PAPUA: CARA KERJA JARINGAN BOT PENYEBAR HOAKS SOAL PAPUA DENGAN BIAYA MILIARAN RUPIAH (3)

0
151

ILUSTRASI: DAVIES SURYA

Bagaimana suatu akun dapat disebut bot?

JIC, JAKARTA– “Akun-akun ini sangat mudah dikenali. Mereka berbagi konten yang sama, pada waktu-waktu yang tidak biasa, dengan algoritma yang serupa,” kata Elise.

Saat diperiksa lebih lanjut, ada perbedaan antara akun bot dengan akun biasa.

Awalnya, BBC menemukan akun-akun ini ketika memeriksa tagar seputar Papua.

BBC memeriksa beberapa akun dengan melihat usernamenya di Twitter. Foto yang mereka pakai untuk profil itu bukan foto asli. Ada yang tidak memasang foto, ada foto bintang hip hop korea, aktor China atau foto orang Australia.

Untuk memastikan foto itu bukan foto asli, foto tersebut diunggah ke mesin pencari gambar Yandex. Ketika dicari dengan image reverse search, foto-foto tersebut sudah pernah diunggah oleh orang lain sebelumnya.

Ketika diperiksa di lini masa, konten yang mereka unggah hanya konten-konten yang diprogram ini dan tidak ada yang lain. Setiap akun mengunggah konten pada jam berbeda, tapi kerap kali pada menit dan detik yang sama sehingga kecil kemungkinan dilakukan akun yang bukan bot.

papua, west papua. bot, hoaks, internet, UU ITE, veronika komanHak atas fotoARVIN SUPRIYADI

Banyak dari akun bot terkait InsightID yang ditemukan dalam investigasi, kini sudah diblokir oleh Twitter.

Kepada BBC, juru bicara Twitter menjelaskan bahwa manipulasi platform, termasuk spam dan cara lain untuk mengakali integritas sistem Twitter, jelas-jelas pelanggaran peraturan Twitter.

“Manipulasi platform (termasuk otomatisasi dengan niatan buruk, dan pengikut palsu) tidak diizinkan di Twitter. Kami terus berusaha mencari dan mencegah akun yang menunjukkan tanda-tanda memanipulasi percakapan publik di Twitter,” kata juru bicara Twitter melalui email.

‘Pojokkan media internasional’

Investigasi BBC dan ASPI juga mengungkap beberapa laman yang menyebarkan informasi tidak benar mengenai Papua.

Website-website ini serupa, namun berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan InsightID.

Itu adalah Wawawa Journal, sebuah situs berbahasa Inggris, nampak seperti sebuah situs berita. Beberapa artikelnya berupa opini positif tentang Indonesia, beberapa artikel di dalamnya menulis informasi dari narasumber tanpa nama.

Artikelnya kemudian disebarkan melalui media sosial dengan tagar yang berkaitan dengan Papua.

“Menariknya, banyak artikel ini menyerang media-media Internasional, seperti Australian Broadcasting Corporation atau Radio New Zealand,” kata Elise.

Wawawa Journal, dan situs serupa bernama tellthetruthnz, terdaftar atas nama Muhamad Rosyid Jazuli. Dia adalah CEO Jenggala Institute for Strategic Studies, sebuah lembaga yang menginduk pada Jenggala Center.

Pada laman resmi Jenggala Center, yayasan ini menyebut “lahir dari hiruk-pikuk kerja politik di Tim Jenggala, sebuah tim pemenangan yang menginduk kepada (ketika itu) Cawapres Jusuf Kalla”.

Saat dikonfirmasi, Muhamad Rosyid Jazuli mengakui bahwa dia memang membuat kedua website tersebut atas inisiatif pribadi, bersama beberapa temannya. Dia membantah bahwa website yang dibuatnya bermuatan politis.

“Itu inisiatif sendiri. Kami prihatin, karena media internasional selalu mengutip hanya beberapa tokoh yang dianggap mewakili situasi di Indonesia. Itu tidak fair. Harus ada penyeimbang,” kata Rosyid.

Salah satu artikel di Wawawa Journal menyebut bahwaKomisioner PBB untuk hak asasi manusia Michelle Bachelet menyatakan bahwa lembaga internasional menyambut positif cara Indonesia menangani masalah di Papua.

Padahal, Michelle Bachelet menyatakan bahwa dirinya prihatin dengan kekerasan yang terjadi dan meminta otoritas untuk berdialog dan menghindari penggunaan kekerasan.

Artikel lain di Wawawa Journal menyebut bahwa pembakaran rumah dan kerusuhan di Wamena dipicu oleh disinformasi yang dilakukan pengacara Veronika Koman.

papua, west papua. bot, hoaks, internet, UU ITE, veronika komanHak atas fotoWAWAWA JOURNAL

Dalam salah satu tulisannya, Wawawa Journal menyatakan bahwa cuitan Veronika Koman “Itu adalah trigger yang membuat teman-teman [di Papua] menjadi lebih anarkis,” kata Rosyid membela tulisan tersebut.

Meski demikian, Rosyid menolak jika lamannya disebut memberi berita bohong, maupun disinformasi dan misinformasi.

“Saya menyebarkan ini untuk memberikan pandangan alternatif. Ini upaya untuk memberikan upaya balance di dunia pemberitaan, dan pengayaan diskursus,” kata Rosyid. Dia juga menyatakan bahwa biayanya dibayar dengan dana pribadi dan tidak terkait dengan tempatnya bekerja.

Saat ditanya kenapa tidak mendaftarkan websitenya sebagai media, dengan identitas yang jelas dan terdaftar di Dewan Pers, Rosyid menjawab bahwa “karena saya sekolah dan bekerja juga, jadi bikin blog saja”.

Mengenai tentang keberadaan situs yang menyebarkan misinformasi dan disinformasi, pemerintah menyatakan akan mengambil tindakan dengan berpatokan pada Dewan Pers.

“Kalau website atau portal tertentu belum terdaftar di dewan pers, kami anggap sebagai produk bukan pers. Kalau produk bukan pers, kami nilai dengan UU ITE,” kata Ferdinandus Setu, Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo.

Dengan UU ITE, jika menemukan konten provokatif, SARA dan hoaks, dia menyatakan bahwa Kementrian akan langsung memblokirnya. Berbeda dengan situs yang terdaftar di Dewan Pers, maka Kementrian akan bertindak sesuai UU Pers.

Diancam dibunuh dan diperkosa

Investigasi BBC menemukan bahwa Veronica Koman, pengacara hak asasi manusia, menjadi salah satu target penyebaran distorsi informasi terkait Papua.

Selain distorsi informasi, Veronica juga menerima ancaman pembunuhan dan perkosaan. “Sering sekali dapat ancaman perkosaan dan pembunuhan, setiap hari. Setiap hari bukan cuma satu, banyak banget. Di Twitter, FB dan Inbox,” kata Veronika.

Veronica Koman kini masih menyandang status tersangka terkait sejumlah cuitannya yang disebut “lontaran diskriminatif dan rasial” terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, pertengahan Agustus lalu. Dari pasal-pasal yang disangkakan Veronica pun diancam hukuman hingga enam tahun penjara.

Meski demikian, Veronika tetap menggunakan akun Twitternya dari Sydney, Australia, untuk menyebarkan informasi tentang Papua.

Veronika meyakini bahwa menyajikan dan membuka informasi seluas-luasnya mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Papua akan dapat melawan banyaknya “distorsi informasi” di media sosial.

 

 

sumber : bbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here