Binatang macan atau harimau adalah salah satu satwa yang menghuni hutan-hutan di tanah Betawi (Jakarta) pada tahun 1800-an ke bawah. Macan di Betawi merupakan harimau Jawa yang hidup di pulau Jawa. Binatang ini ini dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis.
Di Betawi, kepopuleran macan dapat dilihat dari penggunaan binatang ini untuk simbol identitas seseorang atau kelompok yang menunjukkan kepandaian atau kekuatan. Misalnya, Guru Mughni, ulama Betawi yang dijuluki “Kiai Macan Betawi”; Si Ronda yang merupakan sosok jagoan dijuluki “Si Ronda Macan Betawi”; cerita rakyat tentang jago silat Murtado yang dijuluki “Macan Kemayoran”; Tan Liong Houw atau Latief Harris Tanoto, pesepakbola nasional yang terkenal tahun 1950-an yang bermain juga untuk klub sepakbola Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija) diberi julukan pendukungnya “Macan Betawi”; dan Persija pun memiliki julukkan ”Macan Kemayoran”. Begitu populernya macan di Betawi, herannya kenapa hanya elang bondol dan salak Condet yang merupakan hewan dan buah khas Betawi yang dijadikan simbol Jakarta?
Binatang macan atau harimau adalah salah satu satwa yang menghuni hutan-hutan di tanah Betawi (Jakarta) pada tahun 1800-an ke bawah. Macan di Betawi merupakan harimau Jawa yang hidup di pulau Jawa. Binatang ini ini dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis.
Sebagai raja hutan di pulau Jawa, keperkasaan dan kekuatan macan dijadikan simbol oleh beberapa kerajaan pra Islam maupun kesultan dan kerajaan Islam di pulau Jawa. Seperti Singha Barwang atau terkenal juga dengan Macan Ali adalah simbol dan bendera kerajaan di Cirebon yang digunakan sejak zaman kerajaan Indraprahasta ( ± 300-400 M ), Wanagiri, Singhapura, dan terakhir kerajaan Cerbon ( 1482 M ). Macan Ali merupakan kaligrafi berbentuk seekor macan atau singa, bertuliskan kalimat syahadat “ Laa Ilaaha Illallaah, Muhammad Rasulullaah”, sebuah kalimat suci atas pengakuan Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai utusan Allah, kalimat yang wajib diucapkan bagi setiap orang yang masuk Islam. Di bendera Macan Ali terdapat beberapa tulisan dan simbol, yaitu: “Bismillah” dan ayat-ayat Al Quran yang melambangkan keagungan Allah; dua bintang dengan delapan sisi yang melambangkan Nabi Muhammad dan Fatimah; singa Kecil dan besar serta dua buah pedang yang menyilang yang melambangkan pedang zulfikar milik Imam Ali; singa besar yaitu Asadullah atau singa Allah yang diterjemahkan dengan Macan Ali; dan
lima orang manusia suci sebagai sumber petunjuk dan hidayah.
Lambang kerajaan berbentuk Macan Ali ini merupakan wujud keseriusan Cirebon sebagai pusat penyebaran agama Islam di wilayah barat pulau Jawa. Terbukti hanya dalam satu abad kepemimpinan Sunan Gunung Jati Islam telah berkembang pesat di sebagian besar Jawa Barat menggeser kerajaan Hindu Pajajaran.
Di Betawi, kepopuleran macan dapat dilihat dari penggunaan binatang ini untuk simbol identitas seseorang atau kelompok yang menunjukkan kepandaian atau kekuatan. Misalnya, Guru Mughni, ulama Betawi yang dijuluki “Kiai Macan Betawi”; Si Ronda yang merupakan sosok jagoan dijuluki “Si Ronda Macan Betawi”; cerita rakyat tentang jago silat Murtado yang dijuluki “Macan Kemayoran”; Tan Liong Houw atau Latief Harris Tanoto, pesepakbola nasional yang terkenal tahun 1950-an yang bermain juga untuk klub sepakbola Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija) diberi julukan pendukungnya “Macan Betawi”; dan Persija pun memiliki julukkan ”Macan Kemayoran”. Begitu populernya macan di Betawi, herannya kenapa hanya elang bondol dan salak Condet yang merupakan hewan dan buah khas Betawi yang dijadikan simbol Jakarta?
Namun, kisah macan di Betawi bukan hanya kisah simbol untuk identitas, tetapi ada juga kisah nyata penaklukkan terhadap hewan ini. Hal ini misalnya terjadi sekitar tahun 1800-an. Dikisahkan seorang yang bernama Rahmatullah, buyut dari Guru Madjid Pekojan salah seorang ulama Betawi terkemuka yang dikabarkan masih memiliki hubungan darah dengan Pangeran Diponegoro, datang dari tanah Jawa ke daerah Kebayoran Lama karena ingin mengikuti sayembara menaklukkan macan buas yang meresahkan masyarakat Betawi. Sayembara dibuat karena macan buas ini telah memangsa banyak manusia sebagai santapannya dan berbagai upaya telah dilakukan namun belum berhasil menaklukkan macan tersebut. Dengan gagah berani dan berbekal ilmu bela diri yang dilandasi keimanan yang kuat, Rahmatullah memburu macan buas tersebut. Atas keberhasilannya mengalahkan macan buas tersebut, ia diberi sebidang tanah sesuai dengan bunyi sayembara. Rahmatullah yang asli orang Jawa kemudian tinggal dan berumah tangga di tanah Betawi yang keturunannya kemudian menjadi ulama Betawi terkemuka.
Kisah penaklukkan macan di Betawi ternyata tidak pernah berhenti, walau macan yang dimaksud bukan lagi macan yang sesungguhnya. Macan buas yang dihadapi masyarakat Betawi dan Jakarta adalah kemacetan, banjir, korupsi, kekumuhan, penyakit, kemiskinan dan kebodohan. Sudah puluhan tahun macan-macan buas ini dicoba untuk ditaklukan, dari era Bang Ali sampai Bang Foke, namun belum juga berhasil secara gemilang. Macan-macan itu masih berkeliaran menyambangi rumah penduduk dan menghadang di jalan, di musim hujan atau musim panas, yaitu banjir yang belum maksimal teratasi dan macet yang belum tertangani.
Sayembara untuk mencari penakluk “macan”, yaitu Pilkada DKI Jakarta di akhir tahun 2012 yang dimenangkan oleh Ir. Joko Widodo (Jokowi) selaku Gubernur DKI Jakarta, seperti mengulang kisah Rahmatullah, orang Jawa yang mengikuti sayembara penaklukan macan buas di Kebayoran Lama. Dengan pengalamannya mengatasi “macan”di kota Solo, setumpuk harapan disandarkan ke pundaknya bersama wakilnya, Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M. atau Zhong Wan Xie (Ahok). Tapi kemenangan sayembara atau pilkada ini bukan kemenangan karena sudah menaklukkan “macan-macan buas” tersebut, tapi baru kemenangan sebagai orang yang layak untuk memimpin perburuan menaklukan macan-macan tersebut dibandingkan kandidat-kandidat lainnya dengan tenggat waktu sampai lima tahun ke depan. Seperti di masa lalu, masyarakat Betawi juga menerima jika pemimpin perburuan itu bukan orang Betawi lagi. Sekarang bukanlah masalah jika si penakluk itu dari Betawi atau bukan bukan Betawil yang penting macan-macan tersebut dapat ditaklukkan. Masyarakat Betawi dan Jakarta juga tidak tinggal diam, siap membantu sang penakluk. Namun jika kelak tidak berhasil juga, ada pribahasa di Betawi, pribahasa macan ompong, yaitu orang yang sudah hilang kehebatannya sehingga memang harus diganti dengan penakluk yang lain.
Akhirulkalam, mari kita do`akan agar Bang Jokowi bersama wakilnya Basuki dan segenap anak buahnya dimenangkan Allah dan menjadi Sang Penakluk Macan di Betawi, bukan menjadi macan ompong. Aamiin. ***
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Koordinator Pengkajian JIC











