
Dana yang dihabiskan jaringan ini untuk membayar iklan di Facebook mencapai hingga US$300.000, atau sekitar Rp4,2 miliar.
“Meskipun mereka yang ada di baliknya berusaha untuk menyembunyikan identitas mereka, investigasi kami menemukan bahwa ada hubungan ke lembaga media sosial InsightID,” kata Nathaniel.
Aktor di balik jaringan ini menggunakan akun palsu untuk mengelola Pages, menyebarkan konten mereka dan mengarahkan orang untuk mengakses website di luar Facebook.
Menurut Facebook, jaringan ini mengunggah konten dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia tentang Papua, dengan beberapa halaman membagikan konten yang mendukung gerakan kemerdekaan, sedang yang lain mengkritik. Namun investigasi BBC tak menemukan otomasi konten pro-kemerdekaan yang terkait dengan InsightID.
BBC berusaha menghubungi dua co-founder InsightID, Abdul Aziz dan Pera Malinda Sihite, melalui telepon, namun tidak diangkat. Permintaan hak jawab melalui email pun tidak dibalas.
Meski demikian, beberapa hari setelah pengumuman Facebook mengenai keterlibatan InsightID, beberapa akun yang terkait dengan InsightID menyebarkan pengumuman yang disebut dari perusahaan tersebut.
“Konten kami membela Indonesia melawan narasi hoaks kelompok separatis Papua Merdeka,” demikian bunyi pengumuman tersebut.
Mereka juga membantah telah mengeluarkan dana sebanyak US$300.000, dan menyatakan bahwa jumlah itu adalah gabungan dari berbagai kelompok yang mengangkat isu Papua.

Pemerintah menilai bahwa penutupan akun-akun yang diduga terkait dengan InsightID ini sudah sejalan dengan kebijakan pemerintah.
“Langkah yang dilakukan FB sejalan dengan apa yang dilakukan pemerintah selama ini, dalam upaya kami memerangi hoaks dan ujaran kebencian,” kata Ferdinandus Setu, Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo.
Menurutnya, akun palsu yang menyebarkan misinformasi dan disinformasi memang masih mejadi masalah besar dan signifikan di Indonesia.
“Fakta yang dimanipulasi untuk kepentingan mendiskreditkan kelompok tertentu, itu yang paling berbahaya dan bisa menganggu ketertiban kita sebagai bangsa,” kata Ferdinandus kepada BBC Indonesia melalui telepon.
sumber : bbcindonesia.com