MARI BELAJAR IHSAN!

0
180

Relijiusitas dan spiritualitas adalah dua hal yang berbeda, tidak serupa dan tidak sama. Relijiusitas terpaku pada simbol-simbol dan praktik-praktik ritual keagamaan, sedangkan spritualitas merupakan inti dari keagamaan itu sendiri, yaitu keterhubungan seseorang dengan Allah SWT yang berdampak kepada akhlak. Idealnya menurut Islam, seorang yang relijius adalah seorang yang spiritualistik.

Relijiusitas dan spiritualitas adalah dua hal yang berbeda, tidak serupa dan tidak sama. Relijiusitas terpaku pada simbol-simbol dan praktik-praktik ritual keagamaan, sedangkan spritualitas merupakan inti dari keagamaan itu sendiri, yaitu keterhubungan seseorang dengan Allah SWT yang berdampak kepada akhlak. Idealnya menurut Islam, seorang yang relijius adalah seorang yang spiritualistik.

Namun pada kenyataannya, seperti di Indonesia, sering kita saksikan relijiusitas seseorang tidak sama dengan spiritualitasnya. Contoh, seseorang yang dikenal sebagai ustadz atau tokoh Islam tapi melakukan tindak korupsi atau menerima suap. Contoh lainnya adalah fenomena umrah dan haji.

Setiap tahun di Indonesia, ratusan ribu orang melaksanakan umrah dan haji. Bahkan untuk haji, setiap tahun kuota haji tidak mencukupi memenuhi kebutuhan umat untuk melaksanakan haji sehingga orang harus menunggu sampai bertahun-tahun. Namun, sampai akhir tahun 2012, Indonesia masih menepati urutan pertama sebagai negara paling korup di Asia Tenggara, padahal jama`ah umrah dan haji Indonesia merupakan terbesar dari negara-negara di Asia Tenggara bahkan di dunia. Ironisnya, pada beberapa kasus, para pejabat yang baru saja pulang melaksanakan umrah atau haji ditangkap dan dipenjarakan karena kasus korupsi. Jadi, umrah dan haji di Indonesia yang merupakan bentuk relejiusitas belum berdampak kepada spriritualitas bangsa ini yang nota bene mayoritas beragama Islam. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi?

Ulama, khususnya ulama sufi, telah mewarning umat Islam tentang krisis ihsan yang dapat menimbulkan malapetaka. Jika pilar penopang Islam itu ada tiga, yaitu Islam, iman dan ihsan, maka yang paling banyak diajarkan kepada umat selama ini hanya Islam dan iman, sedangkan ihsan sangat jarang diberikan. Pendidikan ihsan yang komprehensif bahkan nyaris tidak ada dalam kurikulum pendidikan agama Islam dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Padahal, tanpa pemahaman dan penghayatan ihsan yang baik dan menyeluruh, mustahil seorang muslim mampu menjadi sosok yang spiritualistik dan saleh secara individu maupun secara sosial. Begitu pentingnya ihsan sebab pilar ketiga ini sangat terkait erat dengan spiritualitas seorang muslim karena makna ihsan sendiri adalah seseorang beribadah kepada Allah SWT seakan-akan ia melihat atau dilihat Allah SWT. Dengan kata lain, seorang yang ihsan merasa hidupnya selalu melihat atau dilihat Allah SWT.

Jika para politikus dan pejabat kita yang muslim telah menjadi sosok-sosok yang ihsan, maka kasus-kasus suap dan korupsi tidak akan menimpa mereka lagi. Hal ini harus segera menjadi perhatian semua pihak, terutama dunia pendidikan yang harus segera mengambil langkah untuk menjadikan ihsan masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Selain itu, media massa perlu terus-menerus menayangkan sosok-sosok ihsan yang dapat memberikan pendidikan dan pelajaran bagi politikus, pejabat dan umat bahwa bersikap ihsan bukan hal yang sulit untuk dikerjakan dan bersikap ihsan justru memberikan keuntungan di dunia maupun di akhirat. Misalnya, masih segar dalam ingatan kita tentang kisah OB Agus Chaeruddin. Di tengah kasus-kasus yang mendera politikus, pejabat dan tokoh Islam akhir-akhir ini, kisahnya perlu saya ulang di sini karena sangat inspiratif dan menjadi pembelajaran bagi siapa saja yang ingin menyempurnakan keihsanannya.

Dilaporkan oleh beberapa sosial media dan media massa tentang Agus Chaeruddin (35 tahun). Pria yang taat beribadah yang berprofesi sebagai office boy (OB) ini menunjukkan bahwa hidup merasa selalu diawasi dan dilihat Tuhan tentu melahirkan kejujuran, sedangkan kejujuran adalah modal untuk hidup yang utama.

“Kejadiannya pada 14 Agustus 2012. Di bulan suci Ramadhan, saya menemukan uang 10 bundel pecahan Rp 100.000 di tempat sampah bawah teller. Masya Allah, apa itu!” ujar pria yang disapa Agus ini dengan mata memerah.

Melihat uang itu Agus tak silap mata. Dia pun sama sekali tak menyentuh uang itu. “Saya langsung teriak memanggil satpam,” jelas Agus yang sudah bekerja 3 tahun di Bank Syariah Mandiri (BSM), Bekasi. Agus yang bekerja sebagai karyawan koperasi BSM mengaku seluruh tubuhnya bergetar. Ia pun berteriak memanggil satpam. “Ini pak ada uang,” tuturnya.Sebenarnya bisa saja dia mengambil uang yang tergeletak begitu saja di tempat sampah. Di bank itu pun hanya tinggal dia dan satpam. Tak ada yang tahu soal uang yang sudah terbuang itu.

“Itu bukan rezeki saya Mas, itu hak kantor. Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui. Itu hak Bank Syariah Mandiri. Yang menjadi rezeki saya, apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, apa yang saya hirup itu rezeki saya,” jelas Agus yang bercerita sambil gemetar ini. Uang Rp 100 juta yang ditemukan Agus itu bukan uang nasabah. Uang itu milik BSM yang tergeletak karena kekhilafan teller. Beruntung ada Agus yang menyelamatkan uang itu.

“Saya bersyukur bisa bekerja di bank ini,” tutur pengagum Khalifah Umar bin Khaththab ini.

“Allah Maha Melihat,” kata pria bergaji Rp 2,2 juta ini perbulannya.

Ya, Allah Maha Melihat adalah kalimat kunci dari perbuatan mulia pria sederhana ini. Ia adalah manusia yang paling beruntung karena telah sampai pada derajat ihsan, dirinya merasa selalu dilihat oleh Allah SWT, qalbunya selalu terhubung kepada-Nya, Allah SWT selalu bersama dia. Jika seorang Agus Chaeruddin bisa, mengapa kita tidak bisa? ***

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Koordinator Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

eleven − six =