MENJEMPUT GELAR BIDADARI (PART III)

0
353
Menjemput Gelar Bidadari
Menjemput Gelar Bidadari
Menjemput Gelar Bidadari

JIC – Waktu bergulir mengikuti apa yang Allah takdirkan. Memasuki pekan kedua mengenakan gamis, aku bertekad mencari teman seperjuangan, teman yang memakai gamis dan kerudung. Ku mulai searching di google, kutambahkan mereka ke dalam list pertemananku di sosial media. Ku ikuti setiap info majelis ilmu yang mereka update di wall Fb mereka. Dan saat aku pertama kali memasuki majelis ilmu, aku baru sadar bahwa aku adalah satu-satunya wanita yang tidak memakai kaos kaki. Aku malu dan berusaha menutupi kaki saat duduk bersila. Sepulang dari majelis ilmu, aku tidak langsung menuju kost tapi aku langsung menuju pasar Senen untuk membeli kaos kaki. Aku tidak mau meninggalkan sesuatu yang setelah kutahu hukumnya adalah wajib.

Melalui telepon kuputuskan pacarku. Dia tidak terima dan menuduhku selingkuh dengan orang lain. Kukatakan padanya satu-satunya alasanku memutuskannya adalah karena tidak ada gunanya dan Allah membencinya. Awalnya ia merasa dilabui, namun akhirnya ia mengamuk. Aku terdiam dan mulai mencari jawaban yang paling tepat, Allah dan Rasul yang saat itu kusebut sebagai alasanku, setelah ucapan itu meluncur nafasku tersengal, air mataku mulai menetes. Aku semakin yakin bahwa aku memang telah Allah pilih untuk kembali ke jalan-Nya. Kakiku lemah lututku menyentuh lantai ponsel ku masih berada di samping telingaku, saat aku sudah benar-benar bersujud di lantai. Dadaku sekejap terasa damai.

Tidak ada jawaban apapun darinya. Kuputuskan sambungan telepon. Kembali aku terpekur tak percaya. Secepat kilat kuayunkan langkah kakiku menuju kamar mandi. Aku rindu pada Allah aku akan bicara padanya lewat bacaan sholatku. Aku mendadak seperti anak kecil yang menggelayuti tubuh ibunya. Hingga satu malam, saat aku sholat tahajud aku berdoa pada Allah, “ Wahai Tuhanku aku selalu menangis setiap kali mengingat bahwa secara mendadak Engkau bawa aku ke jalan-Mu ini. Jika Engkau takdirkanku menjadi muslimahseperti yang Engkau mau, maka kirimkanlah untukku seseorang yang membersamaiku dalam pertaubatan ini. Jika kelak aku menikah, berikanlah aku suami yang bisa menjadi guruku, dan aku menjadi murid sekaligus bidadarinya.”

Selepas sholat kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Berharap aku masih punya waktu tidur satu jam lagi sebelum fajar menyingsing. Namun mataku tidak mengantuk. Kuputuskan membuka akun FB, dan terlihat ada sebuah status yang baru diposting. Milik seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Dulu, aku memang asal menerima permintaan pertemanan dari siapapun, tanpa melihat siapa ia.

“Duhai Tuhanku, jika kelak Engkau takdirkanku menjadi seorang suami dari seorang wanita, maka jadikanlah aku sebagai gurunya, dan pantaskan aku untuk menjemput bidadari ku itu segera…”

Deg… Astaghfirullah, jantungku berdegup kencang, dan ku amati kembali postingan itu, ternyata postingan itu baru beberapa detik yang lalu di update milik seorang laki-laki. Ku baca kembali postingan yang mirip dengan doa yang baru saja aku panjatkan. Mataku terasa panas, aku kembali bersujud kepada Allah atas segala pertanda bahwa Allah telah membukakan pintu-Nya untukku. Dan untuk pertama kalinya aku mengagumi seseorang karena Allah.

Hingga detik ini dia tidak pernah tahu ini. Dia bahkan tidak kenal betul siapa aku. Kutahan diriku untuk mengetahui tentangnya. Ada perasaan takut bahwa Allah tak akan suka jika aku membuka profil FBnya, setiap kali aku menekan icon Like di postingannya tiba-tiba ada suara yang keras dari dalam hatiku “Sofie, Allah cemburu!” dan serta merta aku membatalkan niatku.

Siapapun dirinya, aku menjaga diri agar tidak focus padanya, atas apapun yang berlaku pada perasaanku, aku takkan mengkhianati Allah dengan sering memikirkan ciptaan-Nya dibanding Dia yang memiliki nama-nama mulia yang memuliakanku. Takkan kuizinkan ini menyimpang menjadi nafsu, akan kubatasi dengan syariat-Nya.

Kini, aku sudah berada di sebuah lingkungan yang asma Allah amat diagungkan. Aku bergabung dengan komunitas pemburu jannah. Memperbaharui taubat terus menerus, agar saat dipanggil Allah kelak aku mendapatkan cinta-Nya.

Dan mengenai ikhwan pemilik postingan yang sama dengan doaku itu, kuserahkan total kepada Allah. Aku dan dirinya adalah ciptaan Allah, aku amat percaya bahwa Allah mustahil menzhalimi. Allah adalah pemilik takdir terbaik, aku benar-benar tenang mengingat itu. Aku bisa saja menikah di dunia dan bisa juga di akhirat, tapi soal mati pasti di dunia.

Dengan segala kekurangan dan aib yang masih bertebaran dimana-mana kuajarkan diriku untuk focus mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lebih pasti. Bukan lagi untuk menjadi seniman terkenal akan tetapi semoga menjadi bidadari di jannah Allah itu cita-cita tertinggiku. Ketika wanita pencinta dunia ini sibuk mengejar kehormatan dengan menjual banyak hal, wanita pencinta akhirat justru membuang dunia dan kelasnya bukan lagi di bumi melainkan di langit.

Hidayah itu datang pada siapapun yang dikehendakinya. Jika benar-benar diresapi, menjadi muslimah adalah suatu predikat membanggakan. Surga bukan di kepala kita, melainkan di telapak kaki. Kita disebut tiga kali lebih tinggi tingkatannya dibanding lelaki. Jika saja seorang wanita yang menutupi tubuh dengan hijab syar’i, ia mendirikan sholat fardhu, dan menjaga kehormatan diri, menurutmu dimana tempatnya jika bukan di Jannah?

Tidak menjadi masalah apakah kita akan dipandang aneh. Memang yang akan disanjung di akhirat nanti adalah yang diasingkan karena ketaatannya. Tegaslah membedakan mana yang mudharat, semoga jika kelak kita menjadi istri Allah takdirkan kita sehebat Khadijah dalam melayani. Wahai Rabbku, himpunkanlah setiap muslimah yang saat ini sedang bertaubat dalam rumah di Jannah-Mu. Kuatkan azam kami menuju-Mu, meski kadang terseok langkah kaki kami karena muntahan kotor dari penduduk bumi. Muslimah istiqomalah.

Sumber: Muslimah Inspiring Stories

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

18 − 10 =