JURUS KEPEPET (PART II)

0
253

Oleh : Dewi Setiowati

JIC – Yah, jurusan Sastra Indonesia adalah satu-satunya harapanku untuk bisa meneruskan kuliah. Sastra Jawa, atau Arab telah membuatku angkat tangan. Aku ndak paham bahasanya.

“Ehem ,” Pak Budiman berdehem dengan wajah sedikit tidak enak. “Permasalahannya adalah, di SMA kita ini, tidak ada atau belum ada jurusan bahasa, Anak-anak. Dan agar jurusan itu bisa ada di sekolah kita, kalian harus mengumpulkan minimal sepuluh siswa yang bersedia menjadi siswa jurusan bahasa dan budaya itu,” jelas Pak Budiman perlahan. Aku menatapnya tidak percaya.

“Sepuluh anak, Pak?” tanyaku retoris. Pak Budiman mengangguk. Aku menoleh ke arah Bunga yang sama terkejutnya denganku (mungkin, kalau saat itu aku sudah membaca novel Laskar Pelangi, aku tidak akan seterkejut itu). Aduh … aku harus membujuk, merayu minimal sembilan anak untuk mau memilih jurusan bahasa alias A4? Padahal aku tahu, sebagian besar siswa SMA ini, terserang ngantuk tiba-tiba setiap pelajaran Bahasa Indonesia.

“Alternatif lain, Dahlia pindah ke SMA di mana terdapat jurusan bahasa,” imbuh Pak Budiman. Harapku kembali membuncah. “SMA mana, Pak?” suaraku terdengar antusias, bahkan di telingaku sendiri. “SMA 6, 8, dan DeBritto,” jawab Pak Budiman. Aku mendesah, diikuti Bunga. Itu mah jalan yang lebih susah, batinku. SMA DeBritto jelas tidak mungkin kumasuki. SMA itu adalah SMA katolik swasta, khusus untuk para pemuda alias putra alias lelaki. SMA 6 atau 8? Keduanya termasuk SMA favorit se-DIY, tidak terjangkau oleh nilaiku.

Jadi … kembali tidak ada pilihan. Aku harus mendapatkan sembilan orang anak. Aku ingat

saat itu, ketika Maghrib menjelang, aku berpikir sambil memandang langit-langit kamar. Aku kemudian menulis semua cara yang mungkin, harus aku lakukan untuk mendapat sembilan siswa itu. Ini dia daftar rencanaku:

  1. Mengajak teman sekelas, satu per satu atau kelompok,
  2. Menempel informasi di setiap kelas seperti saran Bunga,
  3. Meminta tolong Pak Budiman agar semua wali kelas satu berjumlah tiga orang, mengumumkan kemungkinan dibukanya jurusan A4, jurusan bahasa dan budaya,
  4. Sowan ke bapak ibu wali kelas satu agar mendapat dukungan,
  5. Harus mau dan tidak malu mendatangi kedua kelas satu yang lain untuk mencapai kuota minimal sembilan siswa itu sepuluh termasuk aku,
  6. Mendatangi kepala sekolah dan guru pendamping siswa. Aku butuh bapak kepala sekolah mengumumkan kemungkinan dibukanya jurusan A4 di saat upacara bendera di sekolah,
  1. Harus berani datang ke kakak-kakak pengurus OSIS, Pramuka, basket, dan ekstra kulikuler lainnya. Aku berharap, dengan begitu, setidaknya informasi tentang inginku itu bisa dimuat di mading sekolah kami, dan tersebar luas,
  2. Menyebarkan informasi mengenai jurusan yang bisa dipilih ketika kuliah nanti, dan peluang kerja yang ada bagi siswa jurusan A4. Untuk itu, aku harus banyak bertanya ke Pak Budiman.

 

Setelah poin kedelapan, aku teringat sesuatu. “Aku melupakan satu cara ampuh di depan mata,” bisikku. Ibu sedang menjahit sore itu, menyelesaikan pesanan baju.

“Ibu doakan, Dahlia bisa mengajak sembilan anak lain itu, dan masuk Sastra UGM,” kedua mata ibu berkaca. Aku ikut haru juga, namun tak bisa berkata-kata. “Sing rajin tahajud, Nduk,” pelan Ibu mengingatkanku. Langkahku kembali ke kamar terhenti sejenak waktu itu. Aku mengangguk malu. Akhir-akhir itu, aku memang sempat melupakan shalat sunat utama itu.

Terima kasih sudah mengingatkan Dahlia, Bu. Dahlia tidak saja akan tahajud. Dahlia insya Allah juga akan shaum Senin Kamis, janjiku di dalam hati. Yah, untuk keinginan yang tidak sederhana itu, aku harus mau berkorban dan membayar harganya.

Dengan dibantu Bunga dan Pak Budiman, satu per satu rencanaku terlaksana. Aku masih tak percaya ketika berhasil mengumpulkan sembilan siswa lainnya dan akhirnya, jurusan A4, jurusan bahasa dan budaya pun dibuka untuk pertama kalinya di sekolah kami. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu ya Allah. Sampai sekarang, aku masih mengenang, takjub mengingat, 50% lulusan jurusan itu, kemudian berhasil masuk perguruan tinggi impian mereka, termasuk aku di dalamnya. Yah, aku berhasil mencatatkan diri sebagai mahasiswi jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Terima kasih untuk semua karunia itu, ya Alloh. Jurus kepepet, ternyata ampuh juga. Wallahu’alam bish showab.

Sumber: Muslimah Inspiring Stories

Pusat Data JIC

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × 3 =