Pada tanggal 11 Desember 2013 kemarin, melalui perusahaan konsultan PT. Perentjana Djaja, saya diundang ke Surabaya sebagai narasumber sebuah FGD yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPWS). Saya diundang karena BPWS akan mendirikan Islamic Centre Suramadu sehingga membutuhkan masukan dari pihak-pihak yang mengetahui konsepsi dan implementasi Islamic Centre. Selain saya, sebagai narasumber lainnya dari Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya yang merupakan masjid nasional yang beroperasi dengan konsep Islamic Centre.
Keberadaan BPWS sendiri tidak terlepas dari keberadaan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini, Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) yang diresmikan awal pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 dan diresmikan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009. Pembangunan Jembatan Tol Suramadu diharapkan akan mendorong percepatan pengembangan sosial ekonomi dan tata ruang wilayah-wilayah tertinggal yang ada di Pulau Madura.
Keberadaan BPWS ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pembentukan BPWS. Â Dan Pelaksana BPWS (Bapel BPWS) memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan pengelolaan, pembangunan dan fasilitasi percepatan kegiatan pembangunan wilayah Suramadu. Kegiatan pengelolaan dan pembangunan infrastruktur wilayah yang dilaksanakan Bapel BPWS dilaksanakan di 3 (tiga) kawasan, yaitu Kawasan Kaki Jembatan Sisi (KKJS) Surabaya (600 Ha), Kawasan Kaki Jembatan Sisi (KKJS) Madura (600 Ha) dan kawasan khusus di Utara Pulau Madura (600 Ha). Kawasan Kaki Jembatan Sisi Surabaya (KKJSS) dan Kawasan Kaki Jembatan Sisi Madura (KKJSM) dikembangkan untuk mendorong perkembangan ekonomi, sedangkan kawasan khusus di Utara Pulau Madura untuk pengembangan kawasan Pelabuhan Peti Kemas.
Sedangkan Islamic Centre Suramadu direncanakan berdiri di KKJSM yang masuk wilayah Bangkalan. Alasan pendirian Islamic Centre Suramadu di antaranya karena Masyarakat Madura menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Islam sehingga keberadaan Islamic Centre sangat dibutuhkan. Selain itu, keberadaan Islamic Centre Suramadu menjadi pengimbang dan filter dari dampak modernisasi dan industrialisasi yang akan tumbuh pesat di KKJSM. Â Jika Islamic Centre Suramadu yang dari gambarnya saja sudah menunjukan kemegahan dan kemodernannya ini berdiri, maka ia menjadi satu-satunya Islamic Centre di Indonesia yang dibiayai penuh oleh APBN, baik pendiriannya dan mungkin juga operasionalnya.
Namun, di FGD tersebut, salah satu yang saya jelaskan dan yang harus diperhatikan bahwa Islamic Centre, khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bisa diibaratkan seperti pisau: bisa bermanfaat untuk memotong apel atau lainnya atau bisa menyakiti orang lain. Islamic Centre bermanfaat jika memang dibangun karena berdasarkan kebutuhan masyarakat sekitar. Namun menjadi menyakitkan bagi masyarakat sekitar, terutama para pemilik dan pengelola lembaga-lembaga sekitar Islam Centre yang menjalankan fungsi-fungsi seperti yang dimiliki dan dijalankan oleh Islamic Centre tersebut. Contohnya: Islamic Centre mengadakan pendidikan TKA, TPA dan Diniyah, sementara sudah ada lembaga pendidikan sejenis di sekitar Islamic Centre tersebut. Dengan fasilitas pendidikan di kompleks Islamic Centre yang mewah dan biaya operasional yang sudah tersedia sehingga pungutan kepada peserta didik rendah atau tidak ada sama sekali tentu menjadi alasan kuat para orang tua memindahkan anaknya dari tempat pendidikan yang sudah ada ke Islamic Centre tersebut. Dampaknya jelas, lembaga-lembaga pendidikan sekitar bisa gulung tikar. Walau keberadaan Islamic Centre Suramadu akan dibangun di tempat sepi dan jauh dari pemukiman, namun jika tetap mengadakan pendidikan TKA, TPA, Diniyah atau sejenisnya, pertanyaannya, murid-murid yang belajar itu berasal dari mana? Tentu berasal dari pemukiman.
Sebagai solusinya, saya menyarankan agar Islamic Centre, umumnya di Indonesia ini, meminimalisir perannya sebagai operator, tetapi lebih berperan sebagai pemberdaya: menjadi fasilitator, katalisator atau inkubator. Karena jika menjadi operator, banyak lembaga sekitar dengan fungsi-fungsi yang dimiliki Islamic Centre akan gulung tikar. Ini berbeda dengan Islamic Centre di negara-negara yang umat Islamnya minoritas, maka keberadaannya sebagai operator sangat dibutuhkan sebab sangat sedikit operator yang sejenis tau malah tidak ada sama sekali. Contoh riilnya, jika Islamic Centre   mengadakan pendidikan, jangan langsung mendidik murid, tapi didiklah guru-guru dari lembaga pendidikan yang ada di sekitar Islamic Centre untuk meningkatkan kompetensi mereka, misalnya di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Masih banyak guru di daerah yang kalah dari murid-murdinya karena belum mampu mengoperasikan komputer dan masih buta dengan internet. Bukalah seluas-luasnya ruang dan fasilitas Islamic Centre yang ada untuk dimanfaatkan masyarakat  mengadakan kegiatan-kegiatan yang mereka organisir sendiri sehingga muncul rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat yang kuat terhadap Islamic Centre. Saya mendapat pelajaran ini dari beberapa Islamic Centre di Indonesia yang bangunannya megah namun tidak beroperasi secara maksimal bahkan ada yang menjadi tempat kambing merumput karena tidak dioperasikan sebab masyarakat sekitar tidak merasa butuh dan memiliki Islamic Centre tersebut.  Inilah salah satu alasan utama SK dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta tidak membolehkan Jakarta Islamic Centre (JIC) menjadi operator lembaga pendidikan formal karena dapat mematikan lembaga-lembaga sejenis di sekitarnya.












