“Enam wartawan stasiun televisi Al Jazeera ditahan oleh aparat keamanan Mesir. Penahanan ini dilakukan sehari setelah pemerintah menutup siaran stasiun televisi tersebut di Mesir.” (republika.co.id)
“Enam wartawan stasiun televisi Al Jazeera ditahan oleh aparat keamanan Mesir. Penahanan ini dilakukan sehari setelah pemerintah menutup siaran stasiun televisi tersebut di Mesir.” (republika.co.id)
“Saluran televisi satelit Al-Jazeera menyatakan enam wartawan layanan bahasa Inggris telah dibebaskan, Senin (31/1), setelah sebelumnya ditahan di Mesir.” (metrotvnews.com)
Kutipan artikel di atas adalah salah satu bukti nyata bahwa ada keterbatasan pers untuk meliput suatu berita di medan konflik. Kondisi pers semacam ini memang tidak pernah lepas dari bagaimana sistem politik bekerja. Sistem pers yang berada di ruang konflik kerap kali dijadikan sebagai alat dominasi propaganda, sehingga ideologi atau tujuan suatu negara sangat mempengaruhi keberadaan sistem pers.
Di wilayah konflik, sistem pers bisa memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi pers mampu menjadi sistem dengan otoritasnya sebagai sistem pencari informasi untuk disiarkan kepada publik dan di sisi lain menjadi sistem independensi atau kontra dominasi). Hal ini membawa dampak dalam lingkup teritori sebuah operasi sistem pers.
Revolusi yang terjadi di negara Timur Tengah membuktikan bahwa keberadaan pers tidak sepenuhnya memiliki kebebasan untuk mencari informasi atau bahkan untuk menyalurkan opini publik. Pers yang berada dalam ruang konflik memiliki keberpihakan yang kuat pada pihak-pihak yang tengah berkonflik. Ada tiga pihak yang sangat berkompeten dalam sistem pers, yaituu pihak dari pemerintahan itu sendiri, pihak pendukung negara konflik dan pihak pejuang konflik. Hal ini berimbas dengan adanya keterlibatan dan kontrol dalam pers sendiri.
“Wilayah dari kehidupan sosial kita dimana berbagai hal sebagai opini publik dapat dibentuk. Setiap warga negara berurusan dengan kepentingan untuk tanpa menjadi subjek dari suatu tindakan untuk mengungkapkan dan mempublikasikan pandangan mereka.” (Jurgen Habermas).
Secara garis besar terdapat dua kondisi yang mendorong terjadinya revolusi yang berkaitan erat dengan sistem pers yang ada, yaitu adanya tekanan dari bawah dan kelemahan dari atas. Kondisi ini seharusnya lebih menguatkan peran pers, karena pers mampu menjadi mediator antara pemerintah dengan rakyatnya, bukan justru membekukan sistem pers yang berakibat pada perubahan sistem pers menjadi regulasi represif rezim kekuasaan yang membungkam dan mengkosongkan suara publik dalam ruang publik.
Menurut Peter Dahlgreen, ada empat dimensi untuk melihat bagaimana suatu sistem pers bekerja sebagai ruang publik di suatu negara. Pertama, insitusi media menyangkut pembiayaan dan peliputan. Kedua, bentuk representasi pihak tertentu di media. Ketiga, struktur sosial menyangkut lingkungan politis media. Dan terakhir adalah bagaimana hubungan sosial dan budaya.1
Jadi, sistem pers dalam ruang konflik sebenarnya mampu menjadi mediator tanpa perlu adanya pembatasan dalam pers untuk mencari informasi di medan konflik karena pers memiliki norma dan etika tersendiri.
——————————————–
Referensi :
1 Polemik Sistem Pers oleh Eko Nugroho.
Hubungi admin di www.4antum.wordpress.com