PERNIKAHAN BEDA AGAMA TERLARANG SECARA AGAMA DAN NEGARA

0
335

JIC- Menikah beda agama di Indonesia masih diperdebatkan, Indonesia tidak melegalkan pernikahan beda agama. Rujukan tidak diperbolehkannya menikah beda agama terdapat pada UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Jadi, bisa dikatakan bahwa, menikah beda agama tergantung pada hukum agama yang dianut. Jika hukum agamanya membolehkannya maka negara membolehkannya. Sebaliknya, jika hukum agamanya tidak membolehkannya maka pernikahan beda agama juga dilarang oleh hukum negara.

Bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam, pernikahan beda agama dilarang, baik bagi pria maupun bagi wanitanya. Masalah ini dipertegas melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa, pernikahan tidak diperbolehkan jika pasangan menikah berbeda agama.

Juga, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama menyatakan secara tegas bahwa, pernikahan antara seorang Muslim dengan non Muslim diharamkan, baik bagi pria maupun wanita, termasuk pernikahan dengan wanita Ahlul Kitab dikarenakan mudarat yang ditimbulkannya cukup besar.

Sesungguhnya pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan atas dasar cinta kasih berbekal keyakinan (akidah), pemahaman dan tujuan yang sama. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan rumah tangga akan menjadi lebih mudah dalam menggapai tujuannya, yaitu dalam rangka ketentraman, kasih sayang dan kebahagiaan. Termasuk dalam mengurus dan mendidik anak-anak pun menjadi lebih mudah, karena dibangun di atas pemahaman, visi dan misi yang sama.

Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud dengan baik, jika pasangan suami isteri berpegang pada agama berbeda. Jika agama keduanya berbeda, akan timbul berbagai hambatan dalam menjalankan roda rumah tangga, semisal dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan bagi anak-anak mereka, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, Islam secara tegas telah melarang wanita Muslimah menikah dengan pria yang tidak seagama (non-Muslim, baik Kafir maupun Ahl al-Kitab). Pria Muslim juga telah dilarang menikah dengan wanita Kafir. Kedua bentuk pernikahan tersebut mutlak diharamkan.

Sesuatu yang menjadi persoalan dari sejak zaman sahabat sampai zaman sekarang ini adalah perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah atau Ahlul Kitab. Berdasarkan lahiriah ayat 221 surat al-Baqarah, menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria muslim dengan wanita non Muslim Kitabiyah dibolehkan. Di antara yang menjadi pokok persoalannya adalah kemusyrikan wanita Kitabiyah. Sebagian ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik wanita Kitabiyah tersebut. Apakah keyakinan trinitas wanita Kristen saat ini yang telah menuhankan Isa al-Masih misalkan, masih dianggap sebagai bukan kemusyrikan, ataukah justru hal itu merupakan kemusyrikan dan kekafiran yang nyata. Selain itu, kebanyakan ulama yang melarang pernikahan dengan wanita Kitabiyah tersebut dikarenakan fitnah atau bahaya (mudarat) yang ditimbulkan dari hasil pernikahan cukup besar dan seringkali muncul. Maka persoalannya berkutat pada wanita Ahlul Kitab yang bagaimana yang boleh untuk dinikahi. Apakah wanita Kristen saat ini masih dalam definisi Ahlul Kitab yang disinyalir al-Qur’an, padahal mereka telah menuhankan Nabi Isa, misalkan?

Walaupun para ulama sepakat menyatakan bahwa, Ahlul Kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani, namun mereka berbeda pendapat tentang rincian serta cakupan istilah tersebut. Perbedaan pendapat para ulama ini dapat dirangkum sebagai berikut:

Menurut Imam Syafii, Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan Israel saja, tidak termasuk bangsa-bangsa lain, meski menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan Imam Syafii antara lain adalah, Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa Israel bukan kepada bangsa-bangsa lain, juga dikarenakan ada kalimat “min qablikum” pada ayat yang membolehkan perkawinan tersebut.

Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ulama Fikih menyatakan bahwa, siapa pun yang mempercayai seorang Nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahlul Kitab. Dengan begitu, maka menurut beliau, Ahlul Kitab tidak terbatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga pada orang-orang yang percaya kepada Suhuf Nabi Syits, Suhuf Nabi Idris, Suhuf Nabi Ibrahim, dan Zabur Nabi Daud.

Pendapat ketiga yang merupakan pendapat sebagian kecil ulama menyatakan bahwa, setiap umat yang memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci dari Allah, maka mereka juga termasuk dalam pengertian Ahlul Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut al-Maudūdī, diperluas lagi oleh pakar-pakar hukum kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu. Bahkan Rasyid Ridha sebagaimana dikutip Quraish Shihab mengatakan bahwa, orang-orang Majusi dan Shābiin, penyembah berhala di India, Cina dan semacam mereka seperti orang Jepang adalah Ahlul Kitab yang kitab mereka mengandung ajaran tauhid sampai sekarang. Hanya saja, dalam kasus pernikahan wanita mereka dengan pria Muslim, keyakinan (akidah) mereka menjadi penghalang untuk dinikahi, karena berbenturan dengan larangan Allah untuk menikahi wanita Musyrik (politeisme), sebagaimana tertuang dalam firman Allah QS. Al-Bqarah [2]: 221.

Dalam Hukum Islam, pernikahan beda agama dilarang. Berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 221 ditegaskan bahwa, seorang pria Muslim dilarang menikahi wanita Musyrikah. Begitu juga sebaliknya, seorang wanita Muslimah dilarang untuk menikah dengan pria Musyrik. Bahkan Islam memandang, seorang hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada wanita yang tidak beriman (Musyrikah), meskipun wanita tersebut memiliki berbagai kelebihan, semisal: kecantikan, kekayaan, kekuasaan, kepintaran dan semisalnya. Ayat tersebut berbunyi:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Bqarah [2]: 221)

Ayat pada surat al-Baqarah tersebut diperkuat dengan ayat 10 pada Surat al-Mumtahanah bahwa, “Mereka (wanita-wanita Muslimah) tidak halal bagi orang-orang Kafir, dan orang-orang Kafir itu tidak halal pula bagi mereka (wanita-wanita Muslimah) [lā hunna ḥillun lahum walā hum yaḥilūna lahunna]… dan janganlah kalian berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir [walā tumsikū bi ‘iṣami al-kawāfir].”

Hal ini diperkuat dengan sikap Ibnu Umar r.a. ketika ditanya tentang seorang lelaki yang menikahi wanita Nasrani atau Yahudi justru mengatakan, “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seseorang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, atau tuhannya adalah salah seorang dari hamba-hamba Allah.” [Lihat: as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983) 2: 90].

Berkaitan dengan kasus sahabat bernama Huzaifah, konon Umar ibn al-Khaththab pernah meminta Huzaifah untuk menceraikannya, kemudian Huzaifah bertanya kepada Umar, “Apakah engkau mau bersaksi bahwa nikah dengan Kitabiyah adalah haram?” Umar menjawab, “Itu Fitnah”. [Wahbah al-Zuḥayly, al-Fiqh al-Islāmy wa Adillatuh, cet. ke-3 (Damaskus: Dār al-Fikr, 1989), 7: 153]. Jawaban Umar ini menunjukan bahwa, kawin dengan Kitabiyah dilarang karena alasan berbahaya. Dari segi hukum asal, tampaknya Umar tidak mengingkari bahwa hukumnya boleh. Tetapi karena mendatangkan fitnah, perkawinan dengan Kitabiyah itu dilarang, dalam rangka menghindarkan kaum Muslimin dari fitnah atau mudarat yang mungkin ditimbulkan olehnya.

Begitu juga, jika kita merujuk kepada ayat suci al-Qur`an tentang Ahlul Kitab, sebagaimana termaktub dalam surat al-Bayyinah [98]: 1 sebagai berikut:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

“Orang-orang kafir (orang-orang yang ingkar) dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. al-Bayyinah [98]: 1).

Ayat ini membedakan antara Musyrik dengan Ahlul Kitab. Artinya, wanita Ahlul Kitab itu belum tentu menyekutukan Allah (Musyrikah). Namun ketika seorang wanita Ahlul Kitab akidahnya telah menyekutukan Allah maka dia berpredikat sebagai Ahlul Kitab yang Musyrikah (politeisme). Maka ketika itu, menjadi tidak halal (yakni menjadi haram dan terlarang) pernikahannya dengan pria Muslim. Alquran secara tegas membedakan antara orang Musyrik dan Ahlul Kitab.

Lalu bagaimana pernikahan beda agama menurut selain Islam? Menurut keyakinan Kristen Katolik, pernikahan beda agama bisa dilakukan dengan beberapa syarat. Pertama, pemeluk Katolik berjanji untuk selalu setia dalam iman Katoliknya. Kedua, pemeluk Katolik berjanji untuk berusaha secara serius dalam  mendidik dan membabtis anak-anak mereka dalam keyakinan Gereja Katolik. Selain itu, pihak non Katolik juga harus berjanji untuk: 1) Tidak menghalangi pasangannya dan seluruh keturunannya untuk melaksanakan ibadah dan dogma Katolik. 2) Bersedia mendidik anak-anak mereka dalam keyakinan Gereja Katolik.

Syarat dari Kristen Katolik ini, sebenarnya, secara tidak langsung, melarang pemeluknya untuk menikah secara beda agama jika dikuatirkan keyakinan mereka tergerus, atau mengakibatkan pindah keyakinan.

Begitu juga dengan agama Kristen Protestan, meskipun agama Kristen Protestan tidak melarang umatnya untuk menikah dengan orang yang berbeda agama, tetapi pada prinsipnya, agama Kristen Protestan menghendaki perkawinan yang seagama. Hal ini dapat diketahui dari pandangan al-Kitab bahwa, tujuan utama dari perkawinan adalah kebahagiaan.

Dalam agama Hindu, pernikahan beda agama tidak diperbolehkan. Dalam pernikahan Hindu, kedua mempelai wajib menganut agama Hindu, jika calon mempelai tidak beragama Hindu maka perkawinan tersebut tidak dapat disahkan. Apabila kedua calon mempelai yang berbeda agama tersebut tetap ingin merajut mahligai rumah tangga dengan seorang Hindu, maka pendeta (brahmana) baru bersedia menikahkan mereka jika pihak yang bukan Hindu telah disuddhikan (disahkan) sebagai pemeluk agama Hindu dan menandatangani Sudi Vadhani (surat pernyataan masuk agama Hindu).

Dalam agama Buddha, perkawinan beda agama tidak disarankan. Hal ini sesuai dengan petunjuk Sang Buddha tentang syarat kebahagiaan dalam rumah tangga, salah satunya menyebutkan ‘keyakinan yang setara’.

Secara umum, agama-agama di Indonesia tidak menganjurkan para pemeluknya untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama, karena hal itu, sedikit banyaknya, akan mengganggu kerharmonisan dalam rumah tangga. Maka pernikahan beda agama tidak dikehendaki oleh semua agama, dan karenanya, hal itu juga menjadikannya ilegal secara hukum negara.

*Artikel ditulis oleh, Ustadz Dr.H. Marhadi Muhayar, Lc., MA.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here