Memahami Konsep Asuransi Islam Menurut Standar Shariah No. 26 AAOFI
(Bagian I)
Prof. Dr. Kautsar Riza Salman, SE., MSA., Ak., BKP., SAS., CA., CPA.
Profesor Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah
Universitas Hayam Wuruk Perbanas
Pendahuluan
Standar Shariah No. 26 tentang asuransi Islam dikeluarkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), sebuah lembaga internasional yang berperan dalam menetapkan standar bagi industri keuangan Islam. AAOIFI didirikan pada tahun 1991 di Bahrain dan beranggotakan para ulama, akademisi, serta praktisi keuangan syariah dari berbagai negara. Dengan latar belakang yang kuat dan dukungan dari berbagai otoritas keuangan Islam, standar ini dirancang untuk memberikan panduan yang komprehensif mengenai operasional asuransi Islam (takaful) yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Keberadaan standar ini mencerminkan hasil kajian mendalam dan pertimbangan yang matang dari berbagai pemangku kepentingan di industri keuangan Islam. Oleh karena itu, Standar Shariah No. 26 AAOIFI menjadi rujukan utama bagi perusahaan asuransi syariah, regulator, serta akademisi dalam memahami dan menerapkan konsep asuransi Islam yang sesuai dengan nilai-nilai syariah. Dengan adanya standar ini, diharapkan industri asuransi Islam dapat beroperasi secara lebih transparan, adil, dan memberikan manfaat optimal bagi semua pihak yang berkepentingan.
Asuransi Islam (takaful) adalah suatu mekanisme perlindungan kolektif yang didasarkan pada prinsip gotong royong (ta’awun), di mana peserta secara sukarela memberikan kontribusi (tabarru’) untuk membentuk dana yang digunakan dalam menanggung risiko tertentu yang dapat menimpa salah satu peserta. Dana yang terbentuk memiliki status entitas hukum yang independen dan memiliki tanggung jawab finansial tersendiri.
Dalam asuransi Islam, dana tersebut dikelola oleh komite peserta (policyholders’ committee), atau
perusahaan saham gabungan (joint stock company) yang bertindak sebagai agen pengelola (wakil) dan menerima fee wakalah. Sebaliknya, asuransi konvensional merupakan kontrak mu’awadhah (pertukaran keuntungan finansial) yang bertujuan mencari laba dari operasi asuransi itu sendiri. Kontrak ini melibatkan unsur ketidakpastian (gharar) yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, asuransi konvensional dianggap tidak diperbolehkan dalam Islam.
Status Asuransi Islam Menurut Fiqh (Islamic Jurisprudence)
Dalam perspektif fiqh, asuransi Islam dibangun di atas komitmen peserta untuk memberikan donasi demi kepentingan bersama. Dengan membayar kontribusi ke dalam dana peserta, mereka melindungi kelompok mereka dari risiko yang dapat terjadi.
Dana ini dikelola oleh komite peserta, atau perusahaan saham gabungan yang menjalankan operasional asuransi dengan akad perwakilan dengan fee (wakalah bil ujrah). Selain menjalankan operasi asuransi, pengelola dana juga bertanggung jawab atas investasi dana peserta menggunakan akad berbasis syariah seperti investasi berbasis bagi hasil (mudharabah) atau investasi berbasis wakalah.
Hak dan Kewajiban Pihak yang Terlibat
Perusahaan Pengelola (Managing Company):
1. Berhak atas modal dan keuntungan modalnya sendiri.
2. Menerima fee wakalah sebagai imbalan pengelolaan dana.
3. Jika menggunakan akad mudharabah, berhak atas bagian dari keuntungan investasi.
4. Menanggung seluruh biaya operasional.
Dana Peserta (Policyholders’ Fund):
1. Berhak atas kontribusi peserta dan hasil investasinya.
2. Memiliki hak atas cadangan asuransi dan surplus underwriting.
3. Menanggung semua biaya yang berkaitan dengan operasional asuransi.
Jenis Hubungan Kontraktual dalam Asuransi Islam
Selain itu, dalam asuransi Islam terdapat tiga jenis hubungan kontraktual yang harus diperhatikan. Pertama, terdapat hubungan Musharakah (kemitraan) di antara para peserta, yang mengarah pada pembentukan suatu perusahaan dengan anggaran dasar dan dokumen resmi lainnya. Hubungan antara peserta dapat terbatas pada kontrak Musharakah jika pengelolaan dana dilakukan oleh perusahaan. (Lihat Standar Syariah No. 12 tentang Sharikah (Musharakah) dan Perusahaan Modern).
Kedua, terdapat hubungan antara perusahaan dengan dana peserta, yang berbentuk hubungan Wakalah dalam aspek pengelolaan, serta hubungan Mudarabah atau sebagai agen investasi dalam aspek pengelolaan investasi aset dana tersebut.
Ketiga, terdapat hubungan antara peserta dengan dana asuransi, yang berbentuk komitmen tabarru’ (donasi) pada tahap pembayaran kontribusi, dan komitmen ganti rugi pada tahap pemberian kompensasi atas risiko yang terjadi sesuai dengan peraturan dan dokumen yang mendasarinya.
Prinsip dan Aturan dalam Asuransi Islam
Asuransi Islam didasarkan pada prinsip-prinsip dan aturan syariah yang harus dinyatakan secara eksplisit dalam anggaran dasar, aturan, atau dokumen perusahaan. Salah satu prinsip utama dalam asuransi Islam adalah komitmen donasi (tabarru’), di mana peserta harus menyatakan bahwa kontribusi yang dibayarkan beserta hasilnya diperuntukkan bagi dana asuransi guna pembayaran klaim. Peserta juga dapat bersedia menanggung defisit yang terjadi sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Selain itu, perusahaan yang mengelola asuransi harus memiliki dua akun terpisah, yaitu satu akun untuk hak dan kewajiban perusahaan serta satu lagi untuk hak dan kewajiban peserta asuransi. Dalam operasionalnya, perusahaan bertindak sebagai agen dalam mengelola akun asuransi, dan sebagai Mudarib atau agen investasi dalam mengelola investasi aset dana asuransi. Akun asuransi memiliki hak atas aset asuransi dan hasil investasinya, serta bertanggung jawab atas kewajiban yang berkaitan dengan aset tersebut.
Perusahaan juga harus memiliki aturan yang jelas mengenai pengelolaan surplus, seperti akumulasi penyisihan/cadangan, pengurangan kontribusi, donasi amal, atau distribusi sebagian atau seluruh surplus kepada peserta. Dalam hal ini, perusahaan pengelola tidak berhak atas bagian surplus tersebut. Apabila terjadi likuidasi, semua cadangan dan dana yang terkait dengan asuransi harus disalurkan untuk tujuan amal sesuai dengan prinsip syariah.
Di sisi lain, peserta asuransi harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan operasional asuransi melalui mekanisme hukum yang memungkinkan mereka menjalankan hak kontrol dan melindungi kepentingan mereka, misalnya dengan memiliki perwakilan dalam Dewan Direksi.
Perusahaan asuransi Islam juga diwajibkan untuk mematuhi aturan dan prinsip syariah dalam semua aktivitas dan investasinya, khususnya dengan menghindari penyediaan asuransi bagi produk, aktivitas, atau tujuan yang bertentangan dengan syariah. Untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah, perusahaan harus membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengeluarkan fatwa yang bersifat mengikat bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus memiliki unit internal yang bertanggung jawab dalam pemantauan dan audit kepatuhan syariah. Dengan adanya prinsip-prinsip ini, asuransi Islam diharapkan dapat berjalan sesuai dengan kaidah syariah serta memberikan manfaat bagi seluruh peserta tanpa melanggar nilai-nilai keadilan dan transparansi. (bersambung)