PadaIdul Adha 1434 H, tahun ini, Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta menyediakan sebanyak 43.845 hewan qurban. Dengan rincian: 9.387 sapi, 116 kerbau, 32.624 kambing, dan 1.718 domba. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, Ipih Ruyani, mengatakan bahwa hewan qurban tersebut akan disebar di 1.400 tempat penampungan hewan. Untuk memastikan hewan-hewan tersebut sehat dan aman untuk dikonsumsi, petugas gabungan Dinas Kelautan dan Perikanan DKI akan melakukan pemeriksaan hewan qurban mulai H-14. Ipih Ruyani memastikan bahwa kesehatan hewan qurban di DKI Jakarta tahun ini terjamin karena sudah melakukan rapat koordinasi antar provinsi yang menjadi distributor hewan. Selain itu,juga akan dilakukan pemeriksaan antraks di 200 lokasi di seluruh wilayah DKI Jakarta. Pemeriksaan hewan dilakukan tidak hanya di tempat penampungan hewan, tetapi juga dilakukan saat akan dilakukan pemotongan hewan. Tim gabungan tersebut akan mendapat bantuan dari mahasiswa IPB sebanyak 300 orang dan 100 orang dari PDHI.
Untuk lebih menjamin lagi,Kepala Bidang Peternakan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Sri Hartati menerangkan bahwa pemeriksaan kesehatan hewan(ante mortem) meliputi suhu badan, mata, hidung, dan gigi. Sampel darah hewan juga akan diambil untuk mengetahui adanya penyakit antraks atau tidak. Pemeriksaan hewan qurban akan dimulai pada H-14 dan diintensifkan pada H-10. Pemeriksaan sendiri dilakukan hingga H+3. Selain ante mortem, juga dilakukan cek daging yang sudah dipotong (post mortem). Langkah ini dilakukan Bidang Peternakan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta untuk memastikan daging yang dibagikan kepada warga sehat dan baik dikonsumsi. Untuk mengantisipasi penyakit hewan sejak dini, Bidang Peternakan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta juga akan melihat kelengkapan administrasi hewan dari daerah asal seperti surat keterangan kesehatan hewan (SKKH). Jika ditemukan hewan yang tidak dilengkapi SKKH, akan dikembalikan ke tempat asal. Lalu bila ditemukan hewan yang berpenyakit, tidak boleh dijual dan harus dipisahkan dengan yang sehat supaya tidak menular.
Namun, menurut saya, kebijakan dan langkah yang diambil oleh Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta dan Bidang Peternakan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta yang tersebut di atas belumlah cukup. Pendekatan yang digunakan hanyalah pendekatan kesehatan, sedangkan pendekatan syariat belum tercakup di dalamnya.
Qurban bukanlah semata-mata persolan hewan yang sehat, tetapi juga harus sesuai syariat. Dengan kata lain, sering terjadi hewan qurban memang sehat, dagingnya juga sehat untuk dikonsumsi, tapi dalam padangan syariat, daging hewan tersebut haram untuk dikonsumsi. Apa contoh kasusnya? Salah satunya yang sering terjadi adalah hayyat mustaqirrah setelah penyembelihan, yaitu hewan yang sudah disembelih masih bergerak melebihi gerak hewan sembelihan biasa karena masih ada kehidupan yang utuh.Konsekuensinya, jika hewan itu mati kehabisan darah, tercekik, atau sebab lainnya yang bukan sembelihanmaka daging dari hewan itu haram untuk dimakan karena dihukumi sebagai bangkai. Bagi orang awam, pada beberapa kasus hayyat mustaqirrah setelah penyembelihan susah untuk dikenali. Hewan yang bergerak-gerak setelah pemotongan dianggap sesuatu yang biasa saja, padahal mungkin hewan tersebut termasuk hayyat mustaqirrah. Belum lagi kasus-kasus yang lain, seperti hewan qurban dimiliki dengan cara kepemilikan yangtidak halalseperti dibeli dengan uang hasil riba, hewan tidak dipotong ke arah kiblat, dan lain-lain. Hal ini telah menjadi keprihatian ulama Betawi sejak lama, di antaranya adalah allamah bidang fiqih dari Betawi, mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami, danulama Betawi dari Rawa Belong, KH. Abdul Mafahir. Beliau berdua menyusun kayfiat atau tata cara penyembelihan hewan qurban sebagai solusinya.
Maka, saya berpendapat agar bidang dari dinas-dinas terkait melibatkan para ulama melaui MUI Provinsi DKI Jakarta dalam pemeriksaan ante mortem dan pemeriksaan post mortem agar penyelenggaraan qurban terpenuhi secara higenis dan syar`i. Bila perlu, dibuat sebuah komite pengawas qurban yang keberadaannya berada di seluruh kelurahan di DKI Jakarta. Gagasan saya ini sebenarnyamirip dengan gagasan Kader Kesehatan Hewan Qurban yang dilontarkan oleh Drh. Amir Mahmud, dokter hewan yang sangat memahami persoalan hewan qurban dari sisi higenitas dengan pendekatan HACCP. Dalam gagasanya, Drh. Amir Mahmud melibatkan remaja dan pengurus masjid yang masjidnya setiap tahun menjadi tempat pemeliharaan dan pemotongan hewan qurban dadakan. Sedangkan dalam gagasan saya ini, tidak cukup hanya melibatkan remaja dan pengurus masjid, tetapi ulama juga harus terlibat.
Peran ulama dalam Komite Pengawas Qurban ini bukan hanya sekedar memberikan arahan, masukan, mengontrol dan memeriksa pada tahap ante mortem dan post mortem saja, tetapi juga dapat menjadi penengah antara penyelengara dengan petugas kesehatan. Contoh nyata, pada Idul Adha tahun lalu, di sebuah tempat pemotongan hewan qurban dadakan yang berada dilingkungan masjid di daerah Jakarta Utara, terjadi perdebatan antara panitia penyelenggara qurban dengan seorang dokter hewan dari PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia). Perdebatan ini tentang seekor sapi yang merupakan qurban dari seorang pejabat yang menurut dokter hewan tersebut tidak layak untuk dipotong karena sedang tidak sehat. Namun panitia penyelenggara bersikukuh agar sapi tersebut harus tetap dipotong dengan alasan menurut syariat sudah terpenuhi, yang penting sapi tersebut dipotong walau dagingnya tidak usah dibagikan untuk dikonsumsi. Si dokter tersebut pun mengalah, hewan tetap dipotong walau si penyelenggara berjanji dagingnya tidak dibagikan untuk dikonsumsi, tapi tetap saja pada akhirnya penyelenggaratidak dapat mencegah orang-orang yang mengambil daging dari qurban yang tidak sehat tersebut untuk dibawa pulang dan dikonsumsi. Hal ini sebenarnya tidak akan terjdi danbisa diselesaikan jika ada ulama yang memiliki kompetensi turun tangan untuk memberikan pemahaman terhadappanitia penyelenggara qurban tersebut.
Oleh: H. Rakhmad Z. Kiki, S.Ag, MM