JIC- Lebih dari 600 siswa sekolah dasar dan menengah di Al Kindi, sebuah kelompok sekolah Muslim swasta di pinggiran kota Lyon, Prancis, berisiko tidak dapat kembali ke sekolah mereka pada tahun ajaran mendatang.
Pada 10 Januari, prefektur setempat mengakhiri kontrak asosiasi sekolah yang berdiri sejak 2007 dengan pemerintah, sekaligus menarik subsidi publik sebesar 1,5 juta euro (sekitar $1,53 juta). Dana ini sebelumnya digunakan untuk menutupi biaya operasional sekolah dan gaji sekitar 30 guru.
Menurut Kepala Sekolah Fabienne Buccio, keputusan ini diambil berdasarkan laporan inspeksi dewan sekolah yang menuduh Al Kindi mengalami “kegagalan” pedagogis dan administratif, serta dianggap melakukan “serangan terhadap nilai-nilai Republik”.
Laporan inspeksi yang dilihat oleh Middle East Eye menyebutkan bahwa dua buku yang dianggap “radikal” ditemukan di perpustakaan sekolah, salah satunya disebut “mempromosikan jihad kekerasan”. Laporan itu juga mengkritik seorang profesor yang mengungkapkan pandangan kontroversial di kanal YouTube-nya, di mana ia mendukung sejumlah imam yang telah dideportasi dari Prancis. Selain itu, aturan internal sekolah yang melarang siswa perempuan mengenakan pakaian ketat atau riasan juga dinilai diskriminatif.
“Serangkaian kegagalan dan disfungsi ini menunjukkan kedekatan sekolah Al Kindi dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin, yang bertentangan dengan nilai-nilai Republik,” demikian pernyataan prefektur.
Ikhwanul Muslimin, organisasi Muslim Sunni yang didirikan oleh Hassan al-Banna pada 1928, telah menjadi target pengawasan pemerintah Prancis dalam beberapa tahun terakhir. Pada Oktober 2024, Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau bahkan mempertimbangkan untuk menggolongkan organisasi ini sebagai kelompok “teroris” dan melarang keberadaannya di Prancis.
Kasus Serupa: Averroes dan Tren Penutupan Sekolah Muslim di Prancis
Kasus Al Kindi bukanlah yang pertama. Sekitar setahun lalu, alasan serupa digunakan untuk mencabut kontrak Averroes, sebuah sekolah menengah Muslim swasta utama di kota Lille. Meskipun telah beberapa kali mengajukan banding, sekolah itu tetap gagal mendapatkan kembali akreditasinya.
Sebagai konsekuensi dari pemutusan kontrak, Averroes terpaksa menggandakan biaya sekolah, menyebabkan separuh siswanya meninggalkan sekolah tersebut.
“Ini adalah tindakan politik. Umat Muslim menjadi sasaran agar orang melupakan permasalahan lain di Prancis,” ujar Idrissi, salah satu orang tua murid di Al Kindi, kepada Middle East Eye.
Seorang anggota dewan kota Lyon, Farid Benmoussa, juga menyoroti ketidakadilan ini. “Hanya ada dua sekolah menengah yang kehilangan akreditasinya dalam 30 tahun terakhir, dan keduanya adalah sekolah Muslim,” ujarnya dalam opini yang diterbitkan di surat kabar lokal.
Padahal, baik Averroes maupun Al Kindi sebelumnya memiliki reputasi yang sangat baik, dengan hasil ujian yang tinggi. Direktur Al Kindi, Abdelouahb Bakli, menegaskan bahwa sekolahnya selalu menghormati nilai-nilai Republik, dan bahwa sebagian besar kekurangan yang ditemukan dalam inspeksi telah diperbaiki.
Ketimpangan dalam Pengawasan Sekolah Swasta
Menurut Bakli, ada ketimpangan dalam pengawasan antara sekolah Muslim dan sekolah lainnya. “Sekolah Katolik swasta diperiksa setiap 15 tahun, sementara sekolah Islam swasta, baik yang memiliki kontrak maupun tidak, diperiksa setiap tahun,” ujarnya.
Federasi Nasional Pendidikan Muslim Swasta (FNEM) mencatat bahwa dari 127 sekolah Muslim di Prancis, hanya 10 yang memiliki kontrak dengan pemerintah. Jika keputusan terhadap Al Kindi tetap berlaku, hanya satu sekolah Muslim yang masih memiliki kontrak pada September mendatang.
Sebagai perbandingan, ada 7.045 sekolah Katolik yang dikontrak pemerintah, melayani sekitar dua juta siswa setiap tahunnya (satu dari enam siswa di Prancis). Laporan parlemen tahun lalu bahkan mengkritik kurangnya pengawasan terhadap sekolah-sekolah Katolik ini, meskipun mereka didanai oleh uang publik.
Dalam siaran persnya pada Oktober lalu, FNEM mengecam perlakuan tidak setara ini. “Islam adalah agama kedua di Prancis, namun komunitas Muslim masih sangat kekurangan fasilitas pendidikan,” kata organisasi tersebut.
Dampak Kebijakan “Anti-Separatisme” dan Penutupan Sekolah Muslim
Sejak diberlakukannya undang-undang “Penguatan Prinsip Republik” pada 2021, sebanyak 11 sekolah telah ditutup dengan alasan “radikalisasi”. Undang-undang yang didorong oleh Presiden Emmanuel Macron ini dikritik karena dianggap mendiskriminasi umat Islam, dengan memperluas dasar hukum untuk menutup masjid, membubarkan organisasi Muslim, membatasi pendidikan di rumah, dan memperkenalkan kejahatan baru bernama “separatisme” yang dapat dihukum hingga lima tahun penjara.
Al Kindi sendiri menghadapi lonjakan jumlah inspeksi dalam beberapa tahun terakhir. Jika sebelumnya hanya dilakukan setahun sekali, pada 2024 saja sekolah ini diperiksa lima kali. Inspeksi pada April dilakukan secara mendadak oleh 12 inspektur, yang kemudian dijadikan dasar rujukan untuk mengakhiri kontrak sekolah dengan negara.
Menurut Wakil Direktur Al Kindi, Karim Chihi, sekolah bahkan tidak diberitahu secara resmi tentang keputusan ini. “Kami mengetahuinya dari media, bukan melalui surat resmi seperti seharusnya,” ujarnya.
Pengacara sekolah, Hakim Chergui dan Sefen Guez Guez, saat ini sedang mempersiapkan gugatan hukum terhadap prefektur dan pemerintah daerah yang telah memotong subsidi sekolah sejak awal Januari.
Chergui, yang juga salah satu pendiri Al Kindi, menilai keputusan pemerintah bermotif politik. “Ini bukan soal pendidikan, ini adalah kebijakan yang dibungkus dengan alasan pendidikan,” katanya.
Dukungan dan Upaya Penyelamatan Sekolah
Dalam surat terbuka kepada Presiden Macron pada 18 Januari, Dewan Masjid Lyon mempertanyakan mengapa sekolah Katolik Stanislas di Paris—yang dituduh melakukan homofobia, seksisme, dan otoritarianisme—tidak kehilangan kontraknya dengan negara, sementara Al Kindi langsung dicabut akreditasinya.
Para peneliti memperingatkan bahwa kebijakan semacam ini hanya akan memperkuat “kecurigaan sistematis” terhadap Islam dan bisa memicu munculnya sekolah-sekolah bawah tanah.
Sementara itu, pihak Al Kindi telah meluncurkan kampanye penggalangan dana daring untuk menyelamatkan sekolah dari penutupan. Hingga saat ini, dana yang terkumpul telah mencapai lebih dari 255.000 euro