RUMADI AHMAD APRESIASI FILM ‘BID’AH CINTA’ BERIKAN EDUKASI ISLAM YANG TOLERAN

0
212

JIC, Jakarta — Hadirnya film layar lebar Bid’ah Cinta di bioskop Tanah Air menjadi suguhan baru dalam menguak sisi Islam yang toleran. Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad mengapresiasi kejelian sutradara film Bid’ah Cinta.

“Nurman Hamim sebagai sutradara film berhasil menyuguhkan edukasi tentang hidup bertoleransi. Hal itu terjadi di tengah masyarakat yang beragam, baik dari sisi suku maupun agama,” ujar Rumadi.

Dirinya mengapresiasi keterusterangan dalam mengangkat masalah ketegangan seperti yang ada dalam alur ceritanya. Karena selama ini di dunia nyata ini hanya menjadi gunjingan di pojokan saja. “Di film ini disampaikan secara terus terang. Banyak orang yang bilang masalah ini sensitif, tetapi di film ini berhasil suguhkan suatu yang serius tetapi dengan santai, bahkan bisa dengan tertawa. Itu yang saya apresiasi,” tutur Rumadi dalam diskusi “Kala Asmara Terbentur Paham Agama” usai nonton bareng film Bid’ah Cinta, di Kuningan, Jakarta, Rabu (22/03/2017).

Lanjut Rumadi, film Bid’ah Cinta  menceritakan adanya ketegangan akibat perbedaan pemahaman keagamaan telah menjadi cermin kondisi sekarang ini. Dan dalam cerita di film tersebut, setidaknya bisa menjadi gambaran juga bahwa cinta dan saling menghormati bisa menjadi jembatan atas perbedaan.

Kegiatan nonton bareng dan diskusi, yang diikuti oleh berbagai komunitas dengan dipandu dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Nanang Tahqiq. Adapun pembicara dalam diskusi tersebut selain Rumadi adalah budayawan M Sobari, Fajar Riza Ulhaq dari Maarif Institute, dan Tsamara Amani dari perwakilan mahasiswa Universitas Paramadina. Sedangkan acara tersebut diselenggarakan oleh Nurcholis Madjid Society. Dan hadir pula sutradara serta para pemain film Bid’ah Cinta.

Dalam film Bid’ah Cinta, digambarkan bagaimana cinta antara Khalida dan Kamal yang terbentur perbedaan pemahaman keagamaan. Kedua orang tuanya juga kemudian ikut terlibat dalam ketegangan tersebut, bahkan hingga merembet ke komunitas masyarakat.

Namun, pada akhirnya, ada pemahaman dan suatu kesepakatan agar tidak menjadikan perbedaan itu agar tidak menjadi ketegangan dan sepakat untuk saling menghormati. Menurut Rumadi, ketegangan komunitas sebagaimana digambarkan dalam film tersebut yang dipicu perbedaan pemahaman bukanlah cermin NU dan Muhammadiyah dalam menyikapi perbedaan.

Rumadi menilai, saat ini NU dan Muhammadiyah justru sudah saling mendekat di antara perbedaan-perbedaan yang ada. Tidak ada lagi ketegangan soal perbedaan qunut, ziarah kubur, tahlil, hingga soal penentuan hari raya.

“Sekarang sudah saling mendekat, tidak lagi ada kenyinyiran. Dulu ziarah kubur, perdebatannya soal pokok agama, soal kemusyrikan, tetapi itu sekarang itu sudah bisa mentoleransi di masyarakat kita. Kemudian soal hari raya, itu soal prinsip lho, karena soal haram dan halalnya makan. Tetapi mereka (NU-Muhammadiyah) bisa menoleransi,” tukas Rumadi.

Sementara Fajar Riza Ulhaq menilai film ini mengajak penonton untuk berpikir dan merenung untuk maju. “Orang lain sudah ke mana-mana, mengapa kita masih berhadapan soal pertentangan? Film Bid’ah Cinta sangat edukatif dan komunikatif terhadap generasi muda, di mana lebih banyak yang suka menonton daripada membaca,” terangnya.

Serpihan film ini menjadi bagian dari upaya penjelasan masyarakat yang disesati informasi hoax. Dalam kehidupan, cinta memang bisa menjadi jembatan jika terjadi perbedaan paham. Film ini memiliki pesan bahwa perbedaan tidak perlu diselesaikan dengan cara kekerasan, tetapi bisa dengan diplomasi cinta.

Sumber ; gomuslim.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here