan Drs. H. Ridwan Saidi semakin menunjukkan peran sentral dari ulama Betawi dalam menjaga etnis ini agar tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan tetap terregenerasikan dengan baik dari awal Islam masuk ke tanah Betawi sampai sekarang ini.

Menurut Ridwan Saidi, penyebaran Islam di tanah Betawi bermula dari berdirinya pesantren Quro di Karawang pada tahun 1428. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin berasal dari Kamboja. Pada awalnya, maksud kedatangan Syekh Quro ke Jawa adalah untuk berdakwah di Jawa Timur. Namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, ia membatalkan perjalanannya ke Timur. Syekh Quro kemudian menikah dengan seorang gadis Karawang dan membangun pesantren di Quro, pedalaman.Di kemudian hari, salah seorang santri pesantren bernama Nyai Subang Larang dipersunting Prabu Siliwangi yang dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam.

Generasi penerus penyebaran Islam berikutnya, masih menurut Ridwan Saidi, adalah menak Pajajaran yang seiman dengan Kean Santang, seperti Pangeran Syarif dan Pangeran Papak. Pada saat bersamaan, daya sebar Islam di tanah Betawi mencapai momentumnya oleh peranan para dato, seperti Dato Biru di Rawa Bangke, Dato Tanjung Kait di Tangerang, Kumpi Dato di Depok, Dato Ibrahim dan Dato Tongara di Cililitan. Penyeberan Islam di tanah Betawi penuh dengan peperangan. Menurut Ridwan Saidi sebagai yang dikutipnya dari naskah Sunda kuno Carios Parahiyangan,  tercatat sebanyak 15 kali peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh para dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawesisa yang bertahta sejak tahun 1521 yang dibantu oleh para resi.

Perlawanan tidak hanya berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan intelektual berbasis di desa Pager Resi Cibinong yang dipimpin oleh Buyut Nyai Dawit. Ia menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Karesyan (1518). Di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam dissebut sebagai kaum langgara, dan tempat berkumpulnya disebut langgar.  Selanjutnya, penyebaran Islam di tanah Betawi antara tahun 1527-1650, dilanjutkan oleh Pangeran Sugi dari Kampung Padri dan Kong Ja`mirin dari Kampung Marunda. Menurut Ridwan Saidi, pada masa 1650-1750, tidak diketahui lagi mengenai ulama yang memberikan kontribusi terhadap penyebaran dan perkembangan Islam di tanah Betawi.

Namun, Prof. Dr. KH. Abdurrahim Radjiun menyatakan bahwa ulama yang menyebarkan dan mengembangkan Islam  di tanah Betawi pada rentang tahun tersebut (1650-1750) tetaplah ada, yaitu dengan merunut dari peran  Panglima Fadhillah Khan, Faletehan atau Fatahillah.

Pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah bersama pasukan dari Cirebon dan Banten melakukan pengepungan terhadap Kalapa  dengan mematahkan kekuatan kafir Portugis dibawah Francisco de Sa, untuk kemudian mengibarkan panji-panji keislaman, lalu mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang dipetik dari Alquran ayat pertama surat Alfath : Fathan Mubina, artinya : Kemenangan nyata. Kemudian secara kontinyu penguasa-penguasa di Demak, Cirebon dan Banten yang memang telah menjadi kantong para ulama, baik para Syarif, Habaib ataupun Sunan, secara berkesinambungan mengutus sejumlah besar Muballigh dan para pengajar yang dipersiapkan  berdakwah untuk perluasan dan pendalaman keislaman bagi para muslim di Jayakarta.

Masih menurut Prof. Dr. KH. Abdurrahim Radjiun, pada tanggal 12 Mei 1619 Jayakarta dikepung pasukan VOC dipimpin langsung JP. Coen. Pangeran Wijakrama diloloskan oleh Mangkubumi ke Banten, dan pada pertempuran yang meletus pada 30 Mei, Coen telah efektif menguasai Jayakarta sepenuhnya dan kemudian menggantinya dengan nama Batavia. Keluarga Pangeran Wijakrama didorong mundur dan bertahan di kawasan yang sekarang dikenal daerah Jatinegara Kaum – di sini kita masih dapat singgahi pemakaman keluarga dan kerabatnya. Sementara para prajurit dan pengikut setia beliau termasuk para ulama, dato, guru-guru agama, berhamburan ke daerah-daerah sekitar, membentuk cekungan baru untuk pengajaran agama Islam, perekonomian, perdagangan, seni budaya, sambil sesekali bergerak melakukan perlawanan sporadik terhadap kolonial.

Pada paruh kedua abad 18, atau sekitar tahun 1736, 117 tahun setelah Jayakarta tumbang, Alhabib  Husein bin Abi Bakr Alaydrus, seorang da’i dari al Miqab, Hadramaut – kini Yaman Selatan, menginjakkan kakinya di tanah Betawi. Selain alim, bijak dan menyimpan  banyak karomah, Alhabib juga dikenal teramat santun kepada lingkungan dan khalayak yang tidak saja ngaji kepada beliau, tapi juga berharap doa restu untuk arungi kehidupan, agar tetap berada di jalur yang baik dan benar. Duet Habib Husein – Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mempunyai garis genealogis versi Demak, adalah keturunan dari Sunan Giri yang dikenal juga sebagai Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin, mereka kemudian menjadi cikal mata rantai keulamaan di tanah Betawi dan Jawa Barat.

Pada 1834, 98 tahun dari kedatangan Habib Husein, lahir al ‘Allaamah Tuan Guru atau Syaikh Junaid Al-Betawi, Pekojan, yang diyakini banyak pakar, bahwa beliau adalah guru dari semua guru di Betawi, Kiprah guru Junaid di latar keilmuan, telah menjadikan poros Pekodjan sampai Kampung Sawah -tempat lahirnya Guru Mansur, ahli falak kenamaan, sebagai pusat keilmuan Betawi saat itu.

Tahun 1918 atau 84 tahun kemudian, dari tangan Junaid terlahir sejumlah ulama Betawi, di antaranya Tuan Guru Wan Abdulhalim (cucu pewakaf  tanah masjid tua Alma’mur, Tanah Abang yang dibangun pada tahun 1915 oleh seorang ulama dari garis keturunan Gusti Pangeran Ageng Samandi, Demak,  dimakamkan di kompleks Keramat Luar Batang, Pasar Ikan, Jakarta Utara) belasan tahun menjadi pengajar di masjid yang terletak bersebelahan dengan pasar regional Tanah Abang. Dan secara turun temurun, lahir Muallim Muhammad Nafe Rawa Belong-Kebon Sirih, Guru Abdurrahim Kebon Sirih, yang menancapkan pengaruhnya di Sumbawa NTB, dan Waingapu NTT.

Muallim Muhammad Radjiun, Pekojan, ayah dari KH. Abdurrahim Radjiun, adalah generasi berikutnya. Setelah menyunting Siti Chadidjah, seorang Syarifah Hadrami, Radjiun yang memboyong sejumlah pengetahuan keislaman dari Mekkah turut ambil bagian dalam upaya penanaman akidah di kalangan ummat, utamanya di kawasan Jakarta Pusat,  Barat hingga Kepulauan Seribu.

Kelahiran para ulama Betawi dari kawasan Timur Jakarta, masih menurut Prof. Dr. KH. Abdurrahim Radjiun,  dapat diurut dari benang merah salah seorang ulamanya : KH. Achmad Mursyidi -saudara kandung KH. Munzir Tamam, MA., Ketua MUI DKI saat ini. Setelah berguru kepada Muallim Marzuki, penerus Muallim Mirshod Klender -di sini, silsilah keguruan beliau segaris dengan ulama karismatik Bekasi, Jawa Barat, KH. Noer Alie. KH. Achmad Thahir Jam’an Cipinang Muara adalah guru berikutnya, yang mempertemukan garis keguruan beliau dengan KH. Ahmad Zayadi Muhajir Tanah 80, Klender. Dan untuk raih tingkat keilmuan yang lebih dalam, beliau lanjutkan berguru kepada Habib Abdullah bin Salim Kebon Nanas,  Habib Ali bin Husein Al Attas, Bungur –  Di sini, Mursyidi bertemu garis dengan Muallim Syafi’e Hadzami. Keguruan Mursyidi berlanjut kepada Alhabib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, Kwitang, yang menjadi muara dari hampir seluruh ulama Betawi sesudahnya.

            Tidak jauh berbeda dengan Prof. Dr. KH. Abdurrahim Radjiun, Alwi Shahab yang membahas tentang ulama Betawi di abad ke-19,  juga menyebut nama Syaikh Junaid Al-Betawi. Namun, ia lebih menekankan peran alim ulama  di Pekojan, Jakarta yang banyak menghasilkan ulama terkemuka pada abad ke-19 dan 20  yang  menjadikan Pekojan sebagai pusat intelektual Islam. Di antara ulama terkemuka tersebut yang lahir atau terdidik dari kawasan Pekojan, selain Syaikh Junaid Al-Betawi,  adalah muallim Radjiun, Kyai Syamun, guru Mansyur. Sedangkan  dari kalangan habaib yang lahir di Pekojan  adalah Habib Usman Bin Yahya yang memiliki murid terkemuka, yaitu Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi yang memiliki murid-murid terkemuka, yaitu KH. Abdullah Syafei  , KH. Tohir Rohili, dan muallim KH. Syafei Hadzami.

Sedangkan Prof. Dr. Yasmine Zaki Shahabi menyatakan bahwa dari berbagai tulisan tentang Betawi dikatakan orang Betawi merupakan masyarakat yang relegius. Betawi dan Islam merupakan dua sisi dari keping mata uang sampai saat ini, yang satu tak mungkin hadir tanpa yang lain, keduanya merupakan satu kesatuan dan ini tidak terlepas dari peran para ulamanya. Tidak heran jika sampai saat ini masyarakat Betawi pada umumnya masih menyekolahkan anaknya di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirikan dan dipimpin oleh ulama Betawi, seperti di Asy-Syafi`iyyah (didirikan oleh KH. Abdullah Syafei), Ath-Thahiriyyah (didirikan oleh KH. Tohir Rohili), Al-`Asyirotusysyafi`iyyah (didirikan oleh muallim KH. Syafei Hadzami), Al-Wathoniyah (didirikan oleh KH. Hasbiallah), Al-Husnayain (didirikan oleh KH. Kholil Ridwan), At-Taqwa, Bekasi (didirikan oleh KH. Noer Alie), An-Nida, Bekas (didirikan oleh KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dari), Az-Ziyadah ( didirikan oleh KH. Zayadi Muhajir), Al-Awwabin (didirikan oleh KH. Abdurrahman Nawi), dan lain-lain;  dengan satu harapan, agar masyarakat Betawi tidak tercerabut dari ke-Islamannya dan terus terjaga sampai generasi selanjutnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 − 12 =