JIC- Global Hunger Index (GHI) merilis data ranking negara-negara yang aman dan rawan terhadap kelaparan pada tahun 2021 dengan menempatlkan negara Indonesia pada rangking 77 dari 128 negara yang disurvei. Skor index Indonesia berada pada angka 18 poin (level moderat) yang mendekati ambang batas level darurat (skor 20 dianggap darurat). Hanya sekitar 50 negara yang dianggap berada pada level aman dari segi kelaparan (dibawah skor 10 poin), berarti ada sekitar 60 persen-an negara-negara di dunia yang berada pada tingkat ancaman kelaparan dan kondisi kelaparan akut (skor tertinggi 50 poin dikategorikan sebagai negara dengan kelaparan akut seperti di Somalia).
Angka index GHI di atas tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat jumlah penduduk dunia hingga saat ini berjumlah 7.94 Miliar manusia (un.org), berarti ada sekitar 4.7 Miliaran manusia yang masih berada pada bayang-bayang ancaman kelaparan atau kurang asupan makanan. Mencermati kondisi ini, tentulah kita sebagai orang yang beriman akan mengelus dada prihatin karena ditengah keberlimpahan di beberapa negara yang sejahtera justru di sebagian besar negara lain kondisinya malah kekurangan. Menjadi pertanyaan bagi kita sebagai orang yang beriman, apa yang harus kita lakukan ketika melihat kondisi dunia seperti ini, bukankah agama Islam diturunkan sebagai agama yang Rahmatan lil’alamin dimana umat Islam seharusnya menjadi Problem Solver atas kondisi kelaparan global tersebut.
Sebagai Muslim, kita pasti yakin bahwa ketika Allah SWT. menciptakan dunia ini, maka Allah SWT. juga telah menjamin rezeki para makhluknya yang hidup di muka bumi terutama ketersediaan makanan dan minuman untuk keberlangsungan kehidupan manusia seperti yang Allah SWT. firmankan dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 6 yang artinya “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa ) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya…..”. Maknanya bahwa Allah SWT. telah mengatur proporsionalitas pengaturan rezeki di antara makhluk yang bernyawa sehingga jika dunia ini dikelola secara benar maka tidak mungkin ada yang merasakan kelaparan kecuali dalam keadaan Force Majeur (Musibah) yang merupakan ketetapan Allah SWT. sebagai ujian kesabaran bagi orang-orang beriman dan manusia secara keseluruhan (QS. Albaqarah : 155). Di sisi yang lain, Allah SWT. juga menyediakan mekanisme zakat, infaq dan sadaqah sebagai katup pengaman dalam kondisi yang tidak kondusif seperti keadaan di negara Somalia (kasuistik).
Tetapi mengapa masih terjadi tingkat kelaparan global yang terkadang merenggut nyawa manusia. Disinilah kita harus jeli melihat masalah ini, bahwa sebenarnya dunia cenderung mengarah kepada “Pemiskinan Struktural” yang memang diciptakan oleh manusia-manusia yang cenderung tamak (Kapitalistik). Prilaku manusia yang tamak dalam mengelola dunia ini merupakan penyebab dari “Pemiskinan Struktural” itu terjadi. Pemiskinan Struktural atau dalam istilah Selo Soemardjan (1980) sebagai “Kemiskinan Struktural” adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Pemiskinan Struktural ini terjadi by design, dimana kelompok elit tidak peduli terhadap mobilitas vertikal masyarakat bawah untuk dapat mengakses sumber sumber pendapatan tadi. Di negara yang menganut sistem feodalisme, maka biasanya para elit mengeksploitasi sumber daya rakyat demi keuntungan kelompok elit tertentu.
Dalam perspektif Islam, kondisi Pemiskinan Struktural ini adalah bentuk kedzaliman yang diancam oleh Allah SWT. karena banyak orang yang lapar atau miskin sebenarnya bukan karena tidak tersedianya pangan yang mencukupi tetapi karena kondisi atau sistem yang diciptakan oleh para elit untuk menjebak rakyat terus berada dalam kubangan kemiskinan. Maka dalam hal ini, ajaran Islam telah memberikan mekanisme yang cukup bervariatif dalam memberikan akses mobilitas vertikal kepada siapapun hingga seorang budak sekalipun (seperti Reward yang besar bagi yang memerdekakan budak).
Oleh sebab itu, kita sebagai Muslim yang telah Allah SWT. berikan pendidikan rutin setiap tahun untuk merasakan ketidaknyamanan rasa lapar dalam sebulan penuh pada bulan Ramadhan adalah hal yang aneh bin ajaib bila tidak tergerak untuk mengatasi fenomena di atas. Apalagi jika Ramadhan tiba, umat Islam biasanya akan memberikan hartanya secara berlebih sebagai perhitungan zakat mal, selain itu peningkatan infaq dan sadaqah akan meningkat. Maka sudah selayaknya seluruh potensi Zakat, Infaq dan Sadaqah yang besar itu dapat dimanfaatkan untuk mengatasi tingkat kelaparan global yang masih tinggi tersebut.
Tentunya kapasitas penanganan tersebut disesuaikan dengan kemampuan yang dapat kita lakukan, tetapi jika setiap individu Muslim tergerak untuk membantu, maka sebenarnya masalah tingkat kelaparan global tersebut akan mudah diatasi. Ketidaknyamanan ketika kita merasakan lapar selama sebulan tersebut seharusnya sudah cukup melatih empati kita akan pentingnya untuk berbuat membantu masyarakat yang sedang merasakan kelaparan apalagi dalam dimensi global.
Kita dapat mengambil pelajaran dari beberapa gerakan global dalam mengatasi tingkat kelaparan tersebut yang secara serius dan professional berjuang memberikan pelayanan terbaik bagi umat manusia. Gerakan terbesar dalam menangani apa yang disebut dengan proyek “Global Hunger Assistance” adalah melalui badan World Food Programme (WFO) yang berada di bawah naungan United Nations (Perserikatan Bangsa – Bangsa). Secara rutin WFO membantu 86.7 juta manusia di 83 negara dunia di seluruh dunia. Diluar WFO, gerakan paling massif datang dari para lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang rata-rata berbasis di Barat (Eropa dan Amerika), misalnya LSM Care International yang telah mampu memberi makan sekitar 20 juta-an manusia seluruh dunia, begitu juga dengan LSM The Hunger Project yang berbasis di London telah mampu memberikan makan kepada 16 juta penduduk dunia. Para LSM internasional lain terus berjuang untuk mengatasi permasalahan kelaparan global ini dengan saling bahu-membahu melalui penggalangan dana dan program-program asistensi untuk peningkatan produktifitas pangan.
Yang paling menarik adalah LSM di India yang bernama Akshaya Patra yang semenjak tahun 2000 telah mampu memberi makan 1.8 juta per hari seluruh anak -anak usia sekolah dasar yang kekurangan gizi di India dengan manajemen produksi dan distribusi makanan layaknya manajemen mega industri selevel perusahaan pembuat pesawat Boeing atau Airbus. Di beberapa negara Timur Tengah, gerakan penanganan bantuan kelaparan ini sudah mulai tumbuh walau belum semassif di dunia barat (kemungkinan karakter budaya Timur Tengah yang kurang suka publikasi dalam memberi bantuan) , salah satunya organisasi Royal Group Charity dari Kuwait yang sering membantu dana untuk organisasi WFO.
Tentunya, gerakan kita dalam membantu sesama tersebut dalam mengatasi tingkat kelaparan global bukanlah solusi jangka panjang, karena ketersediaan pangan yang cukup itu sangat terkait dengan keberkahan yang Allah SWT turunkan dari langit dan dikeluarkan dari dalam bumi/lautan. Seperti yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Berkaca dari ayat tersebut, andaikan sumber daya di Indonesia dikelola dengan amanah (menggunakan dimensi ketakwaan) dan professional maka surplus makanan yang kita miliki akan menjadi lumbung makanan untuk mengatasi fenomena kelaparan global tersebut. Sehingga, Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil’alamin tidak hanya sekedar jargon di bibir tapi dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat global. Wallahu’alam Bishawwab.
Oleh Ustadz. Dr. Taufik Hidayat, M.Sc (Kasubdiv Konsultasi dan Pelayanan Umat)