MEMAHAMI KARAKTERISTIK MASYARAKAT INDONESIA DALAM BERDAKWAH

memahami-karakteristik-masyarakat-indonesia-dalam-berdakwah

MEMAHAMI KARAKTERISTIK MASYARAKAT INDONESIA DALAM BERDAKWAH

Oleh : Ustadz Agus Handoko, M.Phil

JIC- Setidaknya ada tiga hal yang sangat penting dalam membuat pemetaan dan melakukan misi dakwah yaitu faktor psikologi, kondisi sosial budaya masyarakat dan performance. Salah satu tujuan dalam misi dakwah adalah untuk menyelesaikan permasalahan umat. Peletakkan prioritas merupakan salah satu cara memahami metode dalam bermasyarakat dan berdakwah berdasarkan kedekatan dan kemudahan dalam perbaikan dan pembangunannya, oleh karena hal ini merupakan tempat ijtihad, maka ia sama sekali bukan hal yang bersifat qath’iy (tidak bisa berubah). Wahyu dan Akal dianugerahkan oleh Allah Swt. untuk manusia sebagai petunjuk pencarian jati diri yang hakiki dan pengajak manusia kepada jalan kebenaran sesuai dengan fitrahnya. Fitrah merupakan dasar karakteristik manusia dalam memahami pesan-pesan yang tekstual maupun kontekstual. Perbedaan pandangan dalam memahami pesan-pesan al-Quran akan muncul pada setiap muslim, suatu kewajiban bagi seorang muballigh untuk menyatukan visi dan misi dakwah serta menyampaikannya ke tengah-tengah masyarakat tanpa harus melihat perbedaannya tapi kesamaannya dalam menegakan agama Allah yang “rahmatan lil ‘alamin“.

Dalam hal ini suatu persoalan besar bagi pribadi muslim bagaimana dapat mengaplikasikan Islam sebagai agama yang “rahmatan lil ‘alamin” ditengah-tengah masyarakat Indonesia yang notabenenya heterogen. Suatu keniscayaan, masyarakat akan selalu menunggu dan mendambakan Islam yang damai. Namun itu semua akan menjadi sia-sia, jika pribadi muslim “buta” terhadap peta dakwah masyarakat setempat.

Kenali Masyarakat Setempat

Indonesia merupakan Negara Kesatuan Republik yang berasaskan Pancasila dengan jumlah penduduknya sekitar 273.879.750 jiwa (tahun 2022)[1], memiliki berbagai suku dan budaya serta keyakinan. Islam pun sebagai agama yang dominan bagi masyarakat Indonesia, namun Islam masuk dan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia dari perjuangan dan jihadnya para da’i yang memahami medan dakwah dengan cara akulturasi budaya masyarakat setempat dengan memasukkan nilai-nilai Islam tanpa dengan paksaan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw. sehingga Islam dapat diterima dan berkembang secara luas.

Tantangan dalam berdakwah di Indonesia sangatlah kompleks, karena masyarakat Indonesia memiliki karakteristik budaya dan adat istiadat masing-masing serta pemahaman yang sangat minim terhadap ajaran Islam.  Contoh di tanah Jawa sebelum berkembangnya Islam, masyarakatnya memiliki budaya yang patrialistik, seorang da’i tidak dapat berdakwah tanpa adanya izin dari sesepuh daerah tersebut. Apa yang harus dilakukan seorang da’i? Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh seorang da’i, sebagaimana yang dilakukan oleh para “Wali Songo” pada saat itu, adalah pertama, dengan memasukkan nilai-nilai Islam kedalam budaya mereka, seperti memasukkan cerita Islam dalam pewayangan dan kedua, membuktikan kebenaran ayat-ayat al-Quran dengan “ilmu kanuragan”. Hal yang kedua dilakukan oleh para “Wali Songo” karena masyarakat Jawa pada saat itu masih sangat kuat terhadap ilmu-ilmu hitam yang sumbernya dari setan, seperti sihir, santet dan sebagainya. Mungkin konteks “ilmu kanuragan” pada zaman sekarang adalah dengan menguasai dan memiliki teknologi informasi yang menjadi pusat perhatian masyarakat.

Berdasarkan tempat berdakwah terbagi menjadi dua, yaitu internal dan external. Internal yaitu dakwah di tempat sendiri dengan objek diri sendiri dan keluarga. Sedangkan external adalah dakwah di tempat orang lain dengan objek masyarakat sekitar khususnya dan masyarakat luas umumnya. Setiap muballigh seyogyanya memahami dahulu medan dakwah yang akan digarap, salah satu contoh untuk memahami hal tersebut dengan cara bersilaturahmi dengan orang-orang di sekitar tempatnya masing-masing. Dalam berdakwah juga di kenal istilah amalan secara infirodi dan ijtima’i. Infirodi yaitu amalan secara individu sedangkan ijtima’i secara berkelompok (berjamaah). Secara Ijtima’i bisa juga pada saat sekarang melalui ormas-ormas Islam, lembaga-lembaga dakwah, Pondok Pesantren dan bisa juga partai-partai politik yang berasaskan Islam. Para da’i di anjurkan untuk mengikuti tertib-tertib dan arahan-arahan yang di sepakati guna menjalankan dakwah, misalnya salah satu kelompok dakwah yang disebut “Jamaah Tabligh” berpusat di India-Pakistan-Bangladesh, kemudian berkembang pesat di Indonesia yang memiliki enam prinsip yang harus dilakukan oleh para muballigh yaitu : ketauhidan, shalat lima waktu secara berjamaah, selalu mengingat Allah dengan dzikir, menghormati dan khidmat kepada kedua orangtua, menghargai sesama muslim dan mengajak kepada jalan yang lurus dengan cara (khuruj fi sabilillah).[2] Menghadapi segala kesulitan dengan sabar, jangan menyinggung masalah politik, khilafiyah (perbedaan pendapat di kalangan ulama), status sosial, dan derma sumbangan dalam berdakwah. Tidak boleh menyinggung masalah politik dan khilafiyah karena membicarakan hal tersebut, bisa menimbulkan perdebatan dan perpecahan di antara jamaah dan masih banyak arahan-arahan lainnya. Medan dakwah yang diprioritaskan dalam membina umat adalah masyarakat terdekat dimulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga kemudian masyarakat sekitar sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran surat at-Tahrim : 6

Menurut KH Tolhah Hasan, pada tahun 1990-an ia pernah terjun ke daerah NTT di mana Islam merupakan minoritas dan banyak dari mereka kurang faham ajaran-ajaran agama. Problem yang lain terjadi di Batam dan Riau sebagai daerah yang kaya akan sumberdaya alam. Daerah tersebut mayoritas agama Islam dan aktivitas keagamaannya tumbuh dengan baik. Daerah ini sedang berproses dari daerah agraris menjadi daerah industri. Jika masyarakat lokal tidak disiapkan SDM-nya, suatu saat akan tersingkir oleh pendatang karena tak siap bersaing seperti yang terjadi pada masyarakat Betawi di Jakarta. Perbedaan masalah tersebut menimbulkan perbedaan pendekatan dalam dakwah. Jika di NTT dibutuhkan para da’i yang bisa memberi ajaran agama pada masyarakat, sementara di Batam dan Riau, dibutuhkan strategi untuk meningkatkan SDM mereka. Kalau tidak memiliki visi dakwah, tak jelas untuk apa dakwah itu. Bahwa masyarakat bersifat dinamik sesuai dengan perkembangan zaman, karena itu dakwah juga harus dinamik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jika suatu ajaran agama tak lagi mampu menyelesaikan problematika yang dihadapi masyarakatnya, maka ia akan tenggelam. Hal tersebut pernah terjadi pada masyarakat Yunani yang dulu merupakan pusat peradaban dunia, demikian juga umat Islam pernah berjaya selama tujuh abad. Namun akhirnya mengalami kemunduran karena mereka tak mampu menjawab tantangan yang ada. Jika ingin tetap hidup, maka suatu agama harus mampu menjawab tantangan zamannya. Disinilah esensi pelatihan dan penguasaan medan dakwah tersebut. Bahwasanya dakwah merupakan sebuah aktivitas yang secara langsung menyentuh masyarakat yang memiliki dinamika luar biasa. Sangat penting bagaimana pendekatan dakwah, topik yang difokuskan sehingga dakwah dapat berperan mempengaruhi, mewarnai dan merubah ke dalam keadaan yang lebih baik. Kondisi dakwah saat ini cukup memprihatinkan karena adanya kesenjangan antara apa yang dibutuhkan dengan apa yang didapat.

Metode Penyampaian

Allah Swt menjelaskan bahwa risalah Nabi Saw dimulai dari pembacaan ayat kepada masyarakat, kemudian mengajarkan hikmah-hikmahnya dan pembenahan diri. Risalah tersebut merupakan tanggung jawab para Nabi untuk mengajak umat manusia kepada Tauhid. Allah Swt. berfirman dalam surat al Jum`ah, ayat 2 : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah”. Allah Swt telah mengajarkan pelbagai metode dakwah kepada Rasulullah dan rahasia dari metode dakwah yang beraneka ragam ini dikarenakan adanya perbedaan dan tingkatan pada intelektual quality (IQ) manusia sehingga daya pemahaman mereka tidak sama, meskipun fitrah mereka sama. Obyek al-Quran yang berbeda-beda ini menuntut metode dakwah yang variatif sehingga orang yang mempunyai IQ tinggi, tidak merasa sombong dan tetap memerlukan pesan-pesan wahyu dan sebaliknya bagi orang yang memiliki IQ rendah juga dapat menjangkau pesan-pesan wahyu tersebut.  Oleh karena itu, al-Quran di samping menunjukkan metode dakwahnya  dengan bentuk hikmah, nasehat yang baik serta sanggahan yang bagus, sebagaimana diisyaratkan dalam surat an-Nahl : 125. Ia juga menunjukkannya dalam bentuk perumpamaan, supaya dapat dijangkau oleh orang awam sekaligus menjadi penekanan untuk orang alim yang pada intinya  dapat diserap oleh semuanya. Jalan hikmah, nasehat baik, serta sanggahan yang bagus dari satu sisi dan perumpamaan serta cerita-cerita dari sisi lain merupakan  metode yang komprehensif dalam dakwah dan hal ini sebagai karakteristik al-Quran yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab lainnya.

Untuk memahami pesan wahyu Ilahi, maka seharusnya kita memahami dahulu sebab-sebab diturunkannya wahyu tersebut dikenal dengan asbab an-nuzul atau mendalami pesan wahyu Ilahi secara tekstual dan  kontekstual, sehingga pesan tersebut dapat kita pahami secara baik dan benar. Begitu juga dalam menyampaikan misi dakwah, maka seyogyanya seorang da’i memahami karakteristik masyarakat setempat, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh para muballigh “Wali Songo” yang telah berhasil menyebarkan agama Islam keseluruh seantaro tanah air Indonesia pada saat itu. Metode dakwah yang digunakan oleh para “Wali Songo” adalah dengan cara kultural bukan penaklukan. Metode dakwah kultural berarti pendekatannya dengan memahami dan berinteraksi dengan masyarakat serta akulturasi budaya.

Namun pada saat sekarang metode dakwah harus dapat dilihat sesuai dengan perkembangan zaman dari berbagai sektor kehidupan, seperti dalam bidang teknologi informasi, ekonomi, sosial budaya. Disadari ataupun tidak, teknologi informasi telah merasuk keberbagai sektor kehidupan sehingga memiliki dua dampak yaitu negative dan positif. Menjadi tantangan besar bagi para da’i jika efek yang dihasilkan teknologi informasi berupa nilai-nilai kemaksiatan seperti penyebaran VCD, media cetak atau melalui internet yang berbau pornografi yang merebak dikalangan masyarakat bahkan langsung bisa diakses kedalam rumah dan kamar. Apa yang harus diperbuat oleh para Da’i? diam seribu kata atau segera mengambil langkah untuk membendung kemaksiatan tersebut. Langkah apa saja yang harus dilakukan, jangan sampai tujuan yang baik tapi terlihat dan menghasilkan sikap arogansi dan terkesan anarki. Hal tersebut dibutuhkan kemampuan dan keahlian dalam membendung kemaksiatan dengan cara memanfaatkan teknologi informasi juga, dengan kata lain para muballigh yang memiliki ilmu agama harus bekerjasama dengan para pemilik Produksi House (PH) dan Pemerintah untuk tidak melegalkan dan memproduksi kemaksiatan. Mereka tidak akan menerima masukan kita, jika dengan cara-cara anarki, sebagaimana al-Quran memberikan arahan kepada Nabi Muhammad dalam surat ali-Imran : ” Maka berkat rahmat Allah Swt, engkau ( Muhammad ) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu ” (ali-Imran:159). Oleh karena itu diplomasi “Jitu” yang dibutuhkan oleh para da’i, sebagaimana yang telah penulis jelaskan melalui ayat al-Quran diawal penulisan.

Penutup

Pesan-pesan wahyu Ilahi akan diterima ditengah-tengah masyarakat Indonesia, jika para da’i dapat menyampaikannya dengan benar dan cara yang baik. Jika para muballigh yang akan terjun ke medan dakwah tidak memahami peta sosio-dakwah dengan baik maka tidak akan mungkin terwujud cita-cita yang tinggi dengan menjadikan masyarakat Indonesia “masyarakat beradab” sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu keahlian dalam metode penyampaian dan mengenal karakteristik masyarakat setempat akan memudahkan untuk diterimanya nilai-nilai Islam kedalam perilaku kehidupan masyarakat Indonesia. Islam yang rahmatan lil’alamin akan terwujud, jika antar umat Islam bersatu dan saling mengisi, hindari perselisihan paham antar kelompok Islam, suatu keniscayaan perbedaan pendapat akan selalu ada. Penguasaan teknologi informasi akan sangat membantu misi dakwah ketengah-tengah masyarakat dengan tetap memperhatikan substansi dakwah. Suri tauladan seorang da’i akan sangat menentukan keberhasilan dakwah, maka seyogyanya sebelum terjun ke medan dakwah mulailah perbaiki diri sendiri, keluarga dan pada akhirnya masyarakat luas.

*Penulis adalah Dosen Tetap di STAI-PTDII dan Koordinator Dakwah di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (PPIJ)

[1] DITJEN DUKCAPIL KEMENDAGRI, diakses pada tanggal 20 Juli 2022.

[2]  Muhammad Amir Rana, A to Z of Jehadi Organizations in Pakistan, Printers: Zahid Bashir Printers Lahore 2007, h. 167

Jakarta Islamic Centre

Read Previous

SANTRI PAUD-QU DAN TPQ KUNJUNGI PERPUSTAKAAN JAKARTA ISLAMIC CENTRE

Read Next

IKUTI UJIAN, MAHASISWI INDIA DIPAKSA BUKA JILBAB

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Konsultasi Online JIC
Kirimkan pertanyaan kepada kami...