KISAH PERJUANGAN BERDIRINYA PERGURUAN ISLAM DI BETAWI

0
412

Perguruan Islam Betawi

JICPada awal abad ke-20 sudah berdiri perguruan Islam modern di Jakarta. Para murid tidak lagi duduk di tikar, tapi di kelas. Dimulai dengan berdirinya Jamiatul Kheir (1901) di Pekojan, kemudian Tanah Abang. Disusul Al-Irsyad, dan kemudian Unwanul Falah di Kwitang. Laksana jamur di musim hujan, kemudian berdiri perguruan Al-Marzukiyah di Rawabangke (kini Rawabunga Jatinegara), Al-Mansyuriah (Jembatan Lima, Jakarta Barat), Al-Islamiyah (Bali Matraman).

Boleh dikata pada masa itu madrasah dan perguruan Islam terdapat hampir di tiap kampung. Sementara, dengan bergairah para pemuda Betawi menuntut pendidikan di berbagai negara di Timur Tengah. Seperti KH Abdul Madjid (1887) belajar agama pada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki di Masjidil Haram. Ia kemudian menjadi salah satu pimpinan Masyumi di Jakarta. Murid-muridnya tersebar di berbagai tempat. Seperti KH Tabrani (Paseban), KH Abdul Rajak Ma’mun (Tegal Parang-Buncit), dan KH Nahrawi (Kuningan).

Guru Mansyur Ditembaki NICA

KH Abdullah Syafi’ie, penyokong Masyumi pada Pemilu 1955, pada usia 17 tahun sudah mendapat Soerat Pemberitahoean boleh mengajar di langgar partikulir. Pada masa gagahnya, ia berdakwah keliling Jakarta dengan motor merk BSA. Lalu meminta izin pada ayahnya untuk menggunakan kandang sapi sebagai kegiatan dakwah. Ulama seangkatannya, KH Tohir Rohiri, pendiri perguruan Attahiriyah di Bukitduri Tanjakan, berdakwah keliling dengan naik sepeda. Ada ratusan ulama muda Betawi yang dihasilkan perguruan Syafiyah dan Tahiriyah. Sementara, Habib Ali Kwitang, guru dari para kiai Betawi, berjualan kain di Pasar Tanah Abang.

Banyak ulama Betawi lulusan Makkah dan Madinah. Seperti H Darif (Klender), guru Mansyur yang masjidnya ditembaki NICA karena memasang bendera merah putih saat revolusi, guru Marzuki di Rawabunga yang kegiatannya kini diteruskan seorang putranya. Di antara ulama paling terkenal adalah Habib Ustman Bin Yahya, lahir di Pekojan 1822 M. Ibunya, Aminah Binti Syekh Abdurahman Al-Misri, adalah putra seorang ulama Mesir. Habib Ustman bermukim di Makkah selama tujuh tahun, berguru pada Sayid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Syafi’iyah di Makkah.

Mufti Betawi Berguru ke Ulama Dunia

Masih belasan lagi guru-gurunya, baik di Makkah, Madinah, Hadramaut, Tunisia, Aljazair, Turki, maupun Siria. Ia kemudian diangkat sebagai mufti Betawi menggantikan Syekh Abdul Gani. Ia juga penulis produktif. Menurut cicitnya, MA Alaydrus (73 tahun), Habib Ustman yang meninggal dalam usia 93 tahun telah mengarang kitab sebanyak 116 judul.

Hingga kini dapat dijumpai di Perpustakaan Nasional. Yang terkenal antara lain Sifat 20, yang masih menjadi bacaan di majelis taklim Betawi. Kitab-kitabnya itu dicetak di percetakannya sendiri, Percetakan Batu. Karena belum menggunakan klise, tapi batu. Ketika hendak meninggal ia berpesan jangan dimakamkan di pemakaman khusus tersendiri, tapi di TPU Tanah Abang. Dia juga berwasiat agar tidak diadakan acara khaul khusus untuk dirinya.

Sumber : republika.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

5 × three =