Petugas membersihkan serambi Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo, Jawa Tengah, Minggu (11/4/2021). Kegiatan tersebut untuk memberikan rasa nyaman bagi jamaah saat menjalan ibadah bulan suci Ramadhan sesuai protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19. MAULANA SURYA/ANTARA FOTO
Sebuah masjid kuno di kota Solo, Jawa Tengah, yang berusia dua abad lebih, menggelar salat tarawih 11 dan 23 rakaat sekaligus — sebuah semangat menyatukan dua tradisi atau aliran yang dulu pernah tidak sejalan.
JIC,– “Niat ingsun poso… — saya niat puasa… ” Suara-suara dari masa lalu ini menggema dari Masjid Agung di Kota Solo, Jawa Tengah, awal Ramadan lalu.
Dengan menggunakan bahasa Arab dan Jawa, imam masjid membimbing jemaah salat tarawih untuk mendaras doa niat puasa. Inilah penutup dari salat tarawih malam itu.
Masjid yang terletak di Kampung Kauman, Pasar Kliwon, Solo, yang merupakan saksi bisu penyebaran Islam di kota itu, memang sejak awal tidak terlalu kaku dalam menafsirkan dan mempraktikkan ritual ibadah.
Hal itu terlihat mencolok setiap Ramadan tiba. Masjid tersebut memfasilitasi umat Muslim yang ingin salat sunnah tarawih berjamaah sebanyak 11 rakaat dan 23 rakaat secara sekaligus.

Pengelola masjid menyediakan dua orang imam untuk memimpin ‘dua cara’ salat tarawih tersebut — sebuah ketidaklaziman mengingat kebanyakan masjid di Indonesia cenderung memilih salah satu aliran.
“Masjid Agung posisinya memfasilitasi semua [dua aliran] karena kita kembali ke pranata lama keraton itu bisa memfasilitasi semua jemaat,” kata Ketua Takmir Masjid Agung Solo, Mohammad Muhtarom.
Masjid — yang dulu bernama Masjid Ageng Keraton Hadiningrat — ini, memang, tak terlepas dari sejarah perjalanan Keraton Kasunanan Surakarta. Beberapa catatan melaporkan, masjid ini dibangun oleh Pakubuwono III sekitar tahun 1749.
Sejak Muhtarom mulai beraktivitas di masjid itu pada 1985, gelaran tarawih yang menyatukan dua aliran itu sudah dipraktekkan.
Sumber : bbcindonesia.com