Mendekati Perbedaan, Bukan Menyatukan

0
165

Seminar “Mutiara-Mutiara Al-Qur’an dalam Kemelut Kekinian“ yang berlangsung pada Selasa, 31 Januari 2012, di Ruang Audio Visual Jakarta Islamic Centre (JIC), dihadiri lebih dari 300 orang yang terdiri atas ulama , asatiz, asatizah, pejabat di lingkungan Pemprov. DKI Jakarta, Kepala KUA, dosen, dan mahasiswa memberikan banyak informasi yang berharga. Misalnya saja, isi makalah yang disampaikan oleh salah satu narasumber, KH Dr Muchlis M Hanafi MA.

Seminar “Mutiara-Mutiara AlQur’an dalam Kemelut Kekinian“ yang berlangsung pada Selasa, 31 Januari 2012, di Ruang Audio Visual Jakarta Islamic Centre (JIC), dihadiri lebih dari 300 orang yang terdiri atas ulama , asatiz, asatizah, pejabat di lingkungan Pemprov. DKI Jakarta, Kepala KUA, dosen, dan mahasiswa memberikan banyak informasi yang berharga. Misalnya saja, isi makalah yang disampaikan oleh salah satu narasumber, KH Dr Muchlis M Hanafi MA.

Dalam makalahnya, ia menyatakan, perbedaan keagamaan dalam tubuh umat Islam, seperti antara Suni dan Syi’ah, merupakan keniscayaan. Maka, sudah tidak perlu lagi mengutak-atik perbedaan dan membentur-benturkannya, apalagi sampai terjadi konflik dengan kekerasan.
Keragaman pandangan merupakan cermin bagi dinamika intelektualitas dan rasionalitas Islam sebagai agama yang bersifat universal dan responsif terhadap berbagai perkembangan.

Keberadaan mazhab-mazhab itu juga memperkaya khazanah peradaban Islam dengan berbagai alternatif pemikiran yang dapat memberikan kemudahan dan pilihan bagi umat dalam beragama. Dalam konteks ini, perbedaan dapat menjadi rahmat. Tetapi, ketika perbedaan itu dibawa ke ranah yang sempit dengan balutan fanatisme yang berlebihan, sehingga melahirkan sikap saling membidahkan, merasa paling benar, dan mengafirkan. Sejarah pemikiran Islam diwarnai dengan pertumpahan darah yang mencabik persatuan umat. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk mengelola perbedaan dengan baik. Salah satu cara mengelola perbedaan adalah dengan membuka pintu dialog untuk mendekatkan pemahaman-pemahaman yang ada. Mendekatkan, karena memang sulit, bila tidak ingin berkata mustahil, untuk menyatukannya. Melalui dialog akan timbul sikap menghormati dan toleransi. Meski berbeda, kita perlu optimistis dapat mewujudkan persatuan umat.

Bersatu dalam keragaman. Optimisme itu cukup beralasan jika dilihat bahwa sisi persamaan antara mazhab atau aliran yang ada sangatlah banyak, terutama dalam hal pokok ajaran, bila dibanding dengan perbedaan.

Dalam konteks hubungan antara Sunah dan Syiah, persamaan itu dapat dilihat pada keimanan terhadap pokok-pokok akidah Islam (tauhid, kenabian, dan kebang kitan), komitmen terhadap pokok-pokok ajaran dan rukun Islam serta komitmen terhadap Alquran dan hadis sebagai sumber ajaran. Bila terhadap penganut agama yang berbeda saja kita diminta untuk berdialog dan berdebat dengan cara yang terbaik maka dengan sesama yang meng ucap dua kalimat syahadat tentu lebih sangat dianjurkan dan harus bisa kita lakukan.

Perbedaan antara Sunah dan Syiah, menurut Syekh Muhammad al-Ghazali, diperbesar oleh faktor politik kekuasaan.

Padahal, keduanya sama-sama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjalin hubungan dengan Islam melalui keyakinan terhadap kitab suci Alquran dan sunah Rasul. Dalam hal pokok ajaran keduanya sama. Perbedaan hanya pada persoalan teknis (masâ’il fiqhiyyah), seperti perbedaan yang ada antara Mazhab Hanafi dengan Maliki atau Syafi’i.

Atas dasar kesamaan ini, di akhir tahun 40-an abad ke-20, para ulama al-Azhar

yang merepresentasikan kelompok Suni dan beberapa ulama dari kelompok Syiah menggagas forum dialog untuk mendekatkan kedua mazhab tersebut yang dinamakan Lajnat al-Taqrîb Bayna alMadzâhib al-Islâmiyyah. Sebagai puncaknya adalah pengakuan Syiah sebagai bagian dari mazhab-mazhab Islam yang ada dalam fatwa Syekh Mahmud Syaltut.

Fatwa tersebut berbunyi, “Sesungguhnya Mazhab Ja’fariyah, yang dikenal dengan Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan secara syar’i untuk beribadah dengannya seperti mazhab-mazhab ahlusunnah lainnya. Hal ini penting diketahhui agar tak terjebak fanatisme berlebihan. Semua berijtihad dan akan diterima di sisi Allah.” Sampai saat ini, dalam kajian fikih perbandingan (fiqh muqâran) di Universitas alAzhar mazhab Syiah Imamiyah dianggap sebagai salah satu mazhab fikih yang mu’tabar selain Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Dhahiriyah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah. Bahkan, melalui Kementerian Wakaf, para ulama al-Azhar menyusun ensiklopedi fikih Islam bersumberkan delapan mazhab tersebut.

Bahkan, dalam sebuah deklarasi yang dikeluarkan oleh Konferensi Islam Internasional di Amman, Yordania, 4 6 Juli 2005, dan ditegaskan kembali dalam keputusan dan rekomendasi Sidang ke-17 Majma al-Fiqh al-Islami (lembaga di bawah Organisasi Konferensi Islam/OKI) di Yordania 24-26 Juni 2006 dinyatakan; Pertama, setiap yang mengikuti salah satu dari empat mazhab ahlussunnah wal jamaah (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), Mazhab Ja’fari, Zaidiyah, Ibadhiyah, dan Zhahiriyah adalah Muslim yang tidak boleh dikafirkan. Demikian pula tidak boleh mengafirkan kelompok Muslim

lain yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, rukun iman, menghormati rukun Islam, dan tidak mengingkari pokok-pokok ajaran agama (al-ma’lûm min al-dîn bi aldharûrah).

Kedua, yang menyatukan mazhabmazhab yang ada sangatlah banyak dibanding perbedaan. Para penganut mazhab delapan sepakat prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Semua beriman kepada Allah yang Esa, Alquran adalah kalamullah, Nabi Muhammad adalah Nabi dan Ra sul untuk seluruh umat manusia. Mereka juga sepakat rukun Islam yang lima; syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji. Demikian juga rukun iman; percaya kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, dan qadar yang baik dan buruk. Perbedaan ulama para pengikut mazhab adalah perbedaan dalam hal teknis (furu’iyyah), bukan yang prinsipil dan itu mendatangkan rahmat.

Pernyataan yang ditandatangani oleh banyak ulama dunia Islam itu dapat dikatakan menjadi sebuah konsensus (ijmâ’) umat Islam di era modern sebagai upaya membangun pijakan dalam mewujudkan kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan. Pernyataan tersebut bermula dari keinginan Raja Abdullah dari Yordania yang telah menggagas rumusan pesan da mai Islam melalui Amman Message pada 2004. Agar lebih aplikatif, Raja me ngirim kan tiga pertanyaan mendasar dalam hubungan antara sesama Muslim kepada 24 ulama dunia dari berbagai mazhab, yaitu : 1) siapa yang termasuk Muslim; 2) Apakah boleh sesama Muslim saling me ngafirkan; dan 3) siapa yang berhak me ngeluarkan fatwa. Jawaban para ulama itu kemudian dibahas dalam Konferensi Islam Internasional 4 6 Juli 2005.

Upaya mendekatkan dan membangun

dialog itu bukan tanpa hambatan. Dalam konferensi dialog antarmazhab (Suni-Syiah) yang digelar di Doha awal 2007 mengemuka beberapa hambatan tersebut, antara lain, beban sejarah yang cukup panjang, kecurigaan setiap kelompok terhadap lainnya, adanya upaya menyebarluaskan pa ham Syiah di tengah komunitas Suni, li teratur masing-masing kelompok yang menjelekkan kelompok lainnya, dan masih banyak lainnya. Oleh karenanya, dialog yang telah terbangun selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Bahkan, cenderung menguntungkan salah satu pihak. Syekh Ahmad Thayyeb, rektor Universitas al-Azhar (saat ini grand syekh al-Azhar), dalam paparannya saat itu mengkhawatirkan masa depan dialog de ngan masih adanya upaya dari kelompok Syiah untuk menyebarluaskan pahamnya di Mesir yang menganut paham Suni.

Buku-buku yang mencaci para sahabat yang sangat dihormati kelompok Suni ma sih banyak ditemukan. Selama ini, menurut Thayyeb, kelompok Suni sudah terlalu banyak ‘mengalah’. Jika upaya tersebut masih berlanjut bukan tidak mungkin k e lompok Suni tidak akan melanjutkan pro ses dialog.

Sebesar apa pun hambatan yang ada, dialog tetap harus dibangun dengan niat baik, dalam suasana keterbukaan, saling menghormati dan saling percaya. Dialog diperlukan untuk membahas agenda ber sa ma mewujudkan kepentingan yang lebih besar bagi umat. Dialog bukan untuk me nya tukan atau menyamakan pandangan, tetapi untuk saling memahami dan menghormati. Untuk itu kode etik dan aturan pe nyebaran paham kelompok masing-ma sing perlu disepakati. Dengan begitu, se mo g a kerukunan yang diidamkan segera da pat terwujud. Demikian, wallahu a’lam.

Oleh Rakhmad Zailani Kiki Koordinator Pengkajian JIC

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × 4 =