REKOMENDASI ULAMA JAKARTA TENTANG AHMADIYAH

0
158

Layaknya cerita sinetron ala Indonesia yang tidak pernah ada tuntasnya, begitu pula cerita tentang Ahmadiyah. Namun, berbeda dengan sinetron yang berbaur antara komedi dan tragedi atau berujung happy ending, cerita Ahmadiyah tidak ada manis-manisnya. Hanya tragedi, tragedi dan tragedi tanpa akhir. Layaknya cerita sinetron ala Indonesia yang tidak pernah ada tuntasnya, begitu pula cerita tentang Ahmadiyah. Namun, berbeda dengan sinetron yang berbaur antara komedi dan tragedi atau berujung happy ending, cerita Ahmadiyah tidak ada manis-manisnya. Hanya tragedi, tragedi dan tragedi tanpa akhir. Tragedi dari kegamangan bangsa ini untuk menuntaskannya. Karena tidak pernah tuntas, umat hanya bisa menunggu di tempat mana dan di waktu yang mana lagi Ahmadiyah akan dipentaskan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Meminjam istilah KH. Hasyim Muzadi: Ada apa dengan Ahmadiyah?

Dikarenakan persoalan Ahmadiyah akhir-akhir ini begitu ekskalatif dan sudah sangat merugikan umat Islam di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Komisi Ukhuwah, mengadakan Halaqah Taqwiyah Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah dan Insaniyah yang mengangkat tema “Mewujudkan Kehidupan Masyarakat Jakarta yang Agamis Berakhlakul Karimah”. Kegiatan ini diadakan di gedung Prasada Sasana Karya, Rabu, 16 Februari 2011. Maksud dan tujuan diadakakannya halaqah ini adalah pertama, mempererat ukhuwah di tengah umat Islam; kedua, merespon krisis ukhuwah umat Islam akhir-akhir ini; dan ketiga, membuat Rekomendasi MUI DKI Jakarta. Sebagai pemandu halaqah adalah Dr. KH. Ahmad Syafi`i Mufid, MA, APU dan Dr. KH. Didi Supandi, Lc, MA. Sedangkan peserta halaqah adalah ulama dan tokoh Islam serta tokoh ormas Islam yang sudah dikenal umat di Jakarta bahkan di tingkat nasional. Selain itu, hadir pula menjadi peserta dari unsur kepolisian, TNI, dan anggota DPRD DKI Jakarta.

Pendapat atau pandangan yang disampaikan peserta begitu beragam namun memiliki maksud yang sama. Semisal, A.M. Fatwa menyampaikan beberapa pandangannya, yaitu pertama, DKI Jakarta adalah milik bersama yang harus dijaga keamanan dan ketertibannya; kedua, UUD 1945 melarang terjadinya pencemaran salah satu agama yang diakui di Indonesia; ketiga, Ahmadiyah dinyatakan berada di luar Islam atas dasar tidak ada nabi setelah Muhammad s.a.w. Beberapa negara yang tidak mengakui keberadaan Ahmadiyah, di antaranya adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan dan Saudi Arabia; keempat, Ahmadiyah terpecah menjadi dua: Lahore dan Qadian. Ahmadiyah Lahore tidak terlalu bermasalah dalam keyakinan dan ajaran-ajaran mereka. Sayangnya, fatwa MUI tidak membedakan antara Ahmadiyah Lahore dan Qadian; kelima, Para politisi terdahulu semisal M. Natsir, H. Agus Salim, dan TB Simatupang tidak mampu menemukan rumusan tentang aliran dalam agama. Sehingga, yang terpenting adalah bagaimana caranya agar ajaran Islam dapat teraplikasi dengan baik di Indonesia tanpa terjadinya kekerasan dan sosialisasi prinsip-prinsip SKB tiga menteri; dan keenam, masalah Ahmadiyah ini akan cepat selesai jika presiden turun tangan menyelesaikan kasus ini melalui pelarangannya. Mantan Gubernur DKI Jakarta, almarhum Ali Sadikin, pernah menyatakan, “Permasalahan di DKI Jakarta akan selesai jika pemerintah merangkul para ulama.”

Salah satu pandangan investigatif datang dari KH. Muhammad Al-Khaththath dari Forum Umat Islam (FUI) terkait kasus Cikeusik, yaitu di antaranya: pertama, Ahmadiyah telah melanggar peraturan pemerintah yaitu PNPS Nomor 1 tahun 1965; kedua, solusi penanganan Ahmadiyah saat ini adalah dikeluarkannya keppres pembubaran Ahmadiyah; ketiga Identitas dari para perusuh yang terdapat dalan film tragedi Ahmadiyah di Cikeusik adalah bukan identitas FPI. Mereka memakai pita biru, topi hitam, dan anehnya lagi, para perusuh itu menaruh hormat kepada pengambil filmnya. Begitu juga dengan tragedi Yasmin, Bogor. {elaku pemalsuan tanda tangan untuk pembangunan rumah ibadah dihukum tiga bulan, sedangkan pelakunya bebas dari hukum dan dimenangkan perkaranya. Kasus-kasus seperti inilah yang menjadi sumber kerusuhan umat; dan keempat, Jika Ahmadiyah tidak dibubarkan, maka akan menjadi sumber perpecahan umat.

Selain AM Fatwa dan KH. Muhammad Al-Khaththath, para peserta yang memberikan pendapat dan pandangannya adalah Munarman, Ustadz Syarifin Maloko, Ustadz Hazairin Ahmad, dan lain-lain. Setelah mendengar pendapat dan pandangan dari para peserta halaqah, dirumuskanlah rekomendasi dalam sembilan poin. Rekomendasi ini ditujukan kepada pemerintah sebagai berikut: pertama, pentingnya mengadakan pertemuan di antara para ulama, tokoh masyarakat dan pemerintah demi terciptanya kehidupan yang aman dan tertib dalam mensikapi berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat; kedua, menuntut pemerintah untuk bersikap tegas dalam menindak pelanggaran terhadap penistaan dan penodaan agama (seperti kasus ahmadiyah dan sejenisnya dengan membubarkan Ahmadiyah); ketiga, menjaga ibu kota DKI Jakarta dari kerusuhan seperti yang terjadi di daerah lain dengan mengadakan pertemuan ulama dan umara untuk mencegah segala hal yang berpotensi menimbulkan konflik; keempat, mengutuk berbagai makar atau rekayasa dalam bentuk apapun yang mencemaran nama baik agama yang dilakukan pihak-pihak tertentu serta menolak tegas pembiaran hal-hal berpotensi menimbulkan konflik dan situasi yang tidak kondusif dalam kehidupan masyarakat; kelima, banyaknya penyimpangan keagamanaan yang berpotensi menimbulkan konflik, perlu menjadi perhatian ulama dan umara; keenam, menyamakan visi dan misi di antara para ulama tentang aliran sesat dan cara menanggulanginya serta membimbing masyarakat agar bersikap arif dan bijaksana dalam mensikapi berbagai perbedaan yang ada; ketujuh, keharusan membentengi akidah umat dari berbagai bentuk paham yang menyimpang, meyesatkan, dan kemusyrikan dan pemurtadan; kedelapan, kemiskinan (baik di bidang agama, pendidikan, sosial dan ekonomi) menjadi salah satu sumber konflik. Sehingga perbaikan kualitas umat dan masyarakat menjadi salah satu kunci menanggulangi persoalan di masyarakat; dan kesembilan, pelarangan dan pembubaran ajaran ahmadiyah dalam bentuk apapun dan membuat regulasi undang-undang penyiaran. ***

Oleh: Marhadi Muhayar dan Rakhmad Zailani Kiki

Staf Jakarta Islamic Centre

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here