MANUSIA, FITRAH DAN PERADABAN

0
259

Ungkapan Arab menyatakan bahwa manusia adalah hayawaanun naathiq, hewan yang berbicara. Jika mengikuti ungkapan ini, maka hakekat manusia sama saja dengan hakekat hewan yang terdiri atas kulit, daging, organ-organ dalam, darah, urat, otot, tulang dan cairan. Bedanya, manusia bisa berbicara sedangkan hewan tidak. Apakah benar demikian? Apakah hanya berbicara saja yang membedakan manusia dengan hewan? Apakah hanya sebatas itu hakekat manusia? Nebukadnezar, Raja Babilonia, pernah bereksperimen dengan dirinya sendiri untuk mendapatkan jawaban siapa manusia itu? Ia mencoba menjadi binatang selama tujuh tahun, hidup di alam bebas dengan membayangkan dirinya sebagai kambing dengan menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuhnya dan memakan rumput. Tujuh tahun, tentu bukan waktu yang pendek. Tapi, ia kemudian menyadari bahwa dia manusia. Ia tahu jika ia bukan binatang, ia manusia yang memiliki kelebihan dari binatang. Ia kemudian kembali menjadi raja.

Ungkapan Arab menyatakan bahwa manusia adalah hayawaanun naathiq, hewan yang berbicara. Jika mengikuti ungkapan ini, maka hakekat manusia sama saja dengan hakekat hewan yang terdiri atas kulit, daging, organ-organ dalam, darah, urat, otot, tulang dan cairan. Bedanya, manusia bisa berbicara sedangkan hewan tidak. Apakah benar demikian? Apakah hanya berbicara saja yang membedakan manusia dengan hewan? Apakah hanya sebatas itu hakekat manusia? Nebukadnezar, Raja Babilonia, pernah bereksperimen dengan dirinya sendiri untuk mendapatkan jawaban siapa manusia itu? Ia mencoba menjadi binatang selama tujuh tahun, hidup di alam bebas dengan membayangkan dirinya sebagai kambing dengan menanggalkan seluruh kain yang melekat di tubuhnya dan memakan rumput. Tujuh tahun, tentu bukan waktu yang pendek. Tapi, ia kemudian menyadari bahwa dia manusia. Ia tahu jika ia bukan binatang, ia manusia yang memiliki kelebihan dari binatang. Ia kemudian kembali menjadi raja.

Manusia, yang diwakili oleh Nebukadnezar, memang telah menyadari bahwa mereka bukanlah binatang, mereka adalah manusia. Namun, pertanyaan yang timbul kemudian, mana yang disebut manusia yang sebenarnya itu yang merupakan pembeda dan lebih hebat dari binatang? Jika tangan, monyet pun mempunyai tangan; jika hidung, hidung gajah lebih hebat dari hidung manusia; dan jika kaki, kaki jerapah lebih panjang dan kuat dari kaki manusia. Lalu apa?

Diwakili oleh para pemikir atau filusuf Yunani, seperti Plato ((477-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), dua filosof terkemuka dari Yunani, mereka menyatakan jika manusia itu bukan jasad, manusia itu psyiche, ruh. Namun, walau keduanya sependapat bahwa mansuai itu ruh, keduanya berbeda pendapat pada tempat ruh bersemayam dan fungsi ruh.

Islam kemudian datang dan membenarkan pendapat kedua filosof ini bahwa hakekat manusia adalah ruh. Mengenai hal ini, Allah SWT ingatkan dalam ayat-Nya berikut ini: “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS Al-Insaan, 76:1). Seorang filosof, Teilhard de Chardin mengatakan,“We are not human beings having a spiritual experience, we are spiritual beings having a human experience”.

Para pemikir Islam terkemuka kemudian menjelaskan tentang asal mula ruh bahwa ruh seluruh manusia sejak Nabi Adam as. Sampai manusia terakhir yang dilahirkan berasal dari ruh Nabi Muhammad SAW. Dari Ruh beliau yang merupakan cahaya-Nya inilah, Allah SWR menciptakan semua ruh di alam Lahut. Menurut Syaikh Abdul Qadir Jailani dari alam Lahut ini, ruh-ruh diturunkan ke alam yang terendah, yaitu jasad. Sebagaimana firman Allah swt.,”Kemudian Kuturunkan manusia ke tempat yang terendah.” Proses turunnya adalah setelah ruh diciptakan di alam Lahut, ruh kemudian diturunkan ke alam Jabarut dan dibalut dengan cahaya Jabarut. Sebagai pakaian lapis kedua ini, ruh disebut dengan sebutan ruh Sultani. Selanjutnya, ruh diturunkan ke alam Malakut dan dibalut dengan cahaya Malakut yang disebut ruh Ruhani. Kemudian, ruh diturunkan lagi ke alam Mulki dan dibalut dengan cahaya Mulki. Lapis keempat dari ruh ini disebut ruh Jismani. Setelah jasad terbentuk, ruh masuk ke dalam jasad (ruh Jismani), ruh itu meliputi jasad. Jasad pertama yang dimasukkan ruh adalah jasad Nabi Adam as. sehingga ia dijuluki Abu Basyar, Bapak Jasad Manusia sedangkan Rasulullah saw. dijuluki Abu Insan, Bapak Manusia atau Bapak Ruh.

Ruh yang fitrah ini kemudian ditiupkan kedalam jasad manusia, maka ketika manusia terlahirkan, lingkunganlah yang kemudian mengotori dirinya dan dia pun larut dalam kekotoran ini, menjadi binatang dalam sifat dan tingkah laku. Ia “memakan” uang, seperti kambing memakan rumput. Rumput siapapun tanpa izin, disikat. Ia menggunakan tangannya seperti monyet yang selalu tidak puas dengan yang ia miliki. selalu dan selalu mengambil hak orang lain.

Maka, Ramadhan adalah bulan pencucian sifat dan tingkah laku kebinatangan. Mereka yang sungguh-sungguh, akan kembali kepada fitrah, kembali kepada penciptaan awalnya sebagai ruh yang suci, tanpa dosa dan tanpa sifat serta tingkah laku kebinatangan, layaknya seorang bayi. Rasulullah SAW bersabda :“Barang siapa yang melaksanakan ibadah puasa (shaum) selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya.” (Hadits Riwayat Imam Bukhari).

Akhir kalam, peradaban adalah pucuk-pucuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, dari generasi ke generasi, dari Nabi Adam as. sampai sekarang. Wujud fisik peradaban memang tidak sama, sejak peradaban Mesopotamia, Mesir, Yunani, Romawi, Islam dan kini peradaban Barat sedang berkuasa. Islam pernah memimpin peradaban dunia yang dirintis oleh sosok yang memiliki jiwa yang terjaga dari segala kekotoran dan noda, jiwa yang sangat paripurna diterangi begitu kuatnya oleh Nur Ilahi, Nabi Muhammad SAW. Dengan jiwa yang terjaga dan bercahaya dengan cahaya Nur Ilahi inilah, beliau selalu dalam keadaan fitrah. Kefitrahan ini tercermin dalam kemulian akhlaknya yang tiada banding dan tiada tanding, tiada sifat dan tingkah laku kebinatangan. Maka, sejarah menyaksikan dan membuktikan bahwa beliau dapat membangun peradaban Islam dengan kemulian akhlaknya, bukan dengan kekayaan, kekuatan militer, dan kekuasaan. Dan sejarah pun menyaksikan kehancuran peradaban Islam juga karena tidak adanya kefitrahan yang termanifestasikan dari akhlak yang luhur dari para pemimpin-pemimpin Islam. Keluarga Besar Jakarta Islamic Centre (JIC) mengucapkan selamat kembali ke fitrah, Minal `Aidin Wal Faizin. ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Seksi Pengkajian JIC

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here